MAKALAH
INDIVIDU
EKOLOGI
TUMBUHAN
(Populasi,
komunitas, ekosistem, hutan rawa gambut)
Dosen
pemangku : Prima Wahyu Titisari, MSi
Nama : SYASRIDA FRANSISKA
Kelas
: 6/A ( Biologi )
NPM
: 116511726
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM RIAU
PEKANBARU
2014
POPULASI
A. POPULASI
Setiap populasi makhluk hidup
mengalami proses yang sama. Antara lain dia mengemukakan tingkat fertilitas
suatu organisme mungkin sangat tinggi, tetapi bahaya yang mengancam populasinya
juga besar. Tarumingkeng (1994), Populasi adalah sehimpunan individu atau
kelompok individu dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat
melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada waktu
tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Smith (1990)
mendefinisikan populasi sebagai kelompok organisme spesies yang sama yang
mengalami interbreeding. Krebs (2001) populasi adalah sekelompok organisme
sejenis yang menempati ruang tertentu pada waktu tertentu. Populasi memiliki
karakterisitik kelompok – statistical measure – yang tidak dapat diterapkan
pada individu.Karakteristik dasar populasi yang banyak didiskusikan adalah
kepadatan (density). Empat parameter populasi yang mengubah kepadatan populasi
adalah natalitas ( telur, biji, produksi spora, kelahiran), mortalitas
(kematian), imigrasi dan emigrasi
Karakteristik Populasi :
Karakteristik Populasi :
Kepadatan
Kepadatan populasi ialah besarnya populasi dalam hubungannya dengan suatu unit atau satuan ruangan. Perlu diingat bahwa perhitungan jumlah terlalu mementingkan arti organisme kecil, sedangkan biomassa terlalu membesarkan arti organisme besar, sedangkan komponen arus energi memberikan indeks yang lebih baik untuk membandingkan populasi mana saja dalam ekosistem.
Kepadatan populasi ialah besarnya populasi dalam hubungannya dengan suatu unit atau satuan ruangan. Perlu diingat bahwa perhitungan jumlah terlalu mementingkan arti organisme kecil, sedangkan biomassa terlalu membesarkan arti organisme besar, sedangkan komponen arus energi memberikan indeks yang lebih baik untuk membandingkan populasi mana saja dalam ekosistem.
Faktor yang mempengaruhi kepadatan
Perubahan kepadatan populasi dipengaruhi oleh
empat parameter primer dari populasi yaitu natalitas, mortalitas, imigrasi dan
emigrasi. Ketika kita menanyakan mengapa populasi meningkat atau menurun pada
spesies tertentu, jawabannya adalah karena salah satu dari parameter ini
berubah. Apabila natalitas dan imigrasi meningkat dalam populasi sedangkan
emigrasi dan mortalitas menurun, maka kepadatan populasi akan bertambah. Pertambahan
jumlah organisme kedalam populasi ini disebut laju kepadatan yaitu jumlah
organisme atau individu yang bertambah ke dalam populasi per satuan waktu. Jika
N merupakan simbol untuk jumlah organisme dan t merupakan simbol waktu.
Kepadatan Absolut: Para ekologiwan
menentukan kepadatan absolut dengan dua cara yaitu dengan penghitungan total
dan dengan menggunakan sampel.
Natalitas: Salah satu faktor utama yang menyebabkan peningkatan kepadatan populasi adalah natalitas, yaitu produksi individu-individu baru di dalam populasi melalui kelahiran, haching, germinasi atau pembelahan. Fekunditas: kondisi fisiologis yang mengacu pada kapasitas reproduksi organism.
Fertilitas : konsep ekologi yang
didasarkan pada kemampuan organisme menghasilkan anak pada periode tertentu. Fertilitas
nyata (realized fertility). Kelahiran maksimum (kelahiran fisiologis): produksi
maksimum dari individu-individu baru dalam populasi pada kondisi yang ideal
(tidak ada faktor lingkungan yang membatasi reproduksi, hanya dibatasi oleh
faktor fisiologi individu sendiri). Disebut juga potensi biotik organism.
Kelahiran ekologis : produksi
individu baru dalam populasi pada kondisi lingkungan yang ada, banyak faktor
yang dapat membatasi angka kelahiran atau sangat dipengaruhi kondisi lingkungan.
Laju kelahiran adalah jumlah organisme yang dihasilkan individu betina per unit
waktu. Besar laju kelahiran sangat dipengaruhi oleh tipe organisme yang sedang
dipelajari. Beberapa spesies melakkukan perkawinan setahun sekali, spesies lain
beberapa kali dalam satu tahun, ada yang sepanjang tahun.
Beberapa spesies menghasilkan banyak
biji atau telur sedang yang lain hanya beberapa telur atau biji. Laju kelahiran
populasi disebut angka kelahiran kotor (crude natality). Laju kelahiran
individu disebut laju kelahiran spesifik (specific natality) karena setiap
individu akan mempunyai angka kelahiran yang berbeda. Dalam
perhitungan laju kelahiran, harus dibedakan antara Nn dengan N.
Mortalitas(Kematian)
Mortalitas adalah jumlah individu dalam populasi yang mati selama periode waktu tertentu. Dalam studi populasi biologiwan lebih tertarik pada mengapa organisme mati pada usia tertentu. Mortalitas atau kebalikannya survival, bisa dilihat dari berbagai aspek. Longitivitas difokuskan pada usia kematian dari individu dalam populasi.
Dua tipe
longitivitas yaitu:
(a)
Longitivitas potensial (potential
longitivity), dan
(b)
Longitivitas nyata (realized
longitivity). Longitivitas potensial adalah usia hidup maksimum suatu spesies
yang semata-mata dibatasi oleh faktor fisiologi organisme tersebut, angka
kematian akan konstan (kemampuan hidup organisme pada kondisi optimum).
Longitivitas potensial adalah usia hidup nyata organisme di alam. Sebgaian
besar organisme yang hidup di alam jarang pada kondisi optimum, sebagian besar
hewan atau tumbuhan mati karena penyakit, predator, atau ancaman alamiah lain.
Laju kematian populasi adalah jumlah individu dari suatu populasi yang mati
dalam periode waktu tertentu (jumlah yang mati per satuan waktu). Laju kematian
populasi nilainya negatif, karena merupakan kebalikan dari angka kelahiran.
Nisbah antara angka kelahiran dan kematian disebut vital indeks yang dirumuskan
dalam bentuk persentase (%) Kurva Kehidupan. Di dalam populasi yang penting
dipelajari bukan angka kematian, tetapi bagaimana populasi tersebut dapat
menghindari kematian (survival). Jika angka kematian dilambangkan dengan M,
maka laju kehidupan populasi (survival rate) = 1 – M. Angka kehidupan atau laju
kehidupan organisme secara umum digambarkan dalam bentuk kurva kehidupan.
Ada tiga
tipe kurva kehidupan yaitu :
(a) kurva
cembung,
(b) kurva
cekung,
(c) kurva
diagonal.
Tiga tipe kurva kehidupan:
(a) Kurva
cembung
merupakan kurva kehidupan suatu
populasi dimana pada waktu muda laju kematian populasi rendah,
tetapi mendekati umur tua laju kematian populasi tinggi. Individu cenderung
berumur panjang.
(b) Kurva
cekung: menunjukkan bahwa laju kematian populasi sangat tinggi pada waktu
populasi berumur muda dan selanjutnya menjadi menurun pada saat populasi mulai
berumur tua.
(c) Kurva
diagonal: mempunyai umur kehidupan yang relatif konstan, laju kematian populasi
konstan. Jarang di alam ditemukan populasi yang mempunyai laju kematian
konstan, yang sering ditemui mendekati konstan.
Tabel kehidupan (life table)
Kurva
kelangsungan hidup suatu populasi didapatkan dengan cara membuat pengamatan
terhadap populasi dalam bentuk tabel kehidupan (life table). Tabel kehidupan
memberikan informasi dasar untuk mempelajari perubahan kepadatan dan laju pertambahan
atau pengurangan suatu populasi. Model perkembangan populasi dapat disusun
berdasarkan hasil pengumpulan data kerapatan populasi atau jumlah individu (N)
untuk waktu tertentu (t).
Distribusi umur
Distribusi umur
Individu di
dalam populasi mencakup berbagai tingkat umur. Proporsi individu dalam setiap
kelompok umur disebut distribusi umur. Keadaan distribusi umur berpengaruh
terhadap tingkat kematian dan kelahiran. Rasio dari kelompok-kelompok umur dari
populasi menentukan status reproduktif yang sedang berlangsung dari populasi
tersebut, sehingga menentukan pertumbuhan populasi untuk waktu berikutnya.
Dari
distribusi umur dapat diramalkan tingkat kelahiran dan kematian sehingga dapat
diperkirakan keadaan populasi masa yang akan datang, karena distribusi umur
sangat besar pengaruhnya perhadap pertumbuhan populasi dan dinamika populasi.
(a) Populasi yang berkembang dengan
cepat, sebagian besar individu muda,
(b) Populasi stasioner memiliki
pembagian kelas umur lebih merata,
(c) Populasi
menurun, sebagian besar individunya berusia tua.
Pembagian umur organisme
Piramida
umur. Umur di dalam populasi dapat digambarkan dalam bentuk piramida yang
disebut dengan piramida umur populasi. Suatu model yang menggambarkan
perbandingan geometri dari perbedaan kelompok umur di dalam suatu populasi.
(a) Piramida Bentuk Segitiga
Piramida ini menunjukkan persentase individu
muda di dalam populasi tinggi. Di dalam populasi di mana kelompok umur individu
muda tinggi biasanya laju kelahiran tinggi dan dapat saja pertumbuhan populasi
eksponensial, seperti pada populasi ragi. Paramaecium dan sebagainya. Pada keadaan
seperti ini setiap perubahan (regenerasi) akan lebih banyak dari pendahulunya
dan akan memberikan dasar piramida umur yang lebar.
(b) Piramida Bentuk Genta
Menunjukkan proporsi yang seimbang dari
individu-individu muda sampai tua. Selanjutnya laju pertumbuhan populasi
konstan dan stabil. Fase kelompok umur sebelum reproduksi dan reproduksi
menjadi seimbang berbeda sedikit saja dan kelompok umur populasi memberikan
strukutur bentu genta atau lonceng.
(c) Piramida Bentuk Kendi
Menunjukkan persentase yang rendah untuk
individu-individu muda dan proporsi besar pada fase setelah reproduksi. Hal ini
dapat terjadi jika laju kelahiran secara drastis diturunkan, maka jumlah
individu sebelum reproduksi menjadi lebih kecil dan lebih rendah dari kelompok
pos reproduksi.
Distribusi populasi
Kemampuan
untuk menyebar merupakan salah satu siklus hidup yang sangat penting dalam
organisme, merupakan proses ekologis yang menghasilkan aliran gen (gen flow)
diantara populasi lokal dan membantu untuk menghindari terjadinya inbreeding.
Penyebaran individu dalam populasi dapat dibatasi oleh halangan geofrafis, dan
berpengaruh terhadap komposisi komunitas.
Tiga pola penyebaran populasi :
(a) Emigrasi
Suatu pergerakan individu ke luar
dari tempat atau daerah populasinya ke tempat lainnya dan individu tersebut
tinggal secara permanen di tempat beru tersebut.
(b) Imigrasi
Suatu
pergerakan individu populasi ke dalam suatu daerah populasi dan individu
tersebut
meninggalkan
daerah populasinya selanjutnya tinggal di tempat baru.
(c) Migrasi
Pergerakan
dua arah, ke luar dan masuk populasi atau populasi pergi dan datang secara
periodik
selama kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka individu-individu suatu
populasi akan berpindah tempat,
sedangkan kalau suadah menguntungkan kembali ke
tempat asal.
Dalam
kaitannya dengan ruang (skala kecil), individu-individu di dalam populasi
menyebar dengan tiga pola yaitu acak (random), seragam (uniform) dan
mengelompok (clumped).
(a) Penyebaran acak
adalah jika individu-individu dalam populasi dapat hidup dimana saja di dalam area
yang ditempati oleh populasi tersebut.
(b) Penyebaran seragam jika
individu-individu tersebar secara seragam dalam area, dan
(c) Penyebaran mengelompok jika individu di dalam
populasi lebih mudah ditemukan pada area tertentu dibandingkan pada
areal yang lain.
Distribusi spasial
Di alam
penyebaran secara acak jarang terjadi, penyebaran secara acak akan terjadi jika
lingkungan homogen. Penyebaran individu di dalam populasi seragam terjadi
bilamana terjadi persaingan yang keras diantara individu-individu di dalam
populasi sehingga timbul kompetisi (pertentangan) yang positif, yang mendorong
pembagian ruang hidup yang sama.
Penyebaran
individu menggerombol umum terjadi di alam, individu-individu dalam populasi
menunjukkan derajad pengelompokan karena adanya kebutuhan yang bersamaan akan
faktor-faktor lingkungan. Tidak ada populasi yang tumbuh terus-menerus.
Cepat atau lambat akan mencapai titik keseimbangan dengan lingkungan dan sumberdayanya. Keseimbangan terjadi melalui perubahan laju kelahiran, laju kematian, atau kombinasi dari keduanya. Laju kelahiran independent terhadap kepadatan populasi, (garis horizontal). Tidak berubah dengan bertambahnya kepadatan populasi, tetapi laju kematian meningkat. Sepanjang laju kelahiran lebih tinggi dari laju kematian maka populasi akan menuju titik keseimbangan (K). Setelah mencapai titik keseimbangan, maka laju kematian meningkat sehingga kepadatan populasi menurun. Laju kelahiran dan laju kematian dependent pada kepadatan populasi, populasi akan mencapai titik keseimbangan jika laju kelahiran lebih besar dari laju kematian.
Cepat atau lambat akan mencapai titik keseimbangan dengan lingkungan dan sumberdayanya. Keseimbangan terjadi melalui perubahan laju kelahiran, laju kematian, atau kombinasi dari keduanya. Laju kelahiran independent terhadap kepadatan populasi, (garis horizontal). Tidak berubah dengan bertambahnya kepadatan populasi, tetapi laju kematian meningkat. Sepanjang laju kelahiran lebih tinggi dari laju kematian maka populasi akan menuju titik keseimbangan (K). Setelah mencapai titik keseimbangan, maka laju kematian meningkat sehingga kepadatan populasi menurun. Laju kelahiran dan laju kematian dependent pada kepadatan populasi, populasi akan mencapai titik keseimbangan jika laju kelahiran lebih besar dari laju kematian.
Fluktuasi
laju kelahiran dan laju kematian menjaga populasi pada atau sekitar titik
keseimbangan dan dipengaruhi oleh kepadatan populasi. Jika laju kelahiran
meningkat, maka laju kematian juga meningkat. Saat
kepadatan populasi meningkat, kompetisi diantara anggota populasi dan
kelangkaan sumberdaya menyebabkan laju kematian meningkat, laju kelahiran
menurun atau keduanya.
Jika
kepadatan populasi turun pada level terendah dan kemelimpahan sumberdaya
kembali meningkat maka kepadatan populasi kembali meningkat dengan penurunan
laju kematian dan peningkatan laju kelahiran atau kombinasi keduanya. Pertumbuhan Populasi
adalah unit biologis yang menunjukkan perubahan dalam ukurannya.
Setiap populasi mengalami tiga fase sepanjang siklus hidupnya yaitu:
1) Tumbuh
2) Stabil
3) Menurun
Perubahan itu dipengaruhi oleh : 1) Natalitas (kelahiran)
2) Mortalitas (kematian)
3) Migrasi (perpindahan populasi)
4) Imigrasi
5) Emigrasi
Pertumbuhan populasi berarti perubahan ukuran populasi pada periode waktu tertentu. Grafik yang menggambarkan secara aritmatik laju pertumbuhan populasi dN/dt = rN, dikenal sebagai kurva bentuk J atau kurva laju pertumbuhan eksponensial. Kurva pertumbuhan eksponensial. Secara teoritik, pada keadaan lingkungan yang ideal dimana tidak ada faktor lingkungan fisik atau biotik yang membatasi laju pertumbuhan intrinsik yang maksimum maka populasi tumbuh secara eksponensial. Kemampuan populasi tumbuh membentuk kurva eksponensial disebut dengan potensi biotik. Potensi biotik menunjukkan laju pertumbuhan teoritis yang tidak sesuai dengan kenyataan di alam. Pada kenyataannya, potensi biotik selalu dekendalikan oleh faktor lingkungan yang saling berinteraksi sehingga membatasi pertumbuhan.
Faktor
lingkungan yang membatasi pertumbuhan populasi dengan cara menurunkan laju
kelahiran atau menaikkan laju kematian atau keduanya disebut dengan resistensi
lingkungan. Batas resistensi lingkungan terhadap kemampuan potensi biotik suatu
populasi diberi lambang K (daya dukung lingkungan). Dengan menukarkan nilai K
pada persamaan laju pertumbuhan populasi maka persamaan akan berkembang dan
memberikan kurva pertumbuhan model logistik sederhana. Selanjutnya nilai K disebut dengan
carriying capacity (daya dukung lingkungan). Yaitu jumlah kepadatan populasi
yang dapat didukung oleh faktor lingkungan terbatas akibat adanya resistensi
lingkungan. Hubungan antara potensi biotik, pertumbuhan logistik dan resistensi
lingkungan.Penambahan jumlah individa ke dalam populasi secara tiba-tiba
melebihi daya dukung menyebabkan kurva bentuk J pada kurva potensi biotik
menjadi terputus secara tiba-tiba (overshoot). Jika kemampuan daya dukung hanya
dibatasi oleh persediaan makanan. Pada kenyataannya populasi organisme berosilasi
disekitar daya dukung (K). Sedangkan pada keadaan lingkungan yang terbatas,
dimana populasi dibatasi oleh daya dukung lingkungan, sehingga ukuran populasi
mempengaruhi laju pertumbuhan, dan laju pertumbuhan membentuk kurva sigmoid
(S).
Pertumbuhan populasi hewan di alam dibedakan atas golongan
yang mempunyai sifat satu kali berkembang biak dan beberapa kali berkembang
biak. Untuk itu maka pertumbuhan
populasi organisme dibedakan atas dua golongan yaitu:
(a) Organisme dengan satu generasi (discret generation), dan
(b) Organisme dengan generasi lebih dari satu (continous
generation).
Kondisi lingkungan terbatas, tingginya angka kepadatan
menyebabkan angka kelahiran berkurang atau akan kematian akan meningkat dengan
berbagai sebab (persaingan, penyakit etc). Model matematika sederhana turunnya
laju pertumbuhan tersebut berbentuk linier, dengan asumsi bahwa adanya satu
garis lurus yang menyatakan hubungan antara kepadatan dan angka
perkembangbiakan. Dalam hal ini dengan bertambahnya kepadatan maka angka
perkembangbiakannya akan semakin rendah. Laju reproduksi bersih (R0) sebagai
fungsi linier dari kepadatan populasi (N) pada waktu (t).
Kurva pertumbuhan populasi pada lingkungan yang terbatas disebut
kurva bentuk S (sigmoid). Pada kurva ini dikenal laju pertumbuhan pada (a) fase
tersendat (lag phase), (b) fase menanjak naik (accelerating growth phase), (c)
fase pertumbuhan melambat (decelerating growth phase) dan (d) periode keseimbangan
(equilibrium period). Kurva Sigmoid berbeda dengan kurva geometrik (bentuk J)
dalam dua hal yaitu: (1) kurva ini memiliki asimptot atas (kurva tidak melebihi
titik maksimal tertentu), (2) kurva ini mendekati asimptot secara perlahan,
tidak secara mendadak atau tajam. Laju pertumbuhan dapat dikurangi dengan
penambaan individu baru dalam populasi, yang mengakibatkan pertambahan menjadi
berkurang.
Dari contoh tersebut di atas terlihat bahwa ada hubungan antara kepadatan populasi dengan laju pertambahan populasi sampai mencapai daya dukungnya. Semakin besar ukuran populasi (makin mendekati daya dukung) maka laju pertambahan populasinya semakin kecil walaupun laju pertambahan intirinsiknya tetap. Jadi laju pertumbuhan populasi pada linkungan yang terbatas dipengaruhi oleh ukuran populasi.
Model pertumbuhan populasi dan sejarah kehidupan, Model
logistik memperkirakan laju pertumbuhan yang berbeda untuk populasi dengan
kondisi kepadatan tinggi dan rendah relatif terhadap daya tampung lingkungan.
Pada populasi dengan kepadatan itnggi, masing-masing individu memiliki sedikit
sumberdaya yang tersedia dan populasi tersebut tumbuh secara lambat, atau
bahkan berhenti sama sekali. Pada populasi dengan kepadatan rendah, keadaan
yang berlawanan akan berlaku dimana sumberdaya berlimpah dan populasi tumbuh
secara cepat. Selama akhir tahun 1960-an, ahli ekologi populasi Martin Cody memperkenalkan
konsep bahwa adaptasi sejarah kehidupan yang berbeda akan lebih disukai pada
kondisi - kondisi yang berbeda tersebut. Ia berpendapat bahwa pada kepadatan
populasi yang tinggi, seleksi akan lebih menyukai adaptasi yang organismenya
dapat bertahan hidup dan bereproduksi dengan sedikit sumberdaya. Dengan
demikian, kemampuan bersaing dan efisiensi maksimum penggunaan sumberdaya lebih
disukai pada populasi yang cenderung tetap berada pada atau di dekat daya
tampungnya. Pada kepadatan populasi yang rendah, adaptasi yang meningkatkan
reproduksi yang cepat, seperti peningkatan fekunditas dan kematangan lebih dini
menjadi terseleksi. Laju reproduksi yang tingg, tanpa memperhitungkan
efisiensi, lebih disukai pada kasus ini.
Karakteristik
Populasi Ideal
Terseleksi oleh-r (oportunistik) dan Terseleksi oleh-K (Kesetimbangan). Strategi
sejarah kehidupan yang berbeda tersebut kadang masing-masing disebut sebagai
sifat-sifat yang terseleksi oleh K dan terseleksi oleh r. Populasi terseleksi
ole K (K-selected population) yang disebut juga populasi kesetimbangan
(equilibrial population), adalah populasi yang cenderung akan hidup pada
kepadatan populasi yang mendekati batas sumberdayanya (K atau daya tampung).
Populasi terseleksi oleh-r (r-selected population), yang juga disebut populasi
oportunistik (opportunistic population), kemungkinan besar akan ditemukan dalam
lingkungan yang bervariasi, dimana kepadatan populasi berubah-ubah, atau dalam
habitat terbuka di mana individu kemungkinan besar menghadapi sedikit
persaingan.
KOMUNITAS
B. KOMUNITAS
Pengertian Komunitas
Komunitas ialah kumpulan dari
berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang saling
berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas memiliki derajat
keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu dan populasi.
Nama Komunitas
Nama
komunitas harus dapat memberikan keterangan mengenai sifat-sifat komunitas tersebut.
Cara yang paling sederhana, memberi nama itu dengan menggunakan kata-kata yang
dapat menunjukkan bagaimana wujud komunitas seperti padang rumput, padang
pasir, hutan jati.
Cara yang paling baik untuk menamakan komunitas itu adalah dengan
mengambil beberapa sifat yang jelas dan mantap, baik hidup maupun tidak.
Ringkasannya pemberian nama komunitas dapat berdasarkan :
1)
Bentuk atau struktur utama seperti
jenis dominan, bentuk hidup atau indikator lainnya seperti hutan pinus, hutan agathis,
hutan jati, atau hutan Dipterocarphaceae, dapat juga berdasarkan sifat
tumbuhan dominan seperti hutan sklerofil.
2)
Berdasarkan habitat fisik dari
komunitas, seperti komunitas hamparan lumpur, komunitas pantai pasir, komunitas
lautan dan lain –lain.
3)
Berdasarkan sifat-sifat atau
tanda-tanda fungsional misalnya tipe metabolisme komunitas. Berdasarkan sifat
lingkungan alam seperti iklim, misalnya terdapat di daerah tropik dengan curah
hujan yang terbagi rata sepanjang tahun, maka disebut hutan hujan tropik.
Macam-macam Komunitas
Di alam terdapat bermacam-macam komunitas yang
secara garis besar dapat dibagi dalam dua bagian yaitu:
(1)
Komunitas akuatik komunitas ini
misalnya yang terdapat di laut, di danau, di sungai, di parit atau di kolam
(2)
Komunitas terrestrial, yaitu kelompok
organisme yang terdapat di pekarangan, di hutan, di padang rumput, di padang
pasir, dan lain – lain.
Struktur Komunitas
Karakter komunitas
1) Kualitatif,
seperti komposisi, bentuk hidup, fenologi dan vitalitas. Vitalitas
menggambarkan kapasitas pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme.
2) Kuantitatif,
seperti Frekuensi, densitas dan densitas relatif. Frekuensi kehadiran merupakan
nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies di dalam suatu habitat.
Densitas (kepadatan) dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per unit contoh,
atau persatuan luas/volume, atau persatuan penangkapan.
3) Sintesis
adalah proses perubahan dalam komunitas yang berlangsung menuju ke satu arah
yang berlangsung lambat secara teratur pasti terarah dan dapat diramalkan. Suksesi-suksesi
terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitasnya dan
memerlukan waktu. Proses ini berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem
yang disebut klimas. Dalam tingkat ini komunitas sudah mengalami homoestosis.
Menurut konsep mutahir suksesi merupakan pergantian jenis-jenis pioner oleh
jenis-jenis yang lebih mantap yang sangat sesuai dengan lingkungannya.
Suksesi dapat dibagi menjadi dua,
yaitu :
1) Suksesi
primer yaitu bila ekosistem mengalami gangguan yang berat sekali, sehingga
komunitas awal (yang ada) menjadi hilang atau rusak total, menyebabkan ditempat
tersebut tidak ada lagi yang tertinggal dan akhirnya terjadilah habitat baru.
2) Suksesi
sekunder yaitu prosesnya sama dengan yang terjadi pada suksesi primer,
perbedaannya adalah pada keadaan kerusakan ekosistem atau kondisi awal pada
habitatnya. Ekologi tersebut mengalami gangguan, akan tetapi tidak total, masih
ada komunitas yang tersisa.
INTERAKSI
Dalam
komunitas, semua organisme merupakan bagian dari komunitas dan antara
komponennya saling berhubungan melalui keragaman interaksinya. Interaksi
antarkomponen ekologi dapat merupakan interaksi antarorganisme, antarpopulasi,
dan antarkomunitas.
1.
Interaksi antar organisme
Semua
makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap
individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain
jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari
populasi lain. Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita. Interaksi antar
organisme dalam komunitas ada yang sangat erat dan ada yang kurang erat.
Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan sebagai berikut.
1)
Netral adalah hubungan tidak saling
mengganggu antarorganisme dalam habitat yang sama
yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan kedua belah pihak,
disebut netral. Contohnya : antara capung dan sapi.
2)
Predasi adalah hubungan antara
mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat
sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup. Sebaliknya, predator juga
berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa. Contoh : Singa dengan mangsanya,
yaitu kijang, rusa,dan burung hantu dengan tikus.
3)
Parasitisme adalah hubungan
antarorganisme yang berbeda spesies, bilasalah satu
organisme hidup pada organisme lain
dan mengambil makanan dari hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan
inangnya. Contoh : Plasmodium dengan manusia, taeniasaginata dengan sapi, dan
benalu dengan pohon inang.
4)
Komensalisme adalah merupakan
hubunganantara dua organisme yang berbeda
spesies dalam bentuk kehidupan
bersama untuk berbagi sumber makanan; salah satu spesies diuntungkan dan
spesies lainnya tidak dirugikan. Contohnya anggrek dengan pohon yang
ditumpanginya.
5)
Mutualisme adalah hubungan antara
dua organisme yang berbeda spesies yang
saling menguntungkan kedua belah
pihak. Contoh, bakteri Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-kacangan.
2.
Interaksi Antarpopulasi
Antara
populasi yang satu dengan populasi lain selalu terjadi interaksi secara
langsung atau tidak langsung dalam komunitasnya. Contoh
interaksi antarpopulasi adalah sebagai berikut. Alelopati
merupakan interaksi antarpopulasi, bila populasi yang satu menghasilkan zat
yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya, di sekitar pohon
walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena tumbuhan ini
menghasilkan zat yang bersifat toksik. Pada mikroorganisme istilah alelopati
dikenal sebagai anabiosa. Contoh, jamur Penicillium sp dapat
menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu. Kompetisi
merupakan interaksi antarpopulasi, bila antarpopulasi terdapat kepentingan yang
sama sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan apa yang diperlukan. Contoh,
persaingan antara populasi kambing dengan populasi sapi di padang rumput.
3. Interaksi Antar Komunitas
3. Interaksi Antar Komunitas
Komunitas
adalah kumpulan populasi yang berbeda di suatu daerah yang sama dan saling
berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya komunitas sawah dan sungai. Komunitas
sawah disusun oleh bermacam-macam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular,
dan gulma. Komunitas sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton,
fitoplankton, dan dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi
interaksi dalam bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran
organisme hidup dari kedua komunitas tersebut.
Interaksi antarkomunitas cukup komplek karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga aliran energi dan makanan. Interaksi antarkomunitas dapat kita amati, misalnya pada daur karbon. Daur karbon melibatkan ekosistem yang berbeda misalnya laut dan darat.
4. Interaksi Antarkomponen Biotik dengan Abiotik
Interaksi antarkomunitas cukup komplek karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga aliran energi dan makanan. Interaksi antarkomunitas dapat kita amati, misalnya pada daur karbon. Daur karbon melibatkan ekosistem yang berbeda misalnya laut dan darat.
4. Interaksi Antarkomponen Biotik dengan Abiotik
Interaksi
antara komponen biotik dengan abiotik membentuk ekosistem. Hubunganantara
organisme dengan lingkungannya menyebabkan terjadinya aliran energi dalam
sistem itu. Selain aliran energi, di dalam ekosistem terdapat juga struktur
atau tingkat trofik, keanekaragaman biotik, serta siklus materi. Dengan
adanya interaksi-interaksi tersebut, suatu ekosistem dapat mempertahankan
keseimbangannya. Pengaturan untuk menjamin terjadinya keseimbangan ini
merupakan ciri khas suatu ekosistem. Apabila keseimbangan ini tidak diperoleh
maka akan mendorong terjadinya dinamika perubahan ekosistem untuk mencapai
keseimbangan baru.
STRUKTUR KOMUNITAS
A. Karakter komunitas
1. Kualitatif,
seperti komposisi, bentuk hidup, fenologi dan vitalitas. Vitalitas menggambarkan
kapasitas pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme.
2. Kuantitatif,
seperti Frekuensi, densitas dan densitas relatif. Frekuensi
kehadiran
merupakan nilai yang menyatakan
jumlah kehadiran suatu spesies di dalam suatu habitat. Jumlah unit
contoh di mana sp.
A ditemukan FK A =
--------------------------------------------------------- x 100% Jumlah semua
unit contoh.
Apabila FK = 0%-25% : Kehadiran
sangat jarang (aksidental)
FK = 25%-50% :
Kahadiran jarang (assesori)
FK = 50%-75% : Kehadiran sedang
(konstan)
FK = 75%-100% : Kehadiran absolut
Jumlah individu jenis AK jenis A =
---------------------------------------- x 100 % Σ unit contoh/luas/volume. Densitas (kepadatan)
dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per unit contoh, atau persatuan
luas/volume, atau persatuan penangkapan.
3. Sintesis, seperti kehadiran dan konstansi, fidelitas, dominansi, indeks diversitas, indeks similiaritas dan sebagainya. Dalam analisa komunitas, dikenal istilah keanekaragaman spesies. Dalam menentukan indeks keragaman tersebut, ada beberapa metode analisa yang dapat digunakan, antara lain Indeks Margalelef, Indeks Simpson, Indeks Menhenick, Indeks Brillouin, dan Indeks Shanon. Sedangkan indeks similiaritas biasanya dianalisa dengan indeks equitabilitas (e) dengan nilai kisaran antara 0-1.
3. Sintesis, seperti kehadiran dan konstansi, fidelitas, dominansi, indeks diversitas, indeks similiaritas dan sebagainya. Dalam analisa komunitas, dikenal istilah keanekaragaman spesies. Dalam menentukan indeks keragaman tersebut, ada beberapa metode analisa yang dapat digunakan, antara lain Indeks Margalelef, Indeks Simpson, Indeks Menhenick, Indeks Brillouin, dan Indeks Shanon. Sedangkan indeks similiaritas biasanya dianalisa dengan indeks equitabilitas (e) dengan nilai kisaran antara 0-1.
Ada tujuh faktor yang mempengaruhi keanekaragaman
spesies, yaitu :
1.
Heterogenitas habitat
2.
kompetisis
3. ekologi
lingkungan
4. predasi
5. stabilitas
lingkungan
6. habitat
yang produktif
7. waktu
DESKRIPSI
DAN ANALISIS VEGETASI FLORISTIKA DAN NON FLORISTIKA
Vegetasi di
definisikan sebagai mosaik komunitas tumbuhan dalam lansekap dan vegetasi alami
diartikan sebagai vegetasi yang terdapat dalam lansekep yang belum dipengaruhi
oleh manusia (Kuchler, 1967). Ilmu vegetasi sudah dimulai hampir tiga abad yang
lalu. Mula-mula kegiatan utama yang dilakukan lebih diarahkan pada diskripsi
dari tentang alam dan vegetasinya. Dalam abad ke XX usaha-usaha diarahkan untuk
menyederhanakan eskripsi dari vegetasi dengan tujuan untuk untuk meningkatkan
keakuratan dan untuk mendapatkan standart dasar dalam evaluasi secara
kuantitaif. Berbagai metode analisis vegetasi dikembangkan, dengan penjabaran
data secara detail melalui cara coding dan tabulasi. Berbagai metode yang
digemari dan banyak diterima oleh banyak pakar adalah dari Raun kiaer (1913,
1918), Clements (1905, 1916), Du Rietz (1921, 1930), Braun (1915), dan Braun
Bienquet (1928). Deskripsi umum dari vegetasi dan komunitas tumbuhan melalui
bentuk hidup dan species dominan adalah tekanan pada zaman yang telah lalu.
Indonesia
membentang sepanjang lebih dari 5000 km dari barat sampai ke timur dan luasan
lahannya mencakup anekaragam Vegetasi lahan kering dan rawa. Penelaahan
biologi, termasuk penelitian Vegetasi di Indonesia belum terlalu banyak, baru
kulitnya saja, meskipun telah dimulai sejak permulaan abad ke-18. Uraian
sejarah penelitian yang dilaksanakan sebelum tahun 1945 disarikan dalam buku
Science and Scientists in Netherlands Indies (Honig and Verdoorn, 1945) dan
kemudian Chronica Naturae, volume 106 (6) pada 1950. Penelitian Vegetasi dan
ekologi, termasuk ekologi tumbuhan, terutama menyangkut eksplorasi flora dan
fauna serta inventarisasi, pertelaan berdasarkan pengamatan visual, peri
kehidupan, dan sampai tingkat tertentu faktor ekologi. Banyak hasil penelitian
ini diterbitkan dalam jurnal ilmiah yang terbit di Indonesia, antara lain
Tropische Natuur, Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, Treubia,
Bulletin du Jardin Botanique de Buitenzorg, dan Annales du Jardin Botanique de
Buitenzorg
Di Indonesia
Perkembangan penelitian Vegetasi sampai tahun 1980 telah dilaporkan oleh
Kartawinata (1990), yang mengevaluasi pustaka yang ada mengenai Vegetasi dan
ekologi tumbuhan di Indonesia, menunjukkan bahwa bidang ini belum banyak
diteliti. Banyak dari informasi tentang ekologi tumbuhan dalam berbagai pustaka
seperti serie buku Ekologi Indonesia (misalnya MacKinnon dkk., 1996 dan Whitten
dkk.,1984) berdasarkan berbagai penelitian di Malaysia. Berbagai penelitian
sebagian besar terfokus pada ekosistem hutan, terutama hutan pamah dipterokarp
(lowland dipterocarp). Sebagian
besar informasi untuk kawasan fitogeografi Malesia (Brunei, Filipina,
Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste) telah disintesis oleh
Whitmore (1984) dalam bukunya Tropical Rain Forests of the Far East. Data
vegetasi biogeografi dan ekologi tentang Papua New Guinea (misalnya Paijmans,
1976; Gressitt, 1982; Johns, 1985, 1987a,b; Brouns, 1987; Grubb dan Stevens
1985) dapat diterapkan untuk papua.
Analisis vegetasi
Para pakar ekologi memandang
vegetasi sebagai salah satu komponen dari ekosistem, yang dapat menggambarkan
pengaruh dari kondisi-kondisi faktor lingkungn dari sejarah dan pada
fackor-faktor itu mudah diukur dan nyata. Dengan demikian analisis vegetasi
secara hati-hati dipakai sebagai alat untuk memperlihatkan informasi yang
berguna tentang komponen-komponen lainnya dari suatu ekosistem.
Ada dua fase dalam kajian vegetasi
ini, yaitu mendiskripsikan dan menganalisa, yang masing-masing menghasilkan
berbagi konsep pendekatan yang berlainan.Metode manapun yang dipilih yang
penting adalah harus disesuaikan dengan tujuan kajian, luas atau sempitnya yang
ingin diungkapkan, keahlian dalam bidang botani dari pelaksana (dalam hal ini
adalah pengetahuan dalam sistimatik), dan variasi vegetasi secara alami itu
sendiri (Webb, 1954).
Pakar ekologi dalam pengetahuan yang
memadai tentang sistematik tumbuhan berkecenderungan untuk melakukan pendekatan
sacara florestika dalam mengungkapkan suatu vegetasi, yaitu berupa komposisi
dan struktur tumbuhan pembntuk vegetasi tersebut.
Pendekatan kajianpun sangat
tergantung kepada permasalahan apakah bersifat autekologi atau sinetologi, dan
juga apakah menyangkut masalah produktivitas atau hubungan sebab akibat. Pakar
autelogi biasanya memerlukan pengetahuan tentang kekerapan atau penampakan dari
suatu species tumbuhan, sedangkan pakar senitologi berkepentingan dengan
komunitas yaitu problema yang dihadapi sehubungan dengan keterkaitan antara
alam dengan variasi vegetasi.Pakar rkologi produktivitas memerlukan data
tentang berat kering dan kandungan kalori yang dalam melakukannya sangat
menyita waktu dan juga bersifat destruktif.
Deskripsi vegetasi juga memerlukan
bagian yang integral dengan kegiatan survey smber daya alam, misalnya
sehubungan dengan investarisasi kayu untuk balok dihutan,dan menelaah kapasitas
tamping suatu lahan untuk sutu tujuan ternak atau penggembalaan.pakar, tanah,
dan sedikit banyak pakar geologi dan pakar iklim tertarik dengan vegetasi
sebagai ekspresi dari factor – factor yang mereka pelajari.
Kehutanan memerlukan penelaahan
tentang komposisi spesies tumbuhan sebagai penunjuk (indicator) potensi dari
tapak sebagai bahan bantu dalam menentukan jenis kayu yang ditanam. Dalam
mendiskripsikan suatu vegetasi haruslah dimulai dari suatu titik pandang bahwa
vegetasi merupakan suatu pengelompokan dari tubuh – tumbuhan yang hidup bersama
dialam suatu tempat tertentu yang mungkin dikarakterisasi baik oleh spesies
sebagai komponennya, maupun oleh kombinasi dari struktur dan fungsi sifat –
sifatnya yang mengkarekterisasi gambaran vegetasi secara umum atau fisiognomi.
Metode dengan pendekatan secara
fisignomi tidak memerlukan identifikasi dari species dan sering lebih berarti
hasilnya untuk gambaran vegetasi dengan skala kecil (area yang luas),atau untuk
gambaran habitat bagi disiplin ilmu lainnya.misalnya pakar hewan menghendaki
deskripsi vegetasi yang dapat dipakai untuk menggambarkan relung atau
nisia,habitat dan sumber pakan untuk hewan.
Metode berdasarkan komposisi atau
floristika species lebih bermanfaat untuk menggambarkan vegetasi engan skala
besar ( area yang sempit )yang lebih detail,yang biasannya dipergunakan oleh
pakar dieropa daratan dalam klasifikasi vegtasi dan pemetaan pada skala yang
besar dan sangat rinci.
Beberapa metode analisis vegetasi,
dalam ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai metode untuk menganalisis suatu
vegetasi yang sangat membantu dalam mendekripsikan suatu vegetasi sesuai dengan
tujuannya. Dalam hal ini suatu metodologi sangat berkembang dengan pesat
seiring dengan kemajuan dalam bidang-bidang pengetahuan lainnya, tetapi tetap
harus diperhitungkan berbagai kendala yang ada (Syafei, 1990).
Metodologi-metodologi yang umum dan sangat efektif serta
efisien jika digunakan untuk penelitian, yaitu metode kuadrat, metode garis,
metode tanpa plot dan metode kwarter. Akan tetapi dalam praktikum kali ini
hanya menitik beratkan pada penggunaan analisis dengan metode garis dan metode
intersepsi titik (metode tanpa plot) (Syafei, 1990).
Metode garis
merupakan suatu metode yang menggunakan cuplikan berupa garis. Penggunaan
metode ini pada vegetasi hutan sangat bergantung pada kompleksitas hutan
tersebut. Dalam hal ini, apabila vegetasi sederhana maka garis yang digunakan
akan semakin pendek. Untuk hutan, biasanya panjang garis yang digunakan sekitar
50 m-100 m. sedangkan untuk vegetasi semak belukar, garis yang digunakan cukup
5 m-10 m. Apabila metode ini digunakan pada vegetasi yang lebih sederhana, maka
garis yang digunakan cukup 1 m (Syafei, 1990).
Pada metode
garis ini, system analisis melalui variable-variabel kerapatan, kerimbunan, dan
frekuensi yang selanjutnya menentukan INP (indeks nilai penting) yang akan
digunakan untuk memberi nama sebuah vegetasi. Kerapatan dinyatakan sebagai
jumlah individu sejenis yang terlewati oleh garis. Kerimbunan ditentukan
berdasar panjang garis yang tertutup oleh individu tumbuhan, dan dapat
merupakan prosentase perbandingan panjang penutupan garis yang terlewat oleh
individu tumbuhan terhadap garis yang dibuat (Syafei, 1990). Frekuensi
diperoleh berdasarkan kekerapan suatu spesies yang ditemukan pada setiap garis
yang disebar (Rohman, 2001).
Sedangkan
metode intersepsi titik merupakan suatu metode analisis vegetasi dengan
menggunakan cuplikan berupa titik. Pada metode ini tumbuhan yang dapat
dianalisis hanya satu tumbuhan yang benar-benar terletak pada titik-titik yang
disebar atau yang diproyeksikan mengenai titik-titik tersebut. Dalam menggunakan
metode ini variable-variabel yang digunakan adalah kerapatan, dominansi, dan
frekuensi (Rohman, 2001).
Selain
menggunakan kedua metode di atas namun, secara garis besar metode analisis
dalam ilmu vegetasi dapat dikelompokkan dalam dua perbedaan yang prinsip,
yaitu:
a. Metode
diskripsi dan
b. Metode
non diskripsi
Metode
destruktif, metode ini
biasanya dilakukan untuk memahami jumlah materiorganik yang dapat dihasilkan
oleh suatu komunitas tumbuhan. Variable yang dipakai bisa diproduktivitas
primer, maupun biomasa. Dengan demikian dalam pendekatan selalu harus dilakukan
penuain atau berarti melakukan perusakan terhadap vegetasi tersebut.
Metode ini
umumnya dilakukan untu bentuk bentuk vegetasi yang sederhana, dengan ukuran
luas pencuplikan antara satu meter persegi sampai lima meter persegi.
Penimbangan bisa didasarkan pada berat segar materi hidup atau berat keringnya.
Metode ini sangant membantu dalam menentukan kualitas suatu padang rumput denan
usaha pencairan lahan penggembalaan dan sekaligus menentukan kapasitas
tampungnya. Pendekatan yang terbaik untuk metode ini adalah secara floristika,
yaitu didasarkan pada pengetahuan taksonomi tumbuhan.
Metode non-destruktif
Metode non-destruktif
Metode ini
dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu berdasarkan penelaahan
organism hidup/tumbuhan tidak didasarkan pada taksonominya,sehingga dikenal
dengan pendekatan lainnya adalah didasarkan pada penelaahan organisma tumbuhan
secara taksonomi atau pendekatan floristika.
Metode
non-destruktif,non-floristika
Metode
non-floristiaka tealah dikembangkan oleh banyak pakar vegetasi. Seperti DuRietz
(1931), Raunkiaer (1934), dan Dansereau (1951). Yang kemudian diekspresiakan
oleh Eiten (1968) dan Unesco (1973). Danserau membagi dunia tumbuhan
berdasarkan berbagai hal, yaitu bentuk hidup, ukuran, fungsi daun, bentuk dan
ukuran daun, tekstur daun, dan penutupan. Untuk setiap karakteristika di
bagi-bagi lagi dalam sifat yang kebih rinci, yang pengungkapannya dinyatakan
dalam bentuk simbol huruf dan gambar.
Bentuk hidup metode ini,
klasifikasi bentuk vegetasi, biasanya dipergunakan dalam pembuatan peta
vegetasi dengan skalakecil sampai sedang, dengan tujuan untuk menggambarkan
penyebaran vegetasi berdasarkan penutupannya, dan juga masukan bagi disiplin
ilmu yang lainnya (Syafei,1990).
Metode telah
banyak dikembangkan oleh berbagai pakar ilmu vegetsi, seperti Du Rietz (1931) ;
Raunkiaer (1934) dan Dansereau (1951). Yang kemudian diekspresikan juga dengan
cara lain oleh Eiten (1968) dan UNESCO (1973).
Untuk
memahami metode non floristika sebaiknya kita kaj dasar-dasar pemikiran dari
beberapa pakar tadi. Pada prinsipnya mereka berusaha mengungkapkan vegetasi
berdasarkan bentuk hidupnya, jadi pembagian dunia tumbuhan secara taksonomi
sama aekali diabaikan, mereka membuat klasifikasi tersendiri dengan
dasar-dasar tertentu.
Sistem
Klasifikasi dan Bentuk hidup
Klasifikasi
sistematis pada masyarakat tumbuhan menerima suatu daya dorong khusus melalui
Braun-Blanquet, yang mengkombinasikan banyak inisiasi dari para pendahulunya
kedalam suatu rencana yang meyakinkan. Sistem phytosociology-nya (1928,1932)
diterima sangat baik di seluruh dunia, dan telah mempengaruhi pengembangan Ilmu
pengetahuan Tumbuh-Tumbuhan Eropa dalam beberapa dekade. Hirarki unit sistemat
isnya sengaja dipolakan setelah pengetahuan vegetasi akan menemukan suatu akhir
dalam penetapan, penamaan, dan penerapan seperti classcategories terpadu.
Kecenderungan
ini tidak sesuai dengan niat asli Braun-Blanquet. Di dalam cetakan pertama buku
terkenalnya, ia mengabdikan lebih dari separuh ruang untuk ekologi didalam
pengert ian yang sesuai, yaitu untuk hubungan fungsional dan hubungan sebab
akibat. Hubungan masyarakat tumbuhan pada habitatnya menjadi penekanan oleh
banyak pengarang. seperti Unger (1836), Sendtner (1854) Drude (1896), Warming
(1909), Schimper (1898), Schroter (1904), dan banyak orang yang lain.
Beberapa
dari mereka, khususnya Warming Dan Drude (1913), membuat hubungan lingkungan,
dasar studi vegetasi-nya. Mereka juga mengembangankan sistem klasif ikasi
tumbuhan menurut lingkungannya. Ilmu pengetahuan Tumbuh-Tumbuhan menjadi suatu
cabang ekologi yang penting di sekitar peralihan abad itu. Pemahaman ini
menjadikan definisi ekologi dikenal dan ditafsirkan dalam semua negara-negara
yang berbahasa Inggris.
Saat ini, kecenderungan
nampak mempengaruhi arah dari studi-studi hubungan lingkungan. Penggunaan dari
kriteria lingkungan untuk mencirikan masyarakat tumbuhan menjadi lebih umum,
dan usaha hingga mencapai suatu sintesis tentang floristic dan perlakuan
ekologi vegetasi (Krajina 1969, Daubenniire 1968). Penekanan tertentu diberikan
untuk menjelaskan penelitian ekologi pada komunitas tunggal.(Odum 1959,
Ovington 1962).
Bersamaan
dengan ini terjadi suatu perubahan pent ing dalam metoda - metoda
sepanjang dekade terakhir. Pengarang yang lebih awal bekerja sebagian besar
secara deduktif dan menggambarkan ekologis mereka dan bahkan kesimpulan
fisiologis dari perbandingan pengamatan di lapangan, tanpa mencoba untuk
mendukungnya dengan eksperimen. Berlainan dengan penyelidik modern yang bekerja
secara induktif dan menggunakan eksperimen untuk meningkatkan ketelit ian dari
kesimpulan mereka.
Analisis
kuantitatif komunitas
Konsep
komnitas termasuk konsep tertua dalam ekologi.pada tahun 1844 Edward Forbes,
dosen botani pada kings college, London, mempelajari distribusi binatang laut
di laut Aegean. Dia menyimpulkan adanya delapan daerah kedalaman yang dibdakan
satu sama lain oleh kelompok spesies yang ada di dalamnya( kormondy, 1965)
kemudian karl mobius (1877),ahli tidak hanya didiami oleh tiram sendiri, tetapi
didiami binatang – binatang lain.
Setiap
tempat tinggal merupakan suatu kehidupan dimana sejumlah spesies dan individu –
individu satu sama lain dibatasi, dan selanjtnya terjadi seleksi dan pemilikan teitori
tertentu.ruang dan makanan merupakan kebutuhan pertma setiap komunitas social.
Berdasarkan alas an ini, Eugene warming (1909), ahli botani Denmark,
menyimpulkan spesies tertentu bahwa membentuk kelompok alami,dengan kata lain
membentuk kelompok alami,dengan kata lain membentuk komonitas, yang
memperlihatkan kombinasi bentuk pertumbuhan.
Diskontinyuitas relative
Diskontinyuitas relative
Komunias
komunitas tanaman digunakan sebagai model organisassi komunitas. Banyak ekolog
membuktikan bahwa pada bbeberapa keadaan, vegetasi membuntuk continuum, pada
keadaan yang lain vegetasi membentuk komunitas yang berbeda dan sebagian besar
vegetasi berada dimana mana diantara kondisi tersebut. Yang peril di peranyakan
adalah: factor factor apa yang menentukan kontyutas vegetasi (beals, 1969).
Beals mengAjukan
hipotesa bahwa kontinyutas komunitas merupakan fungsi kontinyutas lingkungan.
Jika gradient tajam atau curam, komposisi komunitas bisa berubah secara
perahan, komposisi komunitas juga akan berubah secara perlahan.
Banyak
ekolog eropa menggunakan metiode semi komunikatf untuk mengklsifikasikan
komunitas. Metode ini diberi nama sesuai denga penemunya yaitu braun-blantquet
(1951).daftar spesies dari sejumlah tegakan kemudian digunakan untuk menetukan
ketetapan yaitu proporsi spesies yang ada ddiseluruh tegakan. Satua dari
klasifikasi adalah pencampuran, sutu abstaksi yang terdaftar dari spesies yang
beraal dari banyak tempat.
Spesies
dengan constancy intermediate (sedang) digunakan untuk menentukan percampuran,
karena baik spesies tersebut ada disetiap tempat maupun hanya ada pada sedikit
tempat, tidak berguna untuk pemisahan tipe tipe komunitas (muller-dombis dan
ellenberg,1974). Kebenaran
spesies ( a spesies fidelity) penting sekali dalam menentukan percampuran.
Spesies yang bisa dipercaya (faithful spesies), terbatas pada tipe komunitas
tertentu dan digunakan untuk mendiaknosa komunitas.
Selain itu untuk menentukan apakah suatu spesies cenderung
berada bersama beberapa spesies dan tidak ada dengan kehadiran spesies lainya,
maka Agmew (1961) mencatat kehadiran spesies di 99 paya (marsh) di North Wales.
Tanaman utama dalam paya yang dijadikan sampel adalah gelaga (rush), Juncus
efufus.Keberadaan spesies yang kurang dari 5 kali, dihilangkan sehingga tingal
53 spesies yang dihitung nilai X2 nya.Di dalam paya-paya, beberapa spesies
yang bercampur secara positif dan negativ.
Pencampuran
positif dihasilkan jika spesies terjadi dalam komunitas secara bersamaan dan
tidak terjadi tanpa kehadiran spesies lainnya. Pencampuran negatif dihasilkan
jika spesies tidak terjadi bersamaan. Dia tidak menggunakan spesies yang hanya
memiliki satu kali pencampuran dari 20 kali pencampuran.
Analisa ini menggunakan bahwa kelompok spesies bercampur dengan spesies lainyya. Dan menunjukan adanya sekelompok spesies tertentu yang cenderung berada bersama-sama di payau tersebut dan tipe komunitas tersebut dapat dikenali dengan metode yang obyektif. Akan tetapi, tidak satupun dari kelompok tersebut terisolasi secara sempurna terhadap kelompok lain, bermacam – macam spesies berhubungan di antara kelompok tersebut.
EKOSISTEM
C.
EKOSISTEM
Pengertian
ekosistem
Ekosistem
merupakan satuan fungsional dasar yang menyangkut proses interaksi organisme
hidup dengan lingkungan mereka. Istilah tersebut pada mulanya diperkenalkan
oleh A.G.Tansley pada tahun 1935. Sebelumnya, telah digrrnakan istilah-istilah
lain, yairu biocoenosis, dan mikrokosmos.
Setiap
ekosistem memiliki enam komponen yaitu produsen, makrokonsumen, mikrokonsumen,
bahan anorganik, bahan organik, dan kisaran iklim. Perbedaan antar ekosistem
hanya pada unsur-unsur penyusun masing-masing komponen tersebut. Masing-masing
komponen ekosistem mempunyai peranan dan mereka saling terkait dalam
melaksanakan proses-proses dalam ekosistem. Proses-proses dalam ekosistem
meliputi aliran energi, rantai makanan, pola keanekaragaman, siklus materi, perkembangan,
dan pengendalian.
Setiap
ekosistem rnampu mengendalikan dirinya sendiri, dan mampu menangkal setiap
gangguan terhadapnya. Kemampuan ini disebut homeostasis. Tetapi kemampuan ini
ada batasnya. Bilamana batas kemampuan tersebut dilampaui, ekosistem akan
mengalami gangguan. Pencemaran lingkungan merupakan salah satu bentuk gangguan
ekosistem akibat terlampauinya kemampuan homeostasis.
ENERGI DALAM EKOSISTEM
Aliran Energi dan Rantai
Makanan
1) Dikenal adanya dua hukum
termodinamika, yaitu
1) Bahwa energi dapat berubah bentuk, tidak dapat
dimusnahkan serta diciptakan.
2) Bahwa tidak
ada perubahan bentuk energi yang efisien.
2) Aliran energi di alam atau
ekosistem tunduk kepada hukum-hukum termodinamika tersebut. Dengan proses
fotosintesis energi cahaya matahari ditangkap oleh tumbuhan, dan diubah menjadi
energi kimia atau makanan yang disimpan di dalam tubuh tumbuhan.
3) Proses aliran energi berlangsung
dengan adanya proses rantai makanan. Tumbuhan dimakan oleh herbivora, dengan
demikian energi makanan dari tumbuhan mengalir masuk ke tubuh herbivora.
Herbivora dimakan oleh karnivora, sehingga energi makanan dari herbivora masuk
ke tubuh karnivora.
4) Di alam rantai makanan itu tidak
sederhana, tetapi ada banyak, satu dengan yang lain saling terkait atau
berhubungan sehingga membentuk jaring-jaring makanan. Organisme-organisme yang
memperoleh energi makanan dari tumbuhan dengan jumlah langkah yang sama
dimasukkan ke dalam aras trofik yang sama.
5) Makin tinggi aras trofiknya,
makin tinggi pula efisiensi ekologinya.
Konsep Produktivitas :
1) Produktivitas primer merupakan
laju penambatan energi yang dilakukan oleh produsen. Produktivitas primer
dibedakan atas produktivitas primer kasar (bruto) yang merupakan hasil
asimilasi total, dan produktivitas primer bersih (neto) yang merupakan
penyimpanan energi di dalam jaringan tubuh tumbuhan. Produktivitas primer
bersih ini juga adalah produktivitas kasar dikurangi dengan energi yang
digunakan untuk respirasi.
2) Produktivitas sekunder merupakan
laju penambatan energi yang dilakukan oleh konsumen. Pada produktivitas
sekunder ini tidak dibedakan atas produktivitas kasar dan bersih. Produktivitas
sekunder pada dasamya adalah asimilasi pada aras atau tingkatan konsumen.
3) Laju produktivitas akan tinggi
bilamana faktor-faktor lingkungan cocok atau optimal. Pemberian bantuan energi
dari luar atau subsidi energi juga dapat meningkatkan produktivitas. Subsidi
energi banyak dilakukan oleh manusia terhadap ekosistem pertanian, yang dapat
berupa pemberian pupuk, irigasi, pengendalian hama, pengolahan tanah. Subsidi
energi juga dapat terjadi secara alami, misalnya berupa ombak di lautan, pasang
naik dan surut di pantai, hujan di daratan, angin, dan lain lain.
4) Produktivitas atau produksi
berbeda dengan hasil panen. Produktivitas atau produksi adalah sebagaimana
dijelaskan sebelumnya. Produksi pada pertanian sebetulnya adalah hasil panen.
Hasil panen adalah bagian dari produktivitas primer bersih yang
diambil/dimanfaatkan oleh manusia. Pada dasarnya alam akan memaksimalkan
produktivitas bruto, sedangkan manusia berupaya memaksimalkan produktivitas
bersih, sehingga manusia dapat memaksimalkan hasil panen. Manusia juga memerlukan
produktivitas sekunder. Dari produktivitas sekunder, manusia juga dapat
memperoleh hasil panen yang dapat berupa daging, telur, atau susu.
5) Pengukuran produktivitas primer
pada umumnya didasarkan pada reaksi fotosintesis. Beberapa metode pengukuran produktivitas
primer adalah: metode panen yang cocok untuk ekosistem pertanian; pengukuran
oksigen, misalnya dengan metode botol gelap dan botol terang, untuk ekosistem
perairan; metode pH, yang cocok untuk ekosistem perairan; metode klorofil, yang
pada dasamya adalah mengukur kadar klorofil; metode radioaktif; dan metode CO2
Pola dan Tipe Dasar Siklus Biogeokimia
1) Pada dasarnya semua unsur kimia di alam akan
mengalami sirkulasi, yaitu dari bentuk yang berada di dalam lingkungan (anasir
abiotik) menuju ke dalam bentuk yang berada di dalam organisme (anasir biotik),
dan kemudian kembali lagi ke lingkungan. Proses ini disebut sebagai siklus atau
daur ulang biogeokimiawi, atau siklus materi.
2) Secara struktural setiap siklus materi terdiri dari
bagian cadangan dan bagian yang mengalami pertukaran. Di dalam bagian cadangan,
unsur kimia tersebut akan terikat dan sulit bergerak, atau pergerakannya
lambat. Di dalam bagian pertukaran, unsur kimia tersebut aktif bergerak atau
mengalami pertukaran. siklus materi dibedakan atas dua tipe, yaitu tipe gas dan
tipe sidimeter.
3) Siklus nitrogen merupakan salah satu siklus materi
tipe gas. Bagian cadangannya terdapat di dalam atmosfer. sedangkan siklus
fosfor merupakan contoh siklus materi tipe sedimenter. Bagian cadangan siklus
fosfor terdapat di dalam tanah atau kerak bumi dan sukar terlarut, sehingga
siklus ini mudah terganggu.
4) Dalam siklus nitrogen, fosfor maupun belerang,
terdapat organisme-organisme yang mempunyai peranan penting untuk
berlangsungnya siklus tersebut, misalnya organisme penambat nitrogen bebas.
Pengetahuan mengenai peranan organisme dalam siklus materi dapat dimanfaatkan
manusia, misalnya dalam bidang pertanian.
5) Siklus materi yang satu dengan yang lain dapat
saling terkait atau mempengaruhi. Hal ini dapat dilihat misalnya pada siklus
belerang.
6) Aktivitas manusia juga dapat mempengaruhi siklus
materi. Sebagai contohnya adalah kegiatan pabrik dan mesin-mesin kendaraan
bermotor dapat meningkatkan kandungan senyawa-senyawa oksidasi beterang, dan
oksida nitrogen di udara.
Siklus Karbondioksida dan siklus Hidrologi
1) Daur ulang karbondioksida mempunyai arti yang
penting bagi manusia, dan sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Siklus ini
merupakan siklus materi tipe gas, dimana pergerakan karbondioksida di udara
sangat cepat, serta mempunyai dampak global. Meningkatnya pembakaran bahan
bakar fosil terutama yang dilakukan dalam industri (pabrik-pabrik) dan yang
terjadi pada kegiatan transportasi (kendaraan bermotor) akan meningkatkan
pelepasan CO2 ke atmosfer. Kegiatan agro-industri temyata tidak mampu
mengabsorbsi kembali CO2 yang di lepas ke atmosfer, sebab kegiatan pengelolaan
tanah juga melepas CO2 ke atmosfer.
2) Seperti halnya siklus karbondioksida, siklus
hidrologi juga merupakan siklus tipe gas, dan mendapat perhatian yang besar
karena mempunyai arti yang penting bagi manusia.
3) Hujan merupakan faktor pendorong utama siklus
hidrologi (air). Di atmosfer, air berupa uap air, awan, atau butiran es. Hujan
yang turun sebagian besar akan masuk ke laut dan sebagian lagi masuk ke
daratan. Air yang masuk ke daratan dapat ditangkap oleh tumbuhan dan tanah. Air
yang dapat ditangkap oleh tanah berupa air tanah, dan air tanah inilah yang
dapat dimanfaatkan oleh manusia, misalnya berupa mata air, sungai, dan danau.
Kembalinya air ke atmosfer adalah melalui penguapan dari laut, dan
evapotranspirasi dari daratan. Penguapan yang terbesar adalah dari laut.
4) Adanya vegetasi menyebabkan kemampuan menangkap
atau menyimpan air oleh ekosistem daratan lebih besar. Tebang habis hutan
menyebabkan air limpasan permukaan lebih besar, infiltrasi air ke dalam tanah
berkurang, erosi makin hebat, dan mengakibatkan hara yang keluar makin banyak.
5) Ada perbedaan yang cukup penting antara siklus
materi di daerah iklim sedang dengan yang di daerah tropis. Di daerah tropis,
serasah arau bangkai cepat diuraikan oleh organisme pengurai, sehingga lantai
hutan tropika hanya mempunyai lapisan serasah yang sangat tipis. Unsur hara
yang dibebaskan segera dimanfaatkan oleh tumbuhan. Hal ini terjadi karena suhu
yang hangat dan lembab, merupakan kondisi yang optimum bagi metabolisme
organisme. Di daerah iklim sedang, suhu lebih dingin terhenti, sehingga serasah
pada lantai hutan tebal. unsur hara sebagian besar akan berada dalam tanah.
perbedaan ini perlu mendapatkan perhatian, sehingga pengelolaan ekosistem di
daerah tropis tidak sekedar meniru dari negara-negara iklim sedang.
6) Studi-studi kuantitatif siklus biogeokimiawi
mempunyai arti yang penting. Dengan studi semacam itu maka dapat diketahui
anggaran atau tersedianya hara di dalam suatu ekosistem.
Hukum minimum Leibig dan Hukum Toleransi
Suatu organisme untuk dapat bertahan
dan hidup di dalam keadaan tertentu, harus memiliki bahan-bahan penting yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan-biakkannya. Keperluan-keperluan
dasar ini bervariasi antara jenis dengan keadaan tertentu. Apabila keperluan
mendasar ini hanya tersedia dalam jumlah yang paling minimum, maka akan
bertindak sebagai factor pembatas. Walaupun demikian, seandainya keperluan
mendasar yang hanya tersedia minimum, berada dalam waktu “sementara” tidak
dapat dianggap sebagai faktor minimum, karena pengaruhnya dari banyak bahan
sangat cepat berubah.
Kondisi minimum dari suatu kebutuhan mendasar bukan merupakan satu-satunya faktor pembatas kehidupan suatu organisme, tetapi juga dalam keadaan terlalu maksirnumnya kebutuhan tadi, sehingga dengan kisaran minimum-maksimum ini dianggap sebagai batas-batas toleransi organisrne untuk dapat hidup. Namun dalam kenyataan tidak sedikit organisme yang mempunyai kemampuan untuk “relatif’ mengubah keadaan lingkungan fisik gunan mengurangi efek hambatan terhadap pengaruh lingkungan fisiknya.
Kondisi minimum dari suatu kebutuhan mendasar bukan merupakan satu-satunya faktor pembatas kehidupan suatu organisme, tetapi juga dalam keadaan terlalu maksirnumnya kebutuhan tadi, sehingga dengan kisaran minimum-maksimum ini dianggap sebagai batas-batas toleransi organisrne untuk dapat hidup. Namun dalam kenyataan tidak sedikit organisme yang mempunyai kemampuan untuk “relatif’ mengubah keadaan lingkungan fisik gunan mengurangi efek hambatan terhadap pengaruh lingkungan fisiknya.
Faktor Pembatas Fisik dan Indikator Ekologi
Kehadiran atau keberhasilan suatu
organisme atau kelompok organisme terganltung kepada komples keadaan. Kadaan
yang manapun yang.mendekati atau melampaui batas-batas toleransi dinamakan
sebagai yang membatasi atau faktor pembatas. Dengan adanya faktor pembatas ini
semakin jelas kemungkinannya apakah suatu organisme akan mampu bertahan dan
hidup pada suatu kondisi wilayah tertentu.
Jika suatu organisme mempunyai batas
toleransi yang lebar untuk suatu faktor yang relatif mantap dan dalam jumlah
yang cukup, maka faktor tadi bukan merupakan faktor pembatas. Sebaliknya apabia
organisme diketahui hanya mempunyai batas-batas toleransi tertentu untuk suatu
faktor yang beragam, maka faktor tadi dapat dinyatakan sebagai faktor pembatas.
Beberapa keadaan faktor pembatas, termasuk diantaranya adalah temperatur, cahaya,
air, gas atmosfir, mineral, arus dan tekanan, tanah, dan api. Masing-masing
dari organisme mempunyai kisaran kepekaan terhadap faktor pembatas.
Dengan adanya faktor pembatas, dapat
dianggap faktor ini bertindak sebagai ikut menseleksi organisme yang mampu
bertahan dan hidup pada suatu wilayah. Sehingga seringkali didapati adanya
organisme-organisme tertentu yang mendiami suatu wilayah tertentu.pula.
Organisme ini disebut sebagai indikator biologi (indikator ekologi) pada
wilayah tersebut.
Sifat dan Distribusi Umum
Populasi yang telah didefinisikan
sebagai kelompok kolektif organisme dari spesies yang sama (atau
kelompok-kelompok lain di mana individu-individu dapat bertukar informasi
genetiknya) yang menempati ruang dan atau waktu tertentu, memiliki berbagai
ciri/sifat maupun parameter yatg unik dari kelompok dan sudah tidak merupakan
sifat dari masing-masing individu pembentuknya. Sifat-sifat tersebut antara
lain kepadatan, natalitas, mortalitas, penyebaran umur, potensi biotik,
dispersi, dan bentuk serta perkembangan. Khusus mengenai distribusi umur
individu dalam suatu populasi merupakan sifat penting karena secara langsung
dan tak langsung dapat mempengaruhi laju mortalitas maupun laju natalitas. Secara umum,
pembagian umur menjadi 3 yaitu: pre-reproduktif, reproduktif, dan
post-reproduktif. Perbandingan penyebaran golongan umur dalam populasi dapat
menentukan keadaan arah reproduktif yang berlangsung dalam populasi, dan
sekaligus dapat dipakai untuk memperkirakan keadaan populasi dimasa mendatang.
Pertumbuhan Populasi
Populasi memiliki pola-pola
pertumbuhan khas yang disebut sebagai bentuk pertumbuhan populasi. Untuk
keperluan perbandingan dapat diajukan dua pola dasar yang berdasarkan pada
gambar aritmatik berbentuk kurva pertumbuhan, seperti kurva pertumbuhan
berbentuk J dan S. Tipe-tipe yang berbeda ini dapat digabungkan atau diubah
dalam berbagai cara menurut kekhususan berbagai organisme dan lingkungan.
Adanya kurva pertumbuhan ini sekaligus juga menunjukkan adanya fluktuasi dalam
pertumbuhan populasi. Beberapa faktor pembatas fisik dapat bertindak sebagai
pemacu adanya fluktuasi pertumbuhan populasi. Populasi
cenderung berfluktuasi di atas dan di bawah daya dukung. Dengan adanya
fluktuasi terjadilah keseimbangan baru meskipun dalam waktu-waktu tertentu
saja, seperti populasi musiman dan populasi tahunan.
Pola Penyebaran Populasi(Dispersi)
Setiap populasi apabila telah
mencapai tingkat kepadatan, kerapatan tertentu, dan dengan keterbatasan daya
dukung lingkungan, akan cenderung mengalami penyebaran. Di tempat yang baru
populasi akan menempati, beradaptasi, dan membentuk keseimbang yang baru
kembali. Dalam melakukan penyebaran, populasi cenderung membentuk
kelompok-kelompok dari ukuran tertentu. Beberapa tipe penyebarannya adalah
seragam, acak, dan acak berkelompok. Berkaitan dengan keterbatasan daya dukung
lingkungan, khususnya ketersediaan sumberdaya makanan, ruang, dan lain-lain
setiap individu mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan daerah wilayahnya
(teritori) ,dengan cara teup berada pada wilayahnya masing-masing atau
mengisolasikan diri. pada hewan tingkat tinggi, isolasi umumnya dilakukan
dengan membatasi daerah tempat kehidupannya dengan daerah pengembaraan (home
range).
Komunitas
Komunitas biotik adalah kumpulan
populasi-populasi organisme apapun yang hidup dalam daerah atau habitat fisik
yang telah. ditentukan., sehingga hal tersebut merupakan satuan yang
diorganisasi sedemikian rupa bahwa komunitas mempunyai sifat-sifat tambahan
terhadap komponen individu beserta fungsi-fungsinya. Berdasarkan sifat
komunitas dan fungsi tersebut, komunitas biotik dapat terbagi menjadi komunitas
utama /mayor, dan komunitas minor. Komunitas mayor adalah komunitas yatrg cukup
besar kelengkapannya sehingga relatif. tidak tergantung pada komunitas lain.
Sedangkan komunltas minor adalah komunitas yang kurang lebih masih tergantung
pada komunitas lain.
Komunitas tidak hanya mempunyai kesatuan fungsional
tertentu dengan struktur trofik dan arus energi khas saja, tetapi juga
merupakan kesatuan yang di dalamnya terdapat peluang bagi jenis tertentu untuk
dapat hidup dan berdampingan. walaupun demikian tetap masih ada kompetisi
diantaranya, sehingga akan ditemukan populasi tertentu berperan sebagai
dominansi suatu komunitas. Populasi yang mendominasi tersebut terutama adalah
populasi yang dapat mengendalikan sebagian besar arus energi dan kuat sekali
mempengaruhi lingkungan pada semua jenis yang ada di dalam komunitas yang sama.
Analisis Komunitas
Analisis komunitas dalam daerah
geografis tertentu dari bentang darat telah mengutamakan dua pendekatan yang
berlawanan, yaitu: 1) pendekatan secara zona, dan 2) pendekatan analisis
gradien. Masing-masing pendekatan ini mempunyai tujuan spesifik tersendiri yang
cocok pada pengukuran analisis komunitas pada wilayah tertentu. Pada umumnya
semakin curam gradien lingkungan, maka semakin nyata terlihat dan atau makin
tidak bersambungan komunitas-komunitasnya. Sebaliknya semakin landai gradien
lingkungan makin bersambungan komunitas-kornunitasnya. Komunitas-komunitas
dalam gradien lingkungan yang cukupr seragam pada ekosistem yang sarna,
cenderung mempunyai tingkat keanekaragaman spesies yang relatif cukup seragam
pula.
Ekotone adalah peralihan antara dua
atau lebih komunitas yang berbeda. Daerah ini adalah daerah pertemuan yang
dapat berbentuk bentangan luas tetapi masih lebih sempit/kecil jumlah
populasinya dari komunitas sekitamya. Komunitas ekotone biasanya banyak
mengandung organisme dari masing-masing komunitas yang saling tumpang tindih,
dan sebagai tambahan, ataupun sebagai organisme yang khas tidak terdapat pada
masing-masing komunitas pendampingnya.
Seringkali terdapat kecenderungan
jumlah jenis dan kepadatan organisme di wilayah ekotone lebih besar daripada
komunitas sekitarnya Kecenderungan ini akhirnya akan meningkatkan keanekaragaman
dan kepadatan wilayah ekotone dibanding komunitas pendampingnya. keadaan ini
dikenal sebagai pengaruh tepi (edge effect).
Individu Dalam Ekosistem
Dalam mempelajari suatu organisme,
tentunya kita tidak hanya berupaya mengetahui “dimana” tempat hidup secara
alami organisme yang akan kita pelajari tadi, karena bisa saja tempat hidup
alami organisme tadi saling tumpang tindih dengan tempat hidup alami organisme
lain, atau juga merupakan tempat hidup alami organisme lain. Adanya kerancuan
ini, apabila kita pelajari lagi, tampak lebih jelas bahwa suatu organisme dapat
saja menempati makrohabitat ataupun mikrohabitat dari ekosisrem yang sama.
Terlebih lagi kalau kita melihat dari apa peranan dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan organisme yang akan kita teliti tadi. Hal inilah yang
dinyatakan sebagai relung ekologi. dari suatu organisme.
Dengan adanya relung ekologi, setiap
organisme akan mempunyai peranan yang berlainan meskipun dalam ekosistem yang
sama. Relung ekologi juga akan menggambarkan kemampuan dari suatu organisme
untuk berinteraksi dalam ekosistem dengan berikut segala isinya, bahkan apabila
memungkinkan kita mpu ikut mengendalikan ekosistem dari lingkungan hidupnya.
Di alam kita juga sering mendapati
adanya spesies yang terdapat pada daerah geografis yang tidak sama atau
terpisah oleh suatu barrier, misalnya gunung atau pulau. Keadaan ini disebut
Allopatrik. Sebaliknya bisa saja kita temui adanya spesies yang sama terdapat
pada daerah yang sama, namun dalam relung yang berbeda. Kondisi ini disebut
Simpatrik. Peristiwa yang termasuk allopatrik dan simpatrik ini dapat dengan
mudah ditemui, mengingat bahwa bisa saja dengan keanekaragaman ekosistem yang
ada lebih memungkinkan suatu organisme ataupun spesies tertentu mampu hidup dan
beradaptasi di dalamnya.
Meskipun demikian, lambat laun
dengan kondisi simpatrik maupun allopatrik akan mengarah pada terbentuknya
spesies baru secara evolusi, karena dalam kondisi geografis yang tidak sama
ataupun relung yang berlainan akan menuntut organisme di dalamnya untuk selalu
menyesuaikan diri, yang bisa saja akhimya akan berlainan sama sekali dengan
organisme atau spesies yang ada sebelumnya.
Jam Biologi
dan Domestikasi
Organisme-organisme mempunyai
mekanisme secara fisiologik untuk mengukur waktu, yang dikenal sebagai jam
biologi (biological clock). Secara umum jam biologi harian adalah kemampuan
untuk menentukan waktu dan mengulangi fungsi-fungsi pada setiap interval 24 jam
sekalipun dalam keadaan tanpa tergantung adanya tanda-tanda faktor fisik
seperti cahaya matahari. Jam biologi juga dikaitkan dengan
periodisitas-periodisitas yang berhubungan dengan bulan dan daur-daur musiman.
Meskipun mekanisme terjadinya jam
biologi belum jelas, tetapi terdapat dua teori yang diusulkan, yaitu (1)
Hipotesa waktu endogen, yaitu jam atau waktu harian yang telah terprogram oleh
tubuh organisme dan dapat mengukur tanpa adanya petunjuk lingkungan. (2)
Hipotesa waktu eksternal, yaitu jam atau waktu harian dalam tubuh organisme
yang bekerjanya diatur oleh tanda-tanda dari lingkungan.
Adanya “kemampuan-kemampuan”
tertentu yang dianggap bersifat menguntungkan dari suatu organisme, mengundang
organisme tersebut didomestikasi ke tempat yang diperkirakan cocok. Banyak di
antara organisme yang didomestikasi akhirnya dibudidayakan dan lambat laun
mengalami suatu perubahan sehingga bisa saja akhirnya berlainan dengan sifat
aslinya. Pada
peristiwa domestikasi, baik pada hewan ataupun tanaman tidak hanya sekedar
melibatkan domestikasi genetik dari suatu spesies, melainkan juga adanya
“adaptasi timbal balik” antara spesies yang didomestikasi dengan pemelihara
(domestikator) yang biasanya manusia. Sehingga sebetulnya pada peristiwa ini
terjadi dua jalur yang saling mempengaruhi yang dapat saja membawa atau
mengarah pada perubahan (ekologi dan sosial, bahkan genetik) pada manusia
maupun organisme yang dipeliharanya. Meskipun demikian, apabila upaya
domestikasi dilakukan dengan kurang perhitungan dan ceroboh justru akan
menimbulkan masalah besar, dengan lepas dan tidak terkontrolnya organisme yvng didomestikasi
ke alam bebas dan berubah menjadi hama.
Perkembangan Ekosistem
Setiap ekosistem dalam suatu wilayah
selalu mengalami perkembangan menuju ke arah keseimbangan. Perkembangan
ekosistem tersebut tergantung dari pola perkembangan komunitas yang ada di
dalamnya. Secara umum perkembangan ekosistem yang dikenal dengan suksesi
ekologi ini, melalui beberapa tahapan-tahapan perkembangan yang disebut sere.
Setiap sere memberikan ciri-ciri khas tersendiri tergantung dari jenis-jenis
dominan yang ada dan faktor pembatas fisiknya.
Suksesi tidak hanya berlaku pada
ekosistem alaminya saja, melainkan iuga pada organisme hewan dan tumbuhan yang
ada di dalamnya. Bahkan dinyatakan bahwa ekosistem primer, sekunder, flora, dan
fauna dan daerah sekitar merupakan faktor utama yang memberi pengaruh terhadap
tipe-tipe pertumbuhan tumbuhan dan hewan yang mengalami suksesi baik melalui
persebaran maupun migrasi.
Terdapat tiga hal pokok yang saling
terkait dan ikut mempengaruhi lajunya perkembangan ekosistem, yakni 1) ketersediaan
sumber daya, 2) faktor pembatas fisik, dan 3) kemampuan dari organismenya.
Khusus mengenai ketersediaan sumber daya, dalam hal ini makanan/energi
diberikan penekanan tersendiri karena dapat mengarah pada kesempatan kenaikkan
biomassa. Apabila laju total fotosintesis lebih besar dari laju total respirasi
maka dapat memungkinkan kesempatan kenaikkan biomassa., dan ini disebut suksesi
autotrofik. sebaliknya bila laju total fotosintesis lebih kecil dari laju total
respirasi maka hanya akan memanfaatkan energi yang sudah ada dengan pembentukan
relung-relung ekologi yang baru, dan ini disebut suksesi heterotrofik.
Suksesi, pada tingkat perkembangan
akhir terbentuklah puncak dimana terdapat keseimbangan ekologi biomassa
maksimum dengan pola-pola simbiose yang berlangsung di dalamnya berjalan secara
alami pula. Jadi perkembangan ekosistem tidak pernah merupakan hasil
perkembangan yang terjadi begitu saja, dalam artian terjadi langsung
keseimbangan ekologi pada suatu kawasan yang baru terbentuk. Dibutuhkan satuan
waktu tertentu, tentunya dengan kemampuan daya adaptasi yang ada untuk mencapai
suatu tatanan menuju keseimbangan ekologi. Sejalan
dengan perkembangan ekosistem menuju klimaks ekologi ataupun keseimbangan
ekosistem, senantiasa selalu diikuti dengan perkembangan berupa
perubahan-perubahan dari segala sesuatu yang berkaitan dengan tata kehidupan
organisme yang ada di dalam ekosistem tersebut. Hanya organisme yang mampu
beradaptasilah (yang mampu melakukan kompensasi terhadap faktor pembatas fisik
lingkungannya) yang dapat terus berada dan hidup, meskipun dengan harus
“menciptakan” suatu relung ekologi tersendiri.
Konsep Klimaks
Setelah melalui beberapa tahapan
perkembangan ekosistem atau sere, suatu ekosistem dapat mencapai tahapan akhir
klimaks atau dapat pula dianggap sebagai puncak perkembangan ekosistem. Salah
satu ciri pada komunitas klimaks yaitu dengan tidak terdapatnya penumpukan zat
organik netto tahunan. Hal ini disebabkan karena produksi tahunan komunitas
seimbang dengan konsumsi tahunan.
Banyak ahli berpendapat bahwa iklim
klimaks pada suatu wilayah belum tentu dapat dicapai karena komunitas yang
sudah “mantap” sekalipun, karena masih menunjukkan adanya perubahan,
penyesuaian dan pembusukan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa perubahan suatu
komunitas dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang terdapat dalam komunitas
tersebut. Berdasarkan hal tersebut telah dipakai kesepakatan bahwa hampir tidak
mungkin pada suatu wilayah mencapai iklim klimaks, sehingga iklim klimaks
tunggal merupakan komunitas teoritis yang dituju semua suksesi dalam
perkembangan pada suatu daerah, asalkan keadaan lingkungan fisik secara umum
tidak terlalu ekstrem sehingga dapat mampu mempengaruhi iklim lingkungan.
umumnya suksesi berakhir pada klimaks edaphik, dengan hanya terkait pada
masing-masing pengaruh faktor pembatas fisik pada wilayah setempat.
Meskipun suksesi pada suatu ekosistem untuk dapat mencapai
klimaks membutuhkan waktu yang tidak sebentar, namun cepat lambatnya masih
tergantung pula oleh tingkatan suksesi yang terjadi kepadanya.secara umum
terdapat dua macam ekosistem suksesi yaitu, ekosistem suksesi primer dan
ekosistem suksesi sekunder. Ekosistem suksesi primer lebih dinyatakan pada
berkembangnya ekosistem tersebut melalui substrat yang baru.Artinya kehidupan
yang ada pada ekosistem tersebut setelah perlakuan benar-benar dimulai dari
nol, dan harus dimulai dari kerja organisme pionir dengan segala perlakuan dari
faktor pembatas fisik yang ada. Sedangkan ekosistem suksesi sekunder berkembang
setelah ekosistem alami rusak total tetapi dimulai dengan tidak terbentuk
substrat yang baru, atau dapat dianggap sebagai dimulainya kehidupan baru
setelah adanya “gangguan” pada ekosistem alami.
Susunan dan Macam Ekosistem
Ekosistem merupakan suatu interaksi yang kompleks dan
memiliki penyusun yang beragam. Di bumi ada bermacam-macam ekosistem.
1. Susunan Ekosistem
Dilihat dari susunan dan fungsinya, suatu ekosistem tersusun
atas komponen sebagai berikut.
a. Komponen autotrof
(Auto = sendiri dan trophikos = menyediakan makan). Autotrof
adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa
bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan
kimia.Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan
hijau.
b. Komponen heterotrof
(Heteros = berbeda, trophikos = makanan).
Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahan-bahan
organik sebagai makanannya dan bahan tersebut disediakan oleh organisme lain.
Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
c. Bahan tak hidup (abiotik)
Bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan kimia yang terdiri
dari tanah, air, udara, sinar matahari. Bahan tak hidup merupakan medium atau
substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup.
d. Pengurai (dekomposer)
Pengurai adalah organisme heterotrof yang menguraikan bahan
organik yang berasal dari organisme mati (bahan organik kompleks). Organisme
pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan
yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen.Termasuk pengurai ini
adalah bakteri dan jamur.
2. Macam-macam Ekosistem
Secara garis besar ekosistem
dibedakan menjadi ekosistem darat dan ekosistem perairan. Ekosistem
perairan dibedakan atas ekosistem air tawar dan ekosistem air Laut.
a. Ekosistem
darat
Ekosistem darat ialah ekosistem yang
lingkungan fisiknya berupa daratan. Berdasarkan letak geografisnya (garis
lintangnya), ekosistem darat dibedakan menjadi beberapa bioma, yaitu sebagai
berikut.
1. Bioma gurun
Beberapa Bioma gurun terdapat di
daerah tropika (sepanjang garis balik) yang berbatasan dengan padang
rumput. Ciri-ciri bioma gurun adalah gersang dan curah hujan rendah (25
cm/tahun). Suhu slang hari tinggi (bisa mendapai 45°C) sehingga penguapan juga
tinggi, sedangkan malam hari suhu sangat rendah (bisa mencapai 0°C). Perbedaan
suhu antara siang dan malam sangat besar. Tumbuhan semusim yang terdapat di
gurun berukuran kecil. Selain itu, di gurun dijumpai pula tumbuhan menahun
berdaun seperti duri contohnya kaktus, atau tak berdaun dan memiliki akar
panjang serta mempunyai jaringan untuk menyimpan air. Hewan yang hidup di gurun
antara lain rodentia, ular, kadal, katak, dan kalajengking.
2.
Bioma padang rumput
Bioma ini
terdapat di daerah yang terbentang dari daerah tropik ke subtropik.
Ciri-cirinya adalah curah hujan kurang lebih 25-30 cm per tahun dan hujan turun
tidak teratur. Porositas (peresapan air) tinggi dan drainase (aliran air)
cepat. Tumbuhan yang ada terdiri atas tumbuhan terna (herbs) dan rumput yang
keduanya tergantung pada kelembapan. Hewannya antara lain: bison, zebra, singa,
anjing liar, serigala, gajah, jerapah, kangguru, serangga, tikus dan ular
3. Bioma Hutan
Basah
Bioma Hutan
Basah terdapat di daerah tropika dan subtropik.
Ciri-cirinya adalah, curah hujan 200-225 cm per tahun. Species pepohonan relatif banyak, jenisnya berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung letak geografisnya. Tinggi pohon utama antara 20-40 m, cabang-cabang pohon tinngi dan berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi). Dalam hutan basah terjadi perubahan iklim mikro (iklim yang langsung terdapat di sekitar organisme). Daerah tudung cukup mendapat sinar matahari. Variasi suhu dan kelembapan tinggi/besar; suhu sepanjang hari sekitar 25°C. Dalam hutan basah tropika sering terdapat tumbuhan khas, yaitu liana (rotan), kaktus, dan anggrek sebagai epifit. Hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu.
Ciri-cirinya adalah, curah hujan 200-225 cm per tahun. Species pepohonan relatif banyak, jenisnya berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung letak geografisnya. Tinggi pohon utama antara 20-40 m, cabang-cabang pohon tinngi dan berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi). Dalam hutan basah terjadi perubahan iklim mikro (iklim yang langsung terdapat di sekitar organisme). Daerah tudung cukup mendapat sinar matahari. Variasi suhu dan kelembapan tinggi/besar; suhu sepanjang hari sekitar 25°C. Dalam hutan basah tropika sering terdapat tumbuhan khas, yaitu liana (rotan), kaktus, dan anggrek sebagai epifit. Hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu.
4. Bioma
hutan gugur
Bioma hutan gugur terdapat di daerah
beriklim sedang,
Ciri-cirinya adalah curah hujan merata sepanjang tahun. Terdapat di daerah yang mengalami empat musim (dingin, semi, panas, dan gugur). Jenis pohon sedikit (10 s/d 20) dan tidak terlalu rapat. Hewannya antara lain rusa, beruang, rubah, bajing, burung pelatuk, dan rakoon (sebangsa luwak).
Ciri-cirinya adalah curah hujan merata sepanjang tahun. Terdapat di daerah yang mengalami empat musim (dingin, semi, panas, dan gugur). Jenis pohon sedikit (10 s/d 20) dan tidak terlalu rapat. Hewannya antara lain rusa, beruang, rubah, bajing, burung pelatuk, dan rakoon (sebangsa luwak).
5. Bioma
taiga
Bioma taiga terdapat di belahan bumi
sebelah utara dan di pegunungan daerah tropik. Ciri-cirinya adalah suhu di
musim dingin rendah. Biasanya taiga merupakan hutan yang tersusun atas satu
spesies seperti konifer, pinus, dap sejenisnya. Semak dan tumbuhan basah
sedikit sekali. Hewannya antara lain moose, beruang hitam, ajag, dan
burung-burung yang bermigrasi ke selatan pada musim gugur.
6. Bioma
tundra
Bioma tundra terdapat di belahan
bumi sebelah utara di dalam lingkaran kutub utara dan terdapat di puncak-puncak
gunung tinggi. Pertumbuhan tanaman di daerah ini hanya 60 hari. Contoh tumbuhan
yang dominan adalah Sphagnum, liken, tumbuhan biji semusim, tumbuhan kayu yang
pendek, dan rumput. Pada umumnya, tumbuhannya mampu beradaptasi dengan keadaan
yang dingin. Hewan yang hidup di daerah ini ada yang menetap dan ada yang
datang pada musim panas, semuanya berdarah panas. Hewan yang menetap memiliki
rambut atau bulu yang tebal, contohnya muscox, rusa kutub, beruang kutub, dan
insekta terutama nyamuk dan lalat hitam.
b.
Ekosistem Air Tawar
Ciri-ciri
ekosistem air tawar antara lain variasi suhu tidak menyolok, penetrasi cahaya
kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca. Macam tumbuhan yang terbanyak
adalah jenis ganggang, sedangkan lainnya tumbuhan biji. Hampir semua filum
hewan terdapat dalam air tawar. Organisme yang hidup di air tawar pada umumnya
telah beradaptasi.
Adaptasi organisme air tawar adalah sebagai berikut.
Adaptasi tumbuhan
Tumbuhan yang hidup di
air tawar biasanya bersel satu dan dinding selnya kuat seperti beberapa alga
biru dan alga hijau. Air masuk ke dalam sel hingga maksimum dan akan berhenti
sendiri. Tumbuhan tingkat tinggi, seperti teratai (Nymphaea gigantea),
mempunyai akar jangkar (akar sulur). Hewan dan tumbuhan rendah yang hidup di
habitat air, tekanan osmosisnya sama dengan tekanan osmosis lingkungan atau
isotonis.
Adaptasi
hewan
Ekosistem
air tawar dihuni oleh nekton. Nekton merupakan hewan yang bergerak aktif dengan
menggunakan otot yang kuat. Hewan tingkat tinggi yang hidup di ekosistem air
tawar, misalnya ikan, dalam mengatasi perbedaan tekanan osmosis melakukan
osmoregulasi untuk memelihara keseimbangan air dalam tubuhnya melalui sistem
ekskresi, insang, dan pencernaan. Habitat air
tawar merupakan perantara habitat laut dan habitat darat. Penggolongan
organisme dalam air dapat berdasarkan aliran energi dan kebiasaan hidup.
1.
Berdasarkan aliran energi, organisme dibagi menjadi autotrof (tumbuhan), dan
fagotrof (makrokonsumen), yaitu karnivora predator, parasit, dan saprotrof atau
organisme yang hidup pada substrat sisa-sisa organisme.
2.
Berdasarkan kebiasaan hidup, organisme dibedakan sebagai berikut.
a.
Plankton;
terdiri alas fitoplankton dan zooplankton; biasanya
melayang
layang (bergerak pasif) mengikuti gerak aliran
air.
b. Nekton; hewan yang
aktif berenang dalam air, misalnya ikan.
c. Neuston; organisme
yang mengapung atau berenang di permukaan air atau bertempat pada permukaan
air, misalnya serangga air.
d. Perifiton; merupakan tumbuhan atau hewan yang
melekat/bergantung
pada tumbuhan atau benda lain, misalnya keong.
pada tumbuhan atau benda lain, misalnya keong.
e. Bentos; hewan dan tumbuhan yang hidup di dasar atau
hidup pada
endapan. Bentos dapat sessil (melekat) atau bergerak bebas, misalnya cacing dan remis. Lihat Gambar. Ekosistem air tawar digolongkan menjadi air tenang dan air mengalir. Termasuk ekosistem air tenang adalah danau dan rawa, termasuk ekosistem air mengalir adalah sungai.
endapan. Bentos dapat sessil (melekat) atau bergerak bebas, misalnya cacing dan remis. Lihat Gambar. Ekosistem air tawar digolongkan menjadi air tenang dan air mengalir. Termasuk ekosistem air tenang adalah danau dan rawa, termasuk ekosistem air mengalir adalah sungai.
HUTAN
RAWA GAMBUT
v TANAH
HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Oleh
Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010
Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri
dari bahan organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau sedikit
terdekomposisi serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan.
Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah
mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15 % sampai dengan 20 %
dan tanah organik yang mengandung bahan organik berkisar antara 20 % sampai
dengan 25 % bahkan kadang-kadang sampai 90 % mengandung bahan organik (Buckman
dan Brady, 1982). Asian Wetland Beraue dan Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi
(1996) mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan statu ekosistem yang unik
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (a) selalu tergenang air, (b) komposisi
jenis pon beraneka ragam, mulai dari tegakan sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum
Mix.Sampai tegakan campuran, (c) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan, (d)
mempunyai perakaran yang khas, dan (e) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat
masam.
Tanah gambut, merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan bahan organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama taah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm (Suhardjo, 1983). Tanah gambut tersebut pada umumnya mengandung lebih dari 60 % bahan organik (Driessen, 1977).
Tanah gambut, merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan bahan organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama taah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm (Suhardjo, 1983). Tanah gambut tersebut pada umumnya mengandung lebih dari 60 % bahan organik (Driessen, 1977).
Tanah gambut
atau tanah organik dimaksud dikenal juga sebagai tanah organosol atau histosol
(Suhardjo, 1983).
Menurut sistem kalsifikasi taksonomi tanah (USDA, 1975) tanah gambut
termasuk kedalam ordo histosol, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik
lebih dari 20 % tekstur pasir atau lebih dari 30 % tekstur liat. Lapisan yang
mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Menurut
sistem klasifikasi tersebut, ordo histosol berdasarkan bahan asal dan tingkat
perombakannya dibedakan menjadi empat sub-ordo, yaitu folist, fibrist, hemist
dan saprist. Sub-ordo tersebut berdasarkan kandungan atau ketebalan bahan
penciri dan temperaturnya dibedakan menjadi beberapa kelompok besar.
Untuk daerah
tropika nama-nama kelompok besar antara lain : tropofolist, tropofibrist,
tropohemist dan troposaprist. Kelompok besar ini secara umum mempunyai
perbedaan temperatur rata-rata musim panas dan dingin kurang dari 50 C.
Tanpa memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan bahan induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
Tanpa memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan bahan induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
(1) Gambut
endapan; Gambut endapan biasanya tertimbun di dalam air yang relatif dalam.
Karena itu umumnya terdapat jelas di profil bagian bawah. Meskipun demikian,
kadang-kadang tercampur dengan tipe gambut lainnya jika lebih dekat dengan
permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal serta bewarna hijau tua jika masih
dalam keadaan aslinya. Kalau kering gambut ini menyerap air sangat lambat dan
bertahan tetap dalam keadaan sangat keras dan bergumpal. Gambut ini tidak
dikehendaki, karena sifat fisiknya yang tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman.
(2) Gambut
berserat; Gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan dapat
menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat mungkin terdapat
dipermukaan timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi, sebagian atau
seluruhnya terdapat dalam profil bawah, biasanya terlihat di atas endapan.
(3) Gambut
kayuan; Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan organik. Gambut
ini bewarna coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya.
Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan kurang sesuai
digunakan untuk persemaian. Menurut Darmawijaya (180) berdasarkan faktor
pembentukannya, gambut digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :
(1) Gambut
ombrogen; Gambut ombrogen terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi,
dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada daerah
tropika yang lebat dengan curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun. Bersifat
sangat masam dengan pH 3,0 – 4,5.
(2) Gambut
topogen; Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topografi, berasal dari
tanaman paku-pakuan dan semak belukar dan mempunyai pH yang relatif tinggi.
(3) Gambut
pegunungan; Gambut ini terbentuk karena ketinggian tempat gambut, di daerah
katulistiwa hanya terbentuk di daerah pegunungan dan iklimnya menyerupai iklim
di daerh sedang dengan vegetasi utamanya Sphagnum. Bahan
organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et al., 1988)
yaitu :
(1) Fibric
yang tingkat dekomposisinya masih rendah, sehingga masih banyak mengandung
serabut, berat jenis sangat rendah (kurang dari 0,1), kadar air banyak,
berwarna kuning sampai pucat.
(2) Hemic
merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi sedang, masih banyak mengandung
serabut, berat jenis antara 0,07 – 0,18, kadar air banyak, berwarna coklat muda
sampai coklat tua.
(3) Sapric
yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut, berat jenis 0,2
atau lebih, kadar air tidak terlalu banyak dengan warna hitam dan coklat kelam.
Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut pantai umumnya merupakan gambut topogenous atau mesogenous, sebagian besar tergolong kedalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur lain dari luar yaitu yang dibawa air pasang. Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975).
Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di dawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya. Vegetasi bahan pembentuk tanah gambut dipengaruhi oleh keadaan iklim, kualitas dan tata air tempat pembentukannya. Di daerah dataran tinggi dengan suhu yang dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus dan mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai. Vegetasi rawa atau air semula berupa rumput-rumputan yang membentuk bahan organik lebih dahulu di lapisan bawah, untuk kemudian ditimbun oleh bahan vegetasi yang lebih besar di atasnya. Oleh karena itu, tanah gambut mempunyai lapisan-lapisan dengan perbedaan kualitas karena vegetasi yang memberikan bahan organik berbeda (Suhardjo, 1983).
Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut pantai umumnya merupakan gambut topogenous atau mesogenous, sebagian besar tergolong kedalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur lain dari luar yaitu yang dibawa air pasang. Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975).
Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di dawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya. Vegetasi bahan pembentuk tanah gambut dipengaruhi oleh keadaan iklim, kualitas dan tata air tempat pembentukannya. Di daerah dataran tinggi dengan suhu yang dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus dan mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai. Vegetasi rawa atau air semula berupa rumput-rumputan yang membentuk bahan organik lebih dahulu di lapisan bawah, untuk kemudian ditimbun oleh bahan vegetasi yang lebih besar di atasnya. Oleh karena itu, tanah gambut mempunyai lapisan-lapisan dengan perbedaan kualitas karena vegetasi yang memberikan bahan organik berbeda (Suhardjo, 1983).
Selanjutnya
Suhardjo (983) menyatakan bahwa sifat-sifat fisik tanah gambut ditentukan oleh
tingkat dekomposisi atau kematangan bahan organik pembentuk gambut. Tingkat
kematangan gambut ini dicirikan oleh kandungan serat bahan organik tersebut.
Yang dimaksud serat adalah potongan atau kepingan jaringan tumbuhan yang tertahan
oleh jaring dengan ukuran mesh 100, tidak termasuk akar hidup dan struktur
jaringannya masih dapat dikenali. Fibric adalah tingkat gambut yang
dekomposisinya rendah, duapertiga volumenya terisi serat. Tingkat kematangan
hemic sedang dengan kandungan seratnya sepertiga sampai duapertiga volumenya.
Sapric adalah bahan organik yang paling lapuk, kurang dari sepertiga volumenya
masih berupa serat.
Jumlah, bentuk dan ukuran serat menentukan jumlah dan sebaran ukuran
pori. Ruang pori total (RPT) ditentukan oleh bobot, isi dan bobot jenis
rata-rata (average specifik density) gambut, sedang sebaran ukuran pori
dipengaruhi oleh
sebaran fraksi/serat dan struktur. Jumlah dan sebaran ukuran pori menentukan sifat-sifat retensi air, daya simpan air dan daya hantar hidrolik (Adhi, 1984). Susunan kimia dan kesuburan tanah gambut ditentukan oleh ketebalan lapisan gambut dan tingkat kematangan lapisan-lapisannya, keadaan tanah mineral di bawah lapisan gambut serta kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi lahan gambut dalam proses pembentukan dan pematangannya (Adhi, 1986). Sifat kimia tanah gambut dicirikan dengan nilai pH dan ketersediaan unsur nitrogen, fosfor dan kalium rendah, kejenuhan kalsium dan magnesium yang rendah, diikuti dengan pertukaran Al, Fe yang cukup tinggi sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986). Gambut yang dipengaruhi air sungai, payau atau air laut lebih kaya unsur hara dibandingkan dengan gambut yang hanya tergantung air hujan saja. Kualitas air mempengaruhi kesuburan gambut yang terbentuk. Sedangkan tingkat kesuburan tanah gambut ditentukan oleh kandungan N, K2O, P2O5, CaO dan kadar abu. Semakin tinggi nilai-nilai tersebut semakin tinggi kesuburannya (Fleischer dalam Supraptohardjo, 1974).
sebaran fraksi/serat dan struktur. Jumlah dan sebaran ukuran pori menentukan sifat-sifat retensi air, daya simpan air dan daya hantar hidrolik (Adhi, 1984). Susunan kimia dan kesuburan tanah gambut ditentukan oleh ketebalan lapisan gambut dan tingkat kematangan lapisan-lapisannya, keadaan tanah mineral di bawah lapisan gambut serta kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi lahan gambut dalam proses pembentukan dan pematangannya (Adhi, 1986). Sifat kimia tanah gambut dicirikan dengan nilai pH dan ketersediaan unsur nitrogen, fosfor dan kalium rendah, kejenuhan kalsium dan magnesium yang rendah, diikuti dengan pertukaran Al, Fe yang cukup tinggi sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986). Gambut yang dipengaruhi air sungai, payau atau air laut lebih kaya unsur hara dibandingkan dengan gambut yang hanya tergantung air hujan saja. Kualitas air mempengaruhi kesuburan gambut yang terbentuk. Sedangkan tingkat kesuburan tanah gambut ditentukan oleh kandungan N, K2O, P2O5, CaO dan kadar abu. Semakin tinggi nilai-nilai tersebut semakin tinggi kesuburannya (Fleischer dalam Supraptohardjo, 1974).
Menurut
Hakim (1986) berdasarkan nilai-nilai tersebut menggolongkan kesuburan tanah
gambut menjadi tiga yaitu :
(1) Gambut
eutropik yang subur
(2) Gambut
mesotropik dengan kesuburan sedang
(3) Gambut
oligotropik dengan kesuburan rendah
Lokasi HPH
PT. Yos Raya Timber didominasi oleh gambut ombrogen oligotropik, yaitu gambut
yang miskin dengan sumber penggenangan air hujan. Pada gambut ombrogen semakin
ke arah tengah lahan gambut terjadi penurunan tingkat kandungan hara.
Kecendrungan semakin menurunya kesuburan tanah dicirikan oleh menurunya tinggi
tajuk vegetasi hutan, menurunya bahan kering per satuan luas, menebalnya daun
serta menurunnya rata-rata diameter pohon. Ketidakmampuan pohon-pohon tumbuh
optimal dibagian tengah gambut karena keadaannya yang sangat ekstrim, khusunya
pH dan ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Anwar et al., 1984). Sebagai
akibat dari keadaan di atas, formasi hutan gambut ombrogen sering memiliki
variasi lokal sebagai phasic communities (Anderson, 1961).
Menurut Rose dalam (Mile, 1997), hutan-hutan tropika basah yang tergolong ke dalam hutan tropika basah dataran rendah (lowland tropical rain forest) dan tinggi (higland tropical rain forest) sebagian besar tumbuh pada tanah yang tergolong marginal. Menurut Prichet (1979), hutan alam tersebut dapat tumbuh dengan baik dan lestari pada tanah yang berpelapukan lanjut karena memiliki sistem perputaran hara tertutup (closed system nutrients cycling) yang terjaga dengan baik. Jordan (1985) menyatakan, bahwa hal ini dimungkinkan karena kondisi hutan alam yang multi strata baik tajuk maupun sistem perakaran serta kondisi iklim (terutama curah hujan dan temperatur) yang dapat mendukung terjadinya pengembalian hara yang cepat serta pemanfaatannya secara efesien.
Menurut Rose dalam (Mile, 1997), hutan-hutan tropika basah yang tergolong ke dalam hutan tropika basah dataran rendah (lowland tropical rain forest) dan tinggi (higland tropical rain forest) sebagian besar tumbuh pada tanah yang tergolong marginal. Menurut Prichet (1979), hutan alam tersebut dapat tumbuh dengan baik dan lestari pada tanah yang berpelapukan lanjut karena memiliki sistem perputaran hara tertutup (closed system nutrients cycling) yang terjaga dengan baik. Jordan (1985) menyatakan, bahwa hal ini dimungkinkan karena kondisi hutan alam yang multi strata baik tajuk maupun sistem perakaran serta kondisi iklim (terutama curah hujan dan temperatur) yang dapat mendukung terjadinya pengembalian hara yang cepat serta pemanfaatannya secara efesien.
Selanjutnya
Prichet (1979) menyatakan bahwa kemampuan hutan tropika basah Indonesia bukan
disebabkan oleh kesuburan tanahnya, melainkan semata disebabkan oleh adanya
siklus hara yang ketat dan tertutup yang mampu menyumbat peluang kebocoran
unsur hara. Perjalanan suksesi hutan menuju klimaks, pada hakekatnya merupakan
proses pembangunan ekosistem. Pada saat suksesi mencapai klimaks, ekosistem
yang dibentuknya berada dalam keadaan kondisi yang paling baik. Tanaman yang
berkembang pada kondisi ini didukung oleh lingkungan tumbuh yang paling
optimal. Dehutanisasi yang diikuti oleh konversi hutan menjadi berbagai macam
fungsi, betapun mulianya tujuan program ini, secara ekologi pada hakekatnya
memundurkan perjalanan suksesi dari kondisi klimaksnya. Merubah watak siklus
hara yang ketat dan tertutup menjadi longgar dan terbuka akan memberikan
peluang lebar terhadap proses kebocoran hara mineral.
Jordan
(1985) menyatakan bahwa, hasil fotosintesa hutan tropis lebih banyak di simpan
di daun, sedangkan tanaman hutan temperate lebih banyak disimpan di kayu.
Dengan demikian, walaupun produk bersih tanaman (net primary productivity)
hutan tropis lebih besar, namun lebih disebabkan oleh banyaknya produksi daun.
Banyaknya produksi daun menyebabkan sebagian besar unsur hara yang ada di dalam
hutan tropika basah tersimpan pada biomas tanaman dan bukan pada tanah hutan
sebagaimana pada hutan temperate, dimana sebagian besar unsur haranya tersimpan
di tanah dan lantai hutan. Hal ini dikarenakan adanya proses pembentukan unsur
hara yang terjadi secara berkala melalui proses pengguruan daun. Oleh karena
itu dehutanisasi hutan tropika basah berakibat kemerosotan hara tanah secara
drastis dibandingkan dengan proses dehutanisasi daerah temperate (nontropis).
v
PENETAPAN AMBANG BATAS HUTAN RAWA
GAMBUT PROPINSI RIAU
Oleh
Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010
Petunjuk
teknis TPTI merupakan acuan kegiatan pemanenan kayu di hutan alam Indonesia.Di
dalamnya berisi tahapan dan kegiatan perencanaan pemanenan yang cukup rinci dan
bersifat konservatif.Oleh karena itu, sistem ini dipandang paling aman untuk
mempertahankan pengelolaan kelestarian hutan (Dephutbun, 1998).
Kegiatan pembalakan selain prosesnya berlangsung tidak mudah, syarat biaya serta beresiko tinggi, juga di sisi lain harus bisa mengntisipasi agar kerusakan tegakan tinggal dan lingkungan minimal. Hal ini muncul tidak lain karena pohon yang ditebang hidup di tengah tegakan yang beragam jenis, ukuran, kerapatan maupun komposisinya. Besar kecilnya kerusakan tergantung pada bentuk dan lebar tajuk, tinggi dan kerapatan tegakan serta keterampilan penebang. Menurut Dawkin (1980) dalam Wiradinata dan Saddan (1980), dalam sekali penebangan pohon berdiameter besar di hutan tropika basah, bisa mengakibatkan kerusakan pada tegakan di sekitarnya paling sedikit seluas 0,02 ha. Kerusakan tersebut terjadi karena adanya pohon yang ikut tumbang, sehingga memperbesar tingkat kerusakan.
Kegiatan pembalakan selain prosesnya berlangsung tidak mudah, syarat biaya serta beresiko tinggi, juga di sisi lain harus bisa mengntisipasi agar kerusakan tegakan tinggal dan lingkungan minimal. Hal ini muncul tidak lain karena pohon yang ditebang hidup di tengah tegakan yang beragam jenis, ukuran, kerapatan maupun komposisinya. Besar kecilnya kerusakan tergantung pada bentuk dan lebar tajuk, tinggi dan kerapatan tegakan serta keterampilan penebang. Menurut Dawkin (1980) dalam Wiradinata dan Saddan (1980), dalam sekali penebangan pohon berdiameter besar di hutan tropika basah, bisa mengakibatkan kerusakan pada tegakan di sekitarnya paling sedikit seluas 0,02 ha. Kerusakan tersebut terjadi karena adanya pohon yang ikut tumbang, sehingga memperbesar tingkat kerusakan.
Wiradinata
dan Saddan (1980) menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi kerusakan
tegakan tinggal juga diakibatkan oleh kegiatan pembuatan jaringan jalan dan
tempat pengumpulan kayu (TPn). Semakin tidak terencana kedua kegiatan tersebut,
maka kemungkinan terjadinya kerusakan tegakan tinggal akan semakin besar. Untuk
itu proses pembalakan ramah lingkungan sangat diperlukan. Ewel dan Conde (1978)
menyebutkan bahwa kerusakan pada tanah, vegetasi, sumber air dan kehidupan liar
adalah pengaruh nyata sebagai akibat dilakukannya kegiatan eksploitasi hutan
tropika basah. Pengaruh yang dianggap penting itu, negatip ataupun positip
merupakan sesuatu ukuran ambang batas kepedulian (Threshold of Concern, TOC)
yang lingkupnya mencakup bidang, ruang dan waktu (Sassaman, 1981 dalam
Soemarwoto, 1997).
Sheffield
(1996) mengatakan bahwa penetapan standar yang baku untuk menganalisis data
suatu kegiatan inventarisasi kerusakan hutan, hingga saat ini belum ada. Oleh
karena itu, pengguna hendaknya mengatur
kembali metode yang diambil dalam penetapan ambang batas pengaruh sesuai tujuan
dan spesifikasi yang diinginkan (Sassaman, 1981 dalam Soemarwoto, 1997). Untuk
pembuatan parameter ambang batas pengaruh, perlu dipahami kemampuan daya pulih
ekosistem atas pengaruh itu (Malcom dan Markham, 1996).Pada ekosistem yang
berdaya pulih, kondisi awal sangat berpengaruh dalam merespon kerusakan yang
terjadi.Konsepsi kelenturan ekosistem (ecosystem recosilience) ini terbagi atas
2 bagian yaitu kelenturan mekanis (engineering recosilience) dan kelenturan
ekologi (ecological recosilience) (Holing dalam Malcom dan Markham, 1996). Kelenturan
mekanis ialah ketahanan pulih terhadap gangguan dan kecepatannya untuk kembali
mencapai keadaan yang seimbang.Sedangkan kelenturan ekologi ialah pemulihan
kondisi yang relatif jauh dari keadaan seimbang. Pada kejadian ini situasi awal
dapat berubah ke kondisi yang lain karena pengaruh keseimbangan baru yang lebih
dominan (Holing dalam Malcom dan Markham, 1996). Untuk melihat kepulihan
ekosistem. Lawton dan Jones dalam Malcom dan Markhum (1996) mengatakan bahwa
peranan pohon pada struktur lingkungan hutan terjadi melalui modifikasi proses
hidrologi, siklus hara, kestabilan tanah, kelembaban, suhu, angin dan cahaya.
Dalam hal ini, yang lebih penting dalam konservasi keragaman hayati ialah
melindungi dan memelihara potensi ekosistem yang produktif. Di pihak lain,
untuk penetapan ambang batas perlu diketahui proporsi bentuk dan ukuran dari
kerusakan, Misal, akibat pembalakan terhadap struktur tegakan, peranan dan
evolusi dari ekosistem. Karena gangguan biasanya cendrung bersifat ekstrim dan
berdampak panjang, maka konsep ambang batas menjadi sulit didefenisikan secara
tepat (Sousa, 1984 dalam Gardner et al., 1996).
Menurut
Hamilton et al., (1996) tahap dan aspek yang perlu diperhatikan dalam menilai
kerusakan hutan ialah : (1) proporsi tingkat kerusakan yaitu potensi, jenis,
komposisi serta potensi pertumbuhannya; (2) besar pengaruh kerusakan terhadap
permudaan alam untuk mengelompokan pembinaannya lebih lanjut dan (3)
pertimbangan pemanfatan atas kerusakan yang terjadi. Menurut Hamilton et al.,
(1996) kriteria ambang batas dibuat sederhana dengan maksud memudahkan secara
teknis penggunaannya di lapangan. Kriteria dibuat dalam 3 kelas yaitu
kelas berat, sedang dan ringan seperti berikut.
Dari kriteria di atas maka diusulkan
untuk dapat diterapkan sebagai ambang batas adalah klasifikasi tingkat ringan.
Dengan demikian kalaupun terjadi kerusakan karena kesulitan dalam
pelaksanaannya di lapangan, peningkatan kerusakan yang terjadi masih berada
pada tingkat sedang, yang diperkirakan masih cukup aman bagi keberlanjutan
pengelolaan hutan alam rawa gambut secara lestari (Hamilton et al., 1996).
Resiko (manfaat) lingkungan (juga hutan sebagai suatu ekosistem) ialah suatu faktor atau proses dalam lingkungan yang mempunyai kementakan tertentu sehingga menyebabkan konsekuensi yang merugikan (menguntungkan) kepada manusia dan lingkungannya. Brdasarkan batasan ini, baik resiko maupun mnfaat mengandung unsur ketidakpastian bahwa kementakan bisa terjadi tinggi atau rendah, tetapi tidak dapat dikatakan pasti akan terjadi atau pasti tidak akan terjadi. Oleh karena itu kegiatan melakukan pemantauan pengaruh dengan baik dan kemudian menggunakannya sebagai umpan balik untuk memperbaiki pengelolaan lingkungan, dalam hal ini pengelolaan hutan alam sangat penting artinya (Soemarwoto, 1997).
Resiko (manfaat) lingkungan (juga hutan sebagai suatu ekosistem) ialah suatu faktor atau proses dalam lingkungan yang mempunyai kementakan tertentu sehingga menyebabkan konsekuensi yang merugikan (menguntungkan) kepada manusia dan lingkungannya. Brdasarkan batasan ini, baik resiko maupun mnfaat mengandung unsur ketidakpastian bahwa kementakan bisa terjadi tinggi atau rendah, tetapi tidak dapat dikatakan pasti akan terjadi atau pasti tidak akan terjadi. Oleh karena itu kegiatan melakukan pemantauan pengaruh dengan baik dan kemudian menggunakannya sebagai umpan balik untuk memperbaiki pengelolaan lingkungan, dalam hal ini pengelolaan hutan alam sangat penting artinya (Soemarwoto, 1997).
Untuk
membuat klasifikasi ambang batas yang diinginkan itu ditempuh dengan cara
analisis data hasil pemantauan yang dilaksanakan sendiri dan orang lain sebagai
pertimbangan penetapan besarannya. Misalnya, jumlah batang tegakan minimal 60 %
(Nodine, 1996; Tansey dan Hutchins, 1988 dalam Sheffield, et al., 1996),
sedangkan Smith (1960) menyebutkan bahwa untuk membentuk tegakan yang cukup
(full stock) setiap hektar memerlukan permudaan tingkat semai sebanyak 1000
batang, pancang 300 batang dan tiang 75 batang. Sementara Landon dalam Bernard (1950)
mengatakan bahwa untuk tujuan yang sama diperlukan tingkat pancang dan tiang
sebanyak 300 batang/hektar dan 890 batang/hektar.
Ambang batas
yang lain seperti gangguan tanah hutan bisa dicerminkan antara lain dalam
panjang jalan utama dan jalan sarad. Sedangkan untuk iklim mikro bisa
dinyatakan dalam keterbukaan tegakan di mana semakin banyak hutan rusak semakin
besar tingat keterbukaan. Beberapa cara penilaian kerusakan tegakan dapat
disebutkan di antaranya :
(1)
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 564/KPTS/IV-BPHH/1989
tentang TPTI menyebutkan bhwa pohon inti yang merupakan pohon harapan untuk
kembali bisa dipanen pada periode 35 tahun berikutnya dikatakan rusak apabila
mengalami salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut :
a.Tajuk
pohon rusak lebih dari 30 % atau cabang pohon/dahan besar patah.
b.Luka
batang mencapai kyu berukuran lebih dari ¼ kliling batang dengan panjang lebih
dari
1,5 meter.
c.Perakarannya
terpotong atau 1/3 banir rusak.
(2)
Sheffield dan Michael (1996) bahwa untuk menaksir perubahan tegakan yang
disebabkan oleh kerusakan dapat dikelompokan menjadi 4 kelas. Tiap kelas
menggambarkan bentuk dan ukuran kerusakan, sekalipun sebenarnya sulit untuk
bisa memastikan keberadaan lanjutannya untuk dapat hidup terus atau tidak.
(3) Syme et
al., (1996) juga membagi kerusakan tegakan dalam 4 kelas. Sama seperti
Sheffield dn Michael (1996); sedang Gadrner et al., (1996) membaginya dalam 8
kelas.
(4)
Sheffield dan Michael (1996) menyatakan penilaian yang berkaitan dengan
perubahan iklim mikro yang ditentukan melalui tingkat kerusakan tajuk yang
contoh penerapannya untuk tiang dan pohon. Menurut Sheffield dan Michael (1996)
Penetapan ambang batas belumlah bersifat defenitif; melainkan bersifat
pendekatan dengan pertimbangan dasar penilaian cukup logis dan bisa diterapkan
di lapangan.
v IKLIM
HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni
2010
Iklim adalah sintesis hasil pengamatan cuaca untuk
memperoleh deskripsi secara statistik mengenai keadaan atmosfier pada daerah
yang sangat luas (Barry, 1981 dalam Wenger, 1984). Berdasarkan batasan ruang
dimana nilai-nilai yang ada masih berlaku, maka iklim dibedakan kedalam iklim
makro dan iklim mikro. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1984) iklim makro
adalah iklim yang nilai-nilainya berlaku untuk daerah yang luas, sedangkan
iklim mikro hanya berlaku untuk tempat atau ruang yang terbatas.Dikemukakan
lebih lanjut bahwa iklim makro dipergunakan untuk menentapkan tipe iklim, zona
iklim, zona vegetasi dan sebagainya, sedangkan iklim mikro berhubungan dengan
habitat atau lingkungan mikro.
Menurut Kramer dan Kozlowski (1960) dalam Idris (1996),
faktor-faktor iklim yang penting bagi hidup dari pertumbuhan individu dan
masyarakat tumbuh-tumbuhan adalah cahaya, suhu, curah hujan, kelembaban udara,
gas udara dan angin.
Lingkungan radiasi di dalam sebuah hutan berbeda dengan daerah tidak berhutan karena permukaan yang mengabsorbsi di dalam hutan umumnya berbeda di atas tanah dengan jarak yang terlihat nyata. Pada kebanyakan tajuk, permukaan aktif yaitu permukaan yang terbanyak menerima radiasi matahari datang adalah lapisan vegetasi yang berada di atas, yaitu lapisan dengan tingkat kerapatan daun maksimum.Lapisan ini mengintersepsi dan mengabsorbsi radiasi matahari dan gerakan angin terbanyak dari udara di atasnya.
Lingkungan radiasi di dalam sebuah hutan berbeda dengan daerah tidak berhutan karena permukaan yang mengabsorbsi di dalam hutan umumnya berbeda di atas tanah dengan jarak yang terlihat nyata. Pada kebanyakan tajuk, permukaan aktif yaitu permukaan yang terbanyak menerima radiasi matahari datang adalah lapisan vegetasi yang berada di atas, yaitu lapisan dengan tingkat kerapatan daun maksimum.Lapisan ini mengintersepsi dan mengabsorbsi radiasi matahari dan gerakan angin terbanyak dari udara di atasnya.
Apabila tajuk menjadi relatif lebih terbuka maka radiasi
matahari dan angin akan masuk lebih dalam ke dalam tajuk Nguyen and Sist. 1998;
Noor dan Smith, 1987; Sukadaryati et al., 2002). Pada daerah terbuka permukaan
aktif adalah bagian atas dari lapisan serasah/humus, atau apabila tidak ada
serasah maka permukaan aktif adalah permukaan tanah.Pada daerah bekas
pembalakan, permukaan itu adalah permukaan tanah dan vegetasi yang
tersisa.Kerapatan batang dan penutupan tajuk menentukan bagian dari radiasi
yang dapat mencapai lantai hutan (Grates, 1980 dalam Wenger, 1984). Jumlah
cahaya yang mencapai lantai hutan mengendalikan suhu tanah yang akan
berpengaruh terhadap reproduksi dan vegetasi bawah. Energi
pancaran (radiasi) adalah energi yang berpindah dalam bentuk gelombang
elektromagnetik. Dengan dimensi energi, satuan yang digunakan adalah kalori
(kal.), erg atau joule (J). Jumlah energi yang diterima atau dipancarkan per
satuan luas dinamakan limpahan pancaran (radiant flux) disingkat limpahan,
dengan satuan k al./detik
atau J/detik = Watt (W). Sedangkan limpahan pancaran yang diterima atau dipancarkan per satuan luas dinamakan kerapatan limpahan pancaran (radiant flux density) disingkat kerapatan limpahan dengan satuan kal./cm2/detik ( de Rozari, 1987).
atau J/detik = Watt (W). Sedangkan limpahan pancaran yang diterima atau dipancarkan per satuan luas dinamakan kerapatan limpahan pancaran (radiant flux density) disingkat kerapatan limpahan dengan satuan kal./cm2/detik ( de Rozari, 1987).
Menurut de
Rozari (1987) suhu udara di dekat permukaan mempunyai arti penting bagi
kehidupan oleh karena selain kebanyakan bentuk kehidupan terdapat di permukaan,
juga ada kaitan erat antara beberapa proses kehidupan dengan suhu. Dari segi
biologi, profil suhu udara penting untuk diketahui karena adanya perbedaan yang
tajam antara suhu permukaan dengan udara di atasnya, menyebabkan sebagaian
organisme hidup berada seketika pada dua rejim suhu yang sangat berlainan.
Sebuah
kecambah yang baru muncul, memperoleh cekaman bahang luar biasa dibandingkan
dengan cekaman yang akan dialaminya kemudian. Sedangkan
dari segi fisika, lebih lanjut dikemukakan bahwa profil suhu menentukan laju
pemindahan momentum, bahang serta bahan. Di sisi lain, keadaan dimana suhu
udara berkurang menurut ketinggian akan mendukung pemindahan golak, sehingga
profil suhu cendrung menunjukan penurunan secara adabiatik kering (dry
adabiatic lapse rate). Sedangkan keadaan dimana suhu udara bertambah menurut
ketinggian condong menekan pemindahan golak dan dengan demikian mempertajam gradien
suhu ( de Rozari, 1987).
Dalam sebuah
hutan, suhu udara maksimum biasanya lebih rendah dan suhu minimum lebih tinggi
daripada di daerah yang terbuka. Selama siang hari, daun-daun dalam tajuk
menghalang-halangi masuknya radiasi matahari ke lantai hutan. Suhu di dalam
tajuk dipertahankan melalui transpirasi dari daun-daun. Pengaruh ini mencegah
suhu pada siang hari meningkat secara cepat; dengan demikian ruangan di bawah
tajuk lebih dingin daripada daerah terbuka selama siang hari. Pada malam hari
tajuk pohon mencegah kehilangan panas yang cepat dari lapisan batang melalui
radiasi ke angkasa. Oleh karena itu, suhu udara tetap lebih tinggi dibadingkan
dengan di luar hutan (Gates, 1980 dalam Wenger, 1984).
Menurut Wenger (1984) dan Sukadaryati et al., (2002) suhu maksimum di dalam hutan adalah berada di bagian atas tajuk. Di bawah lapisan ini, suhu biasanya tetap sampai ke lantai hutan, bahkan sedikit berkurang jika tajuknya rapat.
Menurut Wenger (1984) dan Sukadaryati et al., (2002) suhu maksimum di dalam hutan adalah berada di bagian atas tajuk. Di bawah lapisan ini, suhu biasanya tetap sampai ke lantai hutan, bahkan sedikit berkurang jika tajuknya rapat.
Apabila
tajuk hutan jarang, suhu udara dekat lantai hutan dapat menjadi lebih panas
ketimbang suhu udara di dalam tajuk. Pada malam hari puncak tajuk menjadi lebih
dingin, yang mengakibatkan inversi sehingga dapat menjerat debu, asap dan CO2
di dalam dan di bawah tajuk. Pada tajuk yang jarang, udara yang dingin dapat
turun dan berkumpul di atas permukaan lantai hutan. Jumlah air
atau uap air di udara berpengaruh secara langsung terhadap tumbuhan sebagai
cekaman lingkungan. Udara kering yang menyebabkan pengeringan tanah yang sangat
cepat dan transpirasi tanaman yang luar biasa berpengaruh buruk terhadap
tanaman itu sendiri. Kandungan air yang terlalu banyak diudara
menghalang-halangi pendinginan daun melalui evaporasi dan dapat mengakibatkan
cekaman suhu (thermal stress) (Gates, 1980 dalam Wenger, 1984). Kelembaban
relatif sangat dipengaruhi oleh suhu. Perubahan suhu harian mengakibatkan
adanya variasi harian dari kelembaban nisbi. Jika suhu meningkat selama jam-jam
siang hari, maka kelembaban nisbi akan berkurang sampai mencapai nilai terendah
dekat tengah sore hari. Bilamana kelembaban nisbi meningkat sampai mencapai
nilai terttingginya sesaat sebelum matahari terbut, maka pada saat itu suhu
mencapai nilai terendah.
Umumnya
kelembaban di dalam sebuah hutan adalah lebih tinggi daripada tempat terbuka
dikarenakan adanya transpirasi dari daun-daun dan suhu yang rendah. Selama
siang hari, tanah lantai hutan dan tajuk merupakan sumber kandungan air. Oleh
karena itu kelembaban nisbi selama siang hari adalah tertinggi di dekat tanah
lantai hutan, lebih rendah pada lapisan batang dan lebih tinggi dari daerah
tajuk. Fenomena ini disajikan Gates, (1980 dalam Wenger, 1984). Kelembaban
relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan, yakni berkisar 90 % - 96 %,
baik dalam hutan alami maupun hutan gundul atau lahan kosong. Pada musim
kemarau, kelembaban menurun menjadi 80 %, dan pada bulan-bulan kering berkisar
0 % - 84 % Pada siang hari di muism kemarau, kelembaban dapat mencapai 67 % -
69 %. Tetapi pada pai hari, kelembaban pada musim kemarau lebih tinggi daripada
musim hujan, yaitu dapat mencapai 90 % - 96 % (Rieley, et al., 1996).
Penelitian
menunjukan, bahwa unsur tertentu yang terkandung di udara diperlukan untuk
pertumbuhan normal bagi tumbuhan. Unsur penting ini harus berada dalam bentuk
yang dapat digunakan tumbuhan dan dalam kosentrasi yang optimum untuk
pertumbuhan suatu tanaman (Rieley, et al., 1996). Tanaman tingkat tinggi
mendapatkan sebagian besar karbon (C) dan oksigen (O) langsung dari udara
karena fotosintesis. Sedangkan hidrogen (Hukum) diperoleh secara langsung atau
tidak langsung dari air dalam tanah. Nitrogen diperoleh tumbuhan dari udara
tanah secara tidak langsung oleh leguminose. Unsur esensial lainnya diperoleh
dari bagian tanah yang padat (Buckman dan Bardy, 1982).
Penjelasan di atas tidak boleh diartikan bahwa jaringan tumbuhan dibangun dari unsur hara tanah, yang benar adalah kebalikannya yaitu bahwa besarnya 94 sampai 99,5 % jaringan tumbuhan yang segar terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen dan hanya 0,5 sampai 5 atau 6 % berasal dari tanah (Daubenmire, 1974).
Penjelasan di atas tidak boleh diartikan bahwa jaringan tumbuhan dibangun dari unsur hara tanah, yang benar adalah kebalikannya yaitu bahwa besarnya 94 sampai 99,5 % jaringan tumbuhan yang segar terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen dan hanya 0,5 sampai 5 atau 6 % berasal dari tanah (Daubenmire, 1974).
Wenger
(1984) menyatakan bahwa aliran panas dan uap dari daun-daun, pengangkutan
karbon dioksida ke daun, penyebaran penyakit, pengakutan aerosol dan
unsur-unsur kimia penting serta pemencaran api seluruhnya dikendalikan oleh
angin setempat di dalam dan di dekat tajuk serta kecepatan angin dan sifat
golak galik udara di luar tajuk. Secara umum, semakin tinggi kecepatan angin
dan aliran golak galik udara di luar tajuk, maka semakin efesien diffusi dan
ekspresi gas, cairan atau material padat yang melayang diudara.
Tajuk-tajuk hutan memiliki tahanan (drag) di bagian atasnya yang menghambat aliran angin sehingga kecepatan angin di dekat tajuk menjadi lambat. Perubahan kecepatan angin menurut ketinggian ini disebut profil angin (wind profile).Di atas tajuk yang kasar dan luas, profil angin dapat diduga dengan menggunakan rumus berikut (Grace, 1977 dalam Wenger, 1984).
Selanjutnya Wenger (1984) menyatakan bahwa kebanyakan tajuk-tajuk hutan memang ada sedikit peningkatan kecepatan angin yang relatif di lapisan batang pohon. Akan tetapi untuk kebanyakan tujuan praktis kecepatan angin di lapisan tersebut, yaitu di bawah bagian paling rapat dari tajuk dianggap konstan menurut ketinggian.
Tajuk-tajuk hutan memiliki tahanan (drag) di bagian atasnya yang menghambat aliran angin sehingga kecepatan angin di dekat tajuk menjadi lambat. Perubahan kecepatan angin menurut ketinggian ini disebut profil angin (wind profile).Di atas tajuk yang kasar dan luas, profil angin dapat diduga dengan menggunakan rumus berikut (Grace, 1977 dalam Wenger, 1984).
Selanjutnya Wenger (1984) menyatakan bahwa kebanyakan tajuk-tajuk hutan memang ada sedikit peningkatan kecepatan angin yang relatif di lapisan batang pohon. Akan tetapi untuk kebanyakan tujuan praktis kecepatan angin di lapisan tersebut, yaitu di bawah bagian paling rapat dari tajuk dianggap konstan menurut ketinggian.
Buckman dan
Brady (1982) mengemukakan, bahwa perubahan kimia dan terutama biologi di dalam
tanah, tidak akan berlangsung dengan cukup intensif jika suhu tertentu tidak
dipertahankan. Oleh karena itu, suhu tanah merupakan faktor yang sangat
penting. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa efek suhu juga bertanggung jawab
terhadap pelapukan fisik yang terjadi di dalam tanah. Pendinginan dan pemanasan
yang berganti-ganti menimbulkan tekanan pada agregat dan bongkah tanah yang
akibatnya mengubah keadaan fisik tanah. Suhu tanah yang sangat mempengaruhi
aktivitas biotis awal dan pertumbuhan pohon paling sedikit tergantung kepada
tiga faktor, yaitu (1) jumlah bersih panas yang diadsorbsi, (2) energi panas
yang diperlukan yang membawa perubahan pada suhu tanah dan (3) energi panas
yang dibutuhkan untuk perubahan lain seperti evaporasi (Buckman dan Bardy,
1982).
Menurut Gates (1980) dalam Wanger (1984), jumlah panas yang diadsorbsi oleh tanah ditentukan oleh banyaknya radiasi matahari efektif yang mencapai bumi dan faktor-faktor setempat seperti warna tanah, kemiringan dan vegetasi penutup yang mengubah jumlah bersih panas yang masuk.
Menurut Gates (1980) dalam Wanger (1984), jumlah panas yang diadsorbsi oleh tanah ditentukan oleh banyaknya radiasi matahari efektif yang mencapai bumi dan faktor-faktor setempat seperti warna tanah, kemiringan dan vegetasi penutup yang mengubah jumlah bersih panas yang masuk.
Dubenmire
(1974) menyatakan bawa warna permukaan tanah mempengaruhi jumlah radiasi yang
dapat diadsorbsi dan mengatur jumlah panas yang disimpan dan diradiasikan
kembali ke atmosfir. Di sisi lain di kemukakan, bahwa pada
pegunungan-pegunungan yang tinggi di daerah lintang tengah belahan bumi utara,
pengaruh kemiringan pada lapangan yang terbuka dapat menjadi sangat ekstrim, di
mana suhu minimum dari tanah pada kemiringan ke selatan lebih tinggi ketimbang
suhu maksimum tanah pada kemiringan ke utara. Adanya naungan juga sangat
mempengaruhi pemanasan tanah oleh radiasi matahari, dan di bawah naungan yang
lebat suhu permukaan tanah lebih dingin dari pada suhu udara di atasnya selama waktu
terpanas dari siang hari. Akan tetapi menurut de Rozari (1987), hubungan di atas
belum tentu berlaku umum dan perlu dipelajari untuk setiap macam tanah yang
ada.
Menurut Noor
(2001) suhu gambut sendiri lebih besar daripada suhu udara antara hutan dan
lahan kosong. Suhu permukaan gambut hampir tetap. Jika keadaan tertutup hutan,
suhu gambut berkisar 25,5 0C – 29,0 0C dan jika keadaan terbuka berkisar 40,0
0C – 42,5 0C. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang aktivitas
mikro organisme sehingga perombakan gambut lebih dipercepat dan intensif,
sehingga mempercepat terjadinya degradasi gambut, Oleh karena ruang gerak
kehidupan tumbuh-tumbuhan dan mahkluk lainnya terdapat di lapisan terbawah
atmosfir, di dekat tanah, maka apabila perhatian difokuskan iklim sebagai salah
satu unsur ekosistem sumber daya hutan, yang lebih sangat berkaitan untuk
dikaji dalam konteks ini adalah iklim mikro.
de Rozari
(1987) menyatakan, iklim mikro sebagai keadaan udara dalam zona yang dibatasi
di bagian atas oleh arus yang dicapai tanaman tertinggi dan di bagian bawah
oleh tanah atau bagian terbawah dari tanah yang masih bisa dicapai oleh
infiltrasi udara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa lapisan terbawah dari atmosfir
ini penting karena pada lapisan inilah kebanyakan parameter cuaca mengalami
perubahan yang mencolok dalam satu kurun waktu. Penelitian mengenai perubahan
iklim mikro hutan akibat kegiatan penebangan dan penyaradan di Indonesia bisa
dikatakan hampir belum dilakukan.
Dengan
demikian sangat sulit kiranya memperoleh gambaran keadaan iklim mikro setelah
penebangan atau penyaradan secara kuantitatif. Menurut
Marsono dan Sastrosumarto (1981) dengan terbukanya tajuk dan terjadinya
kerusakan mekanis pada tumbuhan dan tanah hutan akibat kegiatan penebangan dan
penyaradan maka berubah pula iklim mikro hutan. Intensitas cahaya, kelembaban,
suhu, angin dan parameter iklim mikro lainnya adalah faktor-faktor yang berubah
akibat penebangan dan penyaradan.
Perubahan
iklim mikro ini penting untuk dipantau karena akan mempengaruhi sebaran jenis
lokal. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kendatipun begitu banyak faktor
lingkungan yang berubah akibat penebangan dan penyaradan, namun ternyata hanya
intensitas cahaya, suhu udara dan kelembaban sajalah yang sangat nyata
menentukan pertumbuhan tingkat semai. Tingkat semai adalah yang pertama kali
yang menderita dengan adanya perubahan iklim mikro akibat pembukaan hutan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dengan adanya pembukaan hutan intensitas
cahaya yang mencapai lantai hutan akan meningkat, suhu udara dan tanah
meningkat dan kelembaban udara berkurang. Peranan suhu yang penting dalam
pertumbuhan pohon atau vegetasi adalah suhu udara dan suhu tanah. Suhu pada
tajuk pohon akan mempengaruhi pertumbuhan karena suhu mempengaruhi kecepatan
respirasi dan transpirasi. Sedangkan meningkatnya suhu tanah dapat mematikan
aktifitas metabolisme (Spurr dan Barnes, 1980). Menurut Smith (1983) pada hutan
tropis suhu permukaan tanah hampir tetap yaitu 27°C karena
sinar matahari tertahan oleh vegetasi, sehingga hampir sama dengan suhu udara.
Sanchez
dalam Bismark (1990) mengatakan bahwa bila pohon di hutan banyak ditebang, maka
suhu permukaan tanah dapat meningkat 7 - 11°C. Karena
radiasi yang diberikan pada permukaan lebih tinggi. Secara tioritis suhu yang
meningkat di bawah tegakan akibat penebangan dan penyaradan memberi petunjuk
bahwa kelembabannya menurun. Kemungkinannya adalah vegetasi sebagai salah satu
sumber kandungan air sebagian telah hilang karena penebangan dan penyaradan.
Akan tetapi dugaan ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut melalui penelitian
di lapangan.
v SUKSESI
VEGETASI HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com)
Posting 02 Juni 2010
Spurr (1964) menyatakan bahwa suksesi
merupakan proses yang terjadi terus menerus yang ditandai oleh perubahan
vegetasi, tanah dan iklim mikro dimana proses ini terjadi. Selanjutnya Emlen
(1973) menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas
tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana
masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda. Shukla dan
Chandel (1982) menyatakan bahwa suksesi adalah suatu proses universal yang
kompleks, mulai (awal) berkembang dan akhirnya stabil pada tingkat klimaks.
Lebih lanjut dikatakan dimana suksesi pada umumnya progresif dan menghasilkan
adanya perubahan habitat dan bentuk kehidupan dalam pertumbuhan
tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan bahwa
proses suksesi adalah perubahan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui
beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan
penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi.
Whittaker (1970) menyatakan bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi selama proses suksesi berlangsung adalah
sebagai berikut :
(1) Adanya perkembangan dari
sifat-sifat tanah, seperti meningkatnya kedalaman tanah, meningkatnya kandungan
bahan organik dan meningkatnya perbedaan lapisan horizon tanah.
(2) Terjadinya peningkatan dalam
tinggi, kerimbunan dan perbedaan strata dari tumbuh-tumbuhan.
(3) Dengan meningkatnya sifat-sifat
tanah dan struktur komunitas, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik
meningkat.
(4) Keanekaragaman jenis meningkat
dari komunitas yang sederhana pada awal tingkat suksesi ke komunitas yang kaya
pada akhir suksesi.
(5) Populasi meningkat, pergantian
suatu populasi oleh populasi lainnya meningkat sampai tingkat yang stabil juga
jenis yang berumur pendek digantikan oleh jenis yang berumur panjang.
(6) Kestabilan relatif dari
komunitas meningkat pada awal komunitas tidak stabil dimana populasi secara
cepat digantikan oleh populasi lain. Sedangkan pada komunitas akhir biasanya
stabil dan dikuasai oleh tumbuh-tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi
dari komunitas tidak banyak berubah.
Ewusie (1980), menyatakan bahwa ada
tiga faktor yang memegang peranan penting dalam terbentuknya suatu komunitas,
yaitu :
(1) Tersedia kesempatan berkoloni
atau bahan-bahan serbuan (invading material) misalnya benih, buah dan
spora-spora. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan
suatu komunitas tumbuhan pada setiap waktu tertentu.Jadi tergantung bahan yang
terbawa ke lokasi tersebut.
(2) Seleksi pada bahan-bahan yang
tersedia secara alam di lingkungan tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni
dan semai telah mulai hidup pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang
dapat toleran terhadap lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik.Lingkungan dapat
tidak baik untuk perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan
semai-semai tertentu sampai tidak dapat tumbuh.Tingkat ini adalah tingkat yang
kritis, karena secara umum selang toleransi semai lebih sempit daripada
tumbuhan yang sudah dewasa.tentunya perbedaan lingkungan menghasilkan perbedaan
pada tingkat seleksi. Sebagai kasus yang ekstrim misalnya pada permukaan batuan
telanjang atau bukit pasir, di sini hanya beberapa jenis saja yang dapat
tumbuh.
(3) Modifikasi lingkungan oleh
tumbuhan. Dari saat yang akan berkoloni pertama tiba pada habitat telanjang
tersebut dan mulai tumbuh, komunitas tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan.
Pengaruhnya dapat dilihat pada tahap akhir dari perkembangan.
Komunitas hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu komunitas yang dinamis.Komunitas hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Komunitas hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu komunitas yang dinamis.Komunitas hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Prinsip dasar dalam proses suksesi
adalah adanya serangkaian perubahan komunitas tumbuhan (jenis dan strukturnya)
bersamaan dengan habitat tempat tumbuhnya (Manan, 1979). Sedangkan Emlen
(1973), menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas
tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana
masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda. Richards (1952)
menyatakan bahwa apabila pohon yang besar mati, pohon tersebut akan meninggalkan
suatu celah (gap) atau bukaan (opening) di dalam stratum pohon tersebut.
Pembentukan suatu celah menyebabkan perkembangan tumbuhan bawah yang cepat.
Karena dirangsang pertambahan penyinaran dan mungkin oleh berkurangnya
persaingan akar setempat, jenis-jenis pohon muda yang intoleran, yang terdapat
di sekitar tumbuhan bawah itu akan lebih cepat tumbuh daripada jenis yang
toleran.
Sedangkan Aweto (1981) dan Abdulhadi
et al., (1981) menyatakan bahwa “mature forest” pada suksesi sekunder akan
terbentuk ± 80 tahun. Jika hutan hujan mengalami kerusakan oleh alam
atau manusia (perladangan atau penebangan) maka suksesi sekunder yang terjadi
biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau semak. Selanjutnya Soerianegara
dan Indrawan (1998) menyatakan kalau keadaan tanahnya tidak banyak menderita
kerusakan oleh erosi, maka setelah 15-20 tahun akan terjadi hutan sekunder
muda, dan sesudah 50 tahun terjadi hutan sekunder tua yang secara
berangsur-angsur akan mencapai klimaks.
Keanekaragaman jenis akan meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi (Whittaker, 1970). Keanekaragaman jenis cendrung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk, kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keragaman jenis. Pada komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas yang sederhana dan cendrung untuk memuncak pada tingkat permulaan dan pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada tingkat klimaks (Ewel, 1980; Ricklefs, 1973).
Keanekaragaman jenis akan meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi (Whittaker, 1970). Keanekaragaman jenis cendrung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk, kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keragaman jenis. Pada komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas yang sederhana dan cendrung untuk memuncak pada tingkat permulaan dan pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada tingkat klimaks (Ewel, 1980; Ricklefs, 1973).
Kellman (1970) menyatakan bahwa
proses revegetasi tidak berhubungan dengan keadaan hara tanah pada
penelitiannya di daerah tropik di Pegunungan Mindanau Filipina. Tanah yang
mengalami suksesi antara 1-27 tahun tidak mempengaruhi hara tanah, oleh sebab
itu disimpulkan bahwa perubahan kesuburan tanah tidak begitu penting dalam
pergantian suksesi.Keadaan lingkungan sekitarnya seperti radiasi dan temperatur
udara merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan vegetasi.Menurutnya
kesimpulan ini bertentangan dengan pernyataan yang berulang-ulang, mengenai
pentingnya unsur hara yang merupakan faktor yang menentukan jalanya suksesi
sekunder pada hutan hujan tropika.
Selanjutnya Tracey (1960) juga menyatakan bahwa faktor fisik tanah tidak mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam menentukan tipe hutan.Goodland dan Pollard (1973) memperlihatkan hubungan yang erat diantara struktur vegetasi dengan unsur N, P dan K pada tanah vegetasi di Cerrado, Brazil. Pada daerah ini terjadi perubahan dari vegetasi herba yang rendah kecil dan jarang, menjadi lebat dimana lapisan tajuk atas 50 % terdiri dari pohon yang tinggi, besar dan pada tanahnya terjadi peningkatan kadar N, P dan K.
Selanjutnya Tracey (1960) juga menyatakan bahwa faktor fisik tanah tidak mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam menentukan tipe hutan.Goodland dan Pollard (1973) memperlihatkan hubungan yang erat diantara struktur vegetasi dengan unsur N, P dan K pada tanah vegetasi di Cerrado, Brazil. Pada daerah ini terjadi perubahan dari vegetasi herba yang rendah kecil dan jarang, menjadi lebat dimana lapisan tajuk atas 50 % terdiri dari pohon yang tinggi, besar dan pada tanahnya terjadi peningkatan kadar N, P dan K.
Webb (1969) menyatakan bahwa
unsur-unsur kimia terutama N, K dan Ca adalah unsur-unsur yang penting untuk
menentukan tipe hutan dan kondisi dari kesuburan tanah yang menitik beratkan
pada faktor iklim yang menentukan distribusi dari tipe-tipe vegetasi tertentu.
Grubb (1977) menyatakan bahwa laju pergerakan dari unsur-unsur hara pada tanah
pegunungan tropik dapat menambah keterbatasan unsur hara, ia juga berpendapat
bahwa keterbatasan struktur dari hutan hujan pegunungan dapat menyebabkan
miskinnya suplai dari N dan P. Suatu contoh yang ekstrim dari respon vegetasi
terhadap kondisi tanah adalah rendahnya produktivitas, miskinnya jenis-jenis
pohon pada hutan kerangas di daerah tropika (Brunig, 1979; Kartawinata dan
Riswan, 1982).
Richards (1952) menyatakan bahwa
suksesi pada tanah yang kaya hara tidak jauh berbeda dengan tanah yang miskin
hara. Aweto (1981) menyatakan bahwa pada tanah-tanah yang berumur 1,3,7 dan 10
tahun setelah perladangan dan pada hutan primer, peningkatan bahan organik
terbatas pada daerah top soil (0-10 cm) dan pada tahun ke sepuluh telah mencapai
78 % dari bahan organik pada hutan primer. Tidak ada perubahan nyata dari nilai
pH pada 3 tahun pertama dan setelah itu pH bertambah sampai tahun ke
sepuluh.Nilai tukar kation pada lapisan top soil tidak ada peningkatan yang
nyata selama tiga tahun pertama, tetapi terdapat peningkatan pada tahun ke
tujuh yang diikuti penurunan pada tahun ke sepuluh. Tidak ada peningkatan yang
nyata dari nilai tukar kation pada lapisan 10-30 cm.
Ewell (1980) menyatakan bahwa di daerah tropika yang mempunyai musim kering yang periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada musim hujan, tetapi proses ini sebagian juga terjadi pada musim kemarau. Pada setiap sistem ini, beberapa struktur vegetasi yang terjadi hilang selama musim kering selanjutnya. Proses tersebut berlangsung terus sampai strukturnya mempunyai perubahan yang stabil yang dikatakan sebagai keadaan yang mantap. Di samping perbedaan yang disebabkan oleh air, ada suatu jumlah yang nyata dari variabilitas suksesi tropis yang juga disebabkan oleh temperatur menurut ketinggian, karena suhu rata-rata lebih tinggi di daerah tropis maka lebih banyak didapatkan variasi perubahan vegetasinya dibandingkan daerah non tropis. Suksesi sekunder alami merupakan pembaharuan tegakan hutan secara alami, yakni tumbuhan yang tumbuh sebelum berlangsungnya tindak lanjut pemeliharaan, dan yang akan dapat menjadi tumbuhan hutan. Berdasarkan ukurannya, suksesi sekunder alami dapat digolongkan menjadi suksesi sekunder alami tingkat semai, pancang dan tiang. Tingkat semai adalah suksesi yang tingginya sampai 1,5 meter, tingkat pancang berukuran lebih dari 1,5 meter dengan diameter 10 cm, dan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 – 19 cm (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993).
Meskipun pada pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur TPTI terdapat tahap kegiatan penanaman/pengayaan, akan tetapi suksesi sekunder alami tetap memegang peranan penting dalam pembentukan kembali hutan bekas tebangan. Hal ini antara lain karena masih terbatasnya pengetahuan tentang teknik silvikultur dari jenis-jenis pohon yang akan ditanam yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuh setempat. Disamping itu suksesi sekunder alami adalah juga merupakan indikator keanekaragaman vegetasi yang ada, yang dapat dijadikan titik tolak arah pembinaan yang diperlukan (Indrawan, 2000).
Ewell (1980) menyatakan bahwa di daerah tropika yang mempunyai musim kering yang periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada musim hujan, tetapi proses ini sebagian juga terjadi pada musim kemarau. Pada setiap sistem ini, beberapa struktur vegetasi yang terjadi hilang selama musim kering selanjutnya. Proses tersebut berlangsung terus sampai strukturnya mempunyai perubahan yang stabil yang dikatakan sebagai keadaan yang mantap. Di samping perbedaan yang disebabkan oleh air, ada suatu jumlah yang nyata dari variabilitas suksesi tropis yang juga disebabkan oleh temperatur menurut ketinggian, karena suhu rata-rata lebih tinggi di daerah tropis maka lebih banyak didapatkan variasi perubahan vegetasinya dibandingkan daerah non tropis. Suksesi sekunder alami merupakan pembaharuan tegakan hutan secara alami, yakni tumbuhan yang tumbuh sebelum berlangsungnya tindak lanjut pemeliharaan, dan yang akan dapat menjadi tumbuhan hutan. Berdasarkan ukurannya, suksesi sekunder alami dapat digolongkan menjadi suksesi sekunder alami tingkat semai, pancang dan tiang. Tingkat semai adalah suksesi yang tingginya sampai 1,5 meter, tingkat pancang berukuran lebih dari 1,5 meter dengan diameter 10 cm, dan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 – 19 cm (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993).
Meskipun pada pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur TPTI terdapat tahap kegiatan penanaman/pengayaan, akan tetapi suksesi sekunder alami tetap memegang peranan penting dalam pembentukan kembali hutan bekas tebangan. Hal ini antara lain karena masih terbatasnya pengetahuan tentang teknik silvikultur dari jenis-jenis pohon yang akan ditanam yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuh setempat. Disamping itu suksesi sekunder alami adalah juga merupakan indikator keanekaragaman vegetasi yang ada, yang dapat dijadikan titik tolak arah pembinaan yang diperlukan (Indrawan, 2000).
Fox (1976) menyebutkan kendala suksesi sekunder alami di hutan hujan
tropika basah adalah menyangkut faktor biologis, lingkungan dan atau manusia.
Faktor biologis terutama ditentukan oleh struktur populasi dari tegakannya,
yaitu komposisi jenis, distribusi spasial dan jumlah pohon induk. Pada kasus;
sebaran jenis Dipetrocarpaceae yang umumnya mengelompok dan sifat yang cendrung
mengarah ke “ecotypic diversification” maka komposisi Dipetrocarpaceae yang
terbentuk kemudian akan tidak banyak berbeda dari keadaan sebelumnya. Ternyata disamping periode
pembungaan/pembuahan yang tidak sama antar jenis, persentase kematian akibat
“inter/intra specific competition” adalah juga tidak sama. Oleh karena itu
dengan adanya penebangan pohon, jelas bahwa hanya jenis-jenis yang suka cahaya
yang akan “survive” (Fox, 1976).
Pembukaan tajuk yang tidak terlalu
berat, akan diikuti oleh pembelukaran bersama-sama tumbuhnya jenis pioner yang
mengakbatkan adanya perubahan-perubahan keadaan lingkungan (Marsono dan
Sastrosumarto, 1980; Kellman, 1970). Keadaan lingkungan yang berubah segera
setelah penebangan yaitu, kelembaban, angin, intensitas cahaya adalah akibat
“buffer effect” dari belukar tersebut.Akibatnya adalah pada saat “buffer
effect” ini mencapai maksimum pertumbuhan, semai kayu berharga mencapai kondisi
optimum.Sehubungan dengan ini Marsono (1980) telah mencoba menghubungkan pola
pertumbuhan semai jenis Dipterocarpaceae dengan perubahan faktor lingkungan
sesudah penebangan.Hasilnya menunjukan pola pertumbuhan faktor-faktor
lingkungan yang kompleks.Namun ternyata hanya intensitas cahaya, suhu udara dan
kelembaban sajalah yang menentukan. Sedangkan faktor-faktor yang lain seperti
Nitrogen, Phosfor tersedia, Potasium, pH dan bahan-bahan organik tanah kurang
menentukan (tidak signifikan), walaupun menunjukan kecendrungan/ trend yang
sama.
Hasil penelitian di atas sesuai
dengan penelitian Kartawinata (1975, 1979) dan Nicholson (1960) yang mengatakan
bahwa suhu dan kelembaban yang memadai sangat menentukan pertumbuhan semai
Dipetrocarpaceae.Sementara itu Tagudar (1967) di Philipina melaporkan juga
bahwa sesudah 5 tahun tebangan terdapat jumlah semai Dipterocarpaceae yang
cukup yaitu 5000-30.000 per hektar.Demikian juga Blanche (1975) melaporkan
bahwa dengan pembukaan tajuk yang tidak berlebihan jumlah semai
Dipterocarpaceae lebih banyak dibandingkan dengan hutan asli. Menurut Marsono
et al., (1980) bahwa sekitar 4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan jumlah
semai jenis Dipterocarpaceae mencapai keadaan yang optimal. Oleh karena itu
untuk menjaga kelestarian produksi pada rotasi ketiga dan seterusnya waktu
itulah ( 4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan) saatnya dilakukan
inventarisasi cukup atau tidaknya semai. Karena tahun-tahun berikutnya jumlah
semai kayu berharga cendrung menurun.Maka sesudah itu (4 sampai dengan 5 tahun
sesudah tebangan) perlu bantuan/campur tangan manusia berupa tindakan
silvikultur untuk membantu jenis Dipterocarpaceae dari persaingan dan
menutupnya kembali tajuk.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah
mengurangi persaingan dalam bentuk “timber stand improvement”.Kalaupun setelah
inventarisasi tidak didapatkan semai yang cukup, tanaman pengayaan kiranya
dapat dikerjakan. Selanjutnya Sastrosumarto et al., (1979) menyatakan bahwa
jenis-jenis Dipetrocarpaceae yang suka cahaya menghendaki pembukaan tajuk yang
tidak terlalu berat. Akibat adanya penebangan yang relatif tidak membuka tajuk
terlalu berat, pertumbuhannya terstimulir.Namun beberapa tahun kemudian
kompetisi yang makin besar dan menutupnya kembali tajuk menyebabkan posisi
jenis Dipterocarpaceae mulai menurun. Sastrosumarto et al., (1979) dan Marsono
et al., (1980) dalam penelitian lanjutannya melaporkan bahwa riap tinggi semai
jenis-jenis berharga cendrung menurun dibanding dengan jenis lain-lain dengan
menutupnya tajuk dan persaingan yang semakin berat. Sementara itu jenis-jenis
lain mulai menunjukan pertumbuhan yang lebih baik.
Marsono dan Sastrosumarto (1980)
telah melaporkan hasil penelitiannya di Stagen untuk tingkat pancang dengan
ukuran indeks nilai penting yang merupakan kehadiran relatif (relative density),
ternyata sebelum tebangan sampai 2 tahun jenis Dipetreocarpaceae lebih
mendominasi tingkat pancang. Perkembangan selanjutnya ternyata berubah, dengan
adanya perubahan/penutupan tajuk.Tajuk berkembang dan mulai menutup sehingga
intensitas cahaya berkurang.Jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya terangsang
sehingga dominasi berubah.Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa jenis
Dipterocarpaceae membutuhkan intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi,
tetapi juga bukan di tempat tertutup. Dengan demikian penebangan dan penyaradan
akan mengarahkan kepada pertumbuhan jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya,
seperti Shorea leprosula, Shorea polyandra. Selanjutnya
Marsono (1980) melaporkan bahwa
beberapa jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya tersebut berasosiasi positif
dengan tanaman suka cahaya Macaranga sp. Ternyata situasi seperti ini hampir
merata untuk beberapa HPH di Kalimantan Timur. Berdasarkan data hasil
penelitian Marsono et al., (1980) bahwa beberapa HPH mempunyai persediaan
(stocking) pancang jenis-jenis niagawi yang cukup. Marsono et al., (1980)
menduga bahwa hal ini disebabkan karena pengamatan mulai dilakukan pada waktu
HPH tersebut masih menggunakan highlead untuk penarikan kayu sehingga banyak
pohon dan anak pohon yang rusak. Tajuk terbuka berlebihan sehingga menyulitkan
jenis ekspor terutama Dipterocarpaceae untuk tumbuh.Akan tetapi kalau jenis
niagawi lokal dapat diterima sebagai jenis berharga, persediaan jenis gabungan
ini (ekspor + niagawi) telah melampaui standar yang telah ditetapkan.Kenyataan
di atas dijumpai pada sekitar 5 sampai dengan 6 tahun sesudah
tebangan.Tahun-tahun berikutnya pertumbuhan tajuk begitu cepat demikian juga
“nomad species” tumbuh lebih pesat, sehingga intensitas cahaya yang masuk lebih
sedikit. Akibatnya dominasi sapihan
Dipterocarpaceae menurun karena harus bersaing dengan keras dengan jenis “light
loving plant” tersebut. Dalam hal ini Marsono et al., (1980) menekankan
pentingnya pemeliharaan dalam bentuk “timber stand improvement” pada saat yang
tepat. Diharapkan dengan usaha tersebut jenis Dipterocarpaceae dapat
mempertahankan eksistensinya dan hutan akan mengarah pada komposisi yang lebih
sederhana yaitu didukung terutama oleh Dipterocarpaceae yang termasuk “light
demanding species” . Pengalaman di Stagen (Marsono, et al., 1980) menunjukan
bahwa dengan pembukaan tajuk yang tidak terlalu kuat, masuknya cahaya yang
tidak terlalu tinggi intensitasnya merangsang pancang jenis Dipterocarpaceae
dengan indeks nilai penting 19,17 ; 48,99 dan 42,59 berturut-turut pada hutan
sebelum ditebang 4 tahun dan 6 tahun sesudah tebangan. Untuk memperoleh
gambaran suksesi alami tingkat tiang yang ada di lapangan, Soemarna dan
Supriadi (1977) telah melakukan inventarisasi suksesi alami pada areal bekas
tebangan yang telah berumur 3 – 5 tahun, di Kesatuan Usaha PT. Inhutani II
Stagen Kalimantan Selatan. Hasilnya menunjukan bahwa jumlah suksesi alami
tingkat tiang dari jenis niagawi adalah 373, 9 pohon tiap hektar, sementara
jumlah pancangnya adalah 238, 4 pohon tiap hektar. Akan tetapi pada areal bekas
tebangan berumur 3 sampai dengan 5 tahun yang terdapat di Kesatuan Pemangkuan
Hutan (KPH) Sanggau di Kalimantan Barat, Siswanto dan Soemarna (1986) menemukan
tingkat tiang dari jenis niagawi hanya sebanyak 78,7 pohon pada tiap hektar.
Untuk daerah Semanggis di KPH Palembang, Soemarna (1978) melaporkan bahwa
terdapat tiang dari jenis niagawi sebanyak 245,5 pohon tiap hektar. Keadaan
yang sama dengan Stagen dan Semanggis juga dilaporkan oleh Soemarna dan Suyana
(1977) di Suban Burung KPH Palembang, Soemarna dan Suyana (1979) di KPH
Ketapang Kalimantan Barat, serta Soemarna dan Suyana (1979) untuk kelompok
hutan Sungai Tualan KPH Kota Waringin Timur di Kalimantan Tengah.
v DOMINASI
DAN STRUKTUR POHON FLORISTIK HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Oleh Dr. Elfis, M.Si.
(elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010
1.
Dominasi dan Struktur Pohon
Floristik Hutan Rawa Gambut
Richard (1984) dan Mueller-Dumbois
dan Ellenberg (1974) memakai istilah dominasi komposisi untuk menyatakan
kekayaan floristik suatu tipe hutan.Kekayaan floristik hutan tropika sangat
erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya,
dimana faktor tersebut membentuk suatu tegakan yang klimaks.Lebih lanjut
dikatakan bahwa sebagian sesar hutan hujan tropika mempunyai komposisi jenis
campuran, walaupun tidak selalu demikian dan diduga dalam bentuk asosiasi atau
konsosiasi.Soerianegara dan Indrawan (1984) menambahkan bahwa komposisi jenis
dibedakan antara populasi (satu jenis) dan komunitas (beberapa jenis).
Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal
(profil dan komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan
pohon pada suatu kominitas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebut dapat
menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan.
Pohon-pohon yang terdapat di dalam suatu komunitas hutan alam tropika
berdasarkan kenampakan arsitektur, ukuran pohon dan keadaan biologi pohon
dibedakan menjadi tiga golongan (Halle et al., 1978), yaitu :
(1) Pohon masa datang (tree of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai kemampuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa mendatang. Pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan dan diharapkan pada masa mendatang akan menggantikan pohon-pohon yang saat ini dominan. (2) Pohon masa kini (tree of the present), yaitu pohon-pohon yang sedang berkembang penuh dan merupakan pohon yang dominan (menentukan) dalam stratifikasi saat ini. (3) Pohon masa lampau (tree of the past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dn mulai mengalami kerusakan yang selanjutnya akan mati.
Menurut Sugden (1983), untuk mengetahui komposisi jenis disuatu daerah, maka perlu mengetahui sifat-sifat suatu jenis seperti penyebaran, fisiologi dan bentuk reproduksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa komposisi jenis komunitas hutan sangat beragam tetapi setiap jenis dalam suatu habitat mempunyai sifat-sifat yang hampir sama.
Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan. Samingan (1996) menjelaskan dalam kerangka pemanfaatan hutan perlu mengetahui komposisi jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Selain itu Soerianegara dan Indrawan (1984) mengemukakan pentingnya mengetahui komposisi. Dikatakan komposisi; hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Struktur vegetasi adalah menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunaan dalam menentukan stratifikasi (vertikal dan horizontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan, kodominan dan tertekan (Richards, 1984).
(1) Pohon masa datang (tree of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai kemampuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa mendatang. Pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan dan diharapkan pada masa mendatang akan menggantikan pohon-pohon yang saat ini dominan. (2) Pohon masa kini (tree of the present), yaitu pohon-pohon yang sedang berkembang penuh dan merupakan pohon yang dominan (menentukan) dalam stratifikasi saat ini. (3) Pohon masa lampau (tree of the past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dn mulai mengalami kerusakan yang selanjutnya akan mati.
Menurut Sugden (1983), untuk mengetahui komposisi jenis disuatu daerah, maka perlu mengetahui sifat-sifat suatu jenis seperti penyebaran, fisiologi dan bentuk reproduksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa komposisi jenis komunitas hutan sangat beragam tetapi setiap jenis dalam suatu habitat mempunyai sifat-sifat yang hampir sama.
Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan. Samingan (1996) menjelaskan dalam kerangka pemanfaatan hutan perlu mengetahui komposisi jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Selain itu Soerianegara dan Indrawan (1984) mengemukakan pentingnya mengetahui komposisi. Dikatakan komposisi; hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Struktur vegetasi adalah menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunaan dalam menentukan stratifikasi (vertikal dan horizontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan, kodominan dan tertekan (Richards, 1984).
Interaksi dalam suatu komunitas tercermin dari struktur dan komposisi
vegetasi. Stratifikasi yang terjadi pada suatu komunitas tumbuhan di hutan
terjadi karena adanya persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan)
dari jenis vegetasi lain, pohon-pohon tinggi dari lapisan paling atas menguasai
pohon-pohon yang ada dibawahnya (Soerianegara dan Indrawan, 1984).
Dominasi suatu jenis ditentukan oleh indeks nilai pentingnya. Jenis
vegetasi yang dominan adalah yang paling tinggi indeks nilai pentingnya. Menurut
Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), indeks nilai penting adalah jumlah dari
frekuensi relatif, dominasi relatif dan kerapatan relatif.
Kegunaan mengetahui struktur baik vertikal maupun horizontal oleh para
ahli dilihat dari berbagai aspek. Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974),
struktur tegakan secara horizontal berguna sebagai dasar (a) penaksiran volume
kayu per satuan luas, (b) penentuan jarak tanam, dan (c) penilaian biaya
pemungutan hasil hutan. Soerianegara dan Indrawan (1984) menambahkan, struktur
vegetasi hutan merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan
pengelolaan hutan. Sedangkan struktur vertikal sangat berguna berkaitan dengan
kebutuhan cahaya, yaitu toleransi suatu jenis terhadap cahaya matahari (Smith,
1980).
Soerianegara dan Indrawan (1984) membagi stratifikasi tajuk dalam hutan
hujan tropika ke dalam lima lapisan sebagai berikut :
1) Lapisan
A, lapisan teratas, ditandai oleh tajuk yang terputus, biasanya tinggi pohon 30 meter ke
atas.
(2) Lapisan
B, secara umum tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara 20 meter sampai 30
meter.
(3) Lapisan
C, tajuk tidak terputus, tinggi pohon antara 4 meter sampai 20 meter.
(4) Lapisan
D, lapisan perdu dan semak, tinggi antara 1 meter sampai 4 meter.
(5) Lapisan E, lapisan tumbuhan penutup tanah, tinggi
kurang 1 meter.
Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), diagram profil hutan adalah salah satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horizontal, tetapi diagram profil hanya bersifat kuantitatif dan sulit menentukan lokasi yang mewakili komunitas hutan.
Dalam pembuatan diagram profil, perubah yang diukur adalah tinggi pohon total, tinggi pohon bebas cabang, diameter pohon dan proyeksi tajuk (Tarquebiau, 1982). Ditambahkan oleh Oldeman (1983) untuk mempelajari arsitektur pohon dengan cara pembuatan diagram profil diperlukan data sebagai berikut (a) unit regenarasi (eco-unit), (b) perkembangan mosaik (a chrana-unit), dan (c) mosaik suksesi (a silvatic-unit).
2.
Pola Sebaran
Spasial Floristik Hutan Rawa Gambut
Pola sebaran
spasial vegetasi merupakan karakter penting dalam komunitas ekologi hutan rawa
gambut. Hal ini biasanya merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk meneliti
suatu komunitas dan merupakan hal yang sangat mendasar dari kehidupan suatu
organisme (Ludwig & Reynold, 1988). Pola sebaran spasial ini merupakan
aspek penting dalam struktur populasi dan terbentuk oleh faktor intrinsik
spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970).
Menurut
Ludwig & Reynold (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi pola sebaran
spasial adalah :
(1) Faktor
vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan (misalnya angin,
intensitas cahaya, dan air).
(2) Faktor
reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi
(3) Faktor
co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya kompetisi).
(4) Faktor
stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa faktor
di atas.
Terdapat
tiga pola dasar sebaran spasial, yaitu (a) acak atau random, (b) mengelompok
atau clump, (c) seragam atau uniform (Odum, 1986; Ludwig & Reynold, 1988;
McNaughton&Wolf, 1990). Pola acak terbentuk sebagai akibat dari lingkungan
yang homogen (Odum, 1986; Ludwig & Reynold, 1988) atau perilaku yang non
selektif (Ludwig & Reynold, 1988; McNaughton&Wolf, 1990). Pola sebaran
non acak (mengelompok atau seragam) menunjukan bahwa terdapatnya suatu faktor
pembatas pada populasi yang ada (Ludwig & Reynold, 1988). Bila sebaran
tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada suatu titik
meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang lain di
dekatnya. Sedangkan pola sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang
berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok. Sebaran
suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku bagi
organisme yang mempunyai kisaran kemampuan adaptasi yang sempit (Krebs, 1978).
Selanjutnya
Krebs (1978) menyatakan bahwa tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering
mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang
membatasi distribusi antara lain iklim, faktor edafis dan interaksi dengan
tumbuhan lain.
Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropika merupakan kunci penting untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama, et.al., 1999).
Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropika merupakan kunci penting untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama, et.al., 1999).
Manokaran
(1992) mengungkapkanberdasarkan penelitian mengenai pola spasial di Hutan
Cadangan Pasoh Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies
tergantung pada topografi, kelembaban tanah posisi pohon induk, dan celah
kanopi.
3. Celah Kanopi/ Rumpang Floristik Hutan Rawa Gambut
Celah kanopi
(rumpang atau gap atau chablis) merupakan kejadian alam yang umum dijumpai di
hutan tropika. Celah terjadi akibat pohon yang mati/patah/ rebah batang atau
dahan pohon oleh berbagai faktor seperti mati karena usia, angin, tanah
longsor, penebangan pohon dan sebagainya (Hartshorn, 1986). Selanjutnya
Whitmore (1986) mengungkapkan bahwa selain terbentuknya celah rebahnya
pohon-pohon besar akan menghasilkan gundukan atau lubang pada tanah akibat
terbongkarnya tanah oleh akar-akar pohon yang rebah. Terbentuknya celah
merupakan titik kritis bagi permudaan dan perkembangan dari banyak jenis pohon
penyusun tajuk hutan di hutan rawa gambut.
Celah di
hutan oleh Halle (1976) dibagi menjadi tiga bagian: (a) the crown gap (celah
yang disebabkan tajuk pohon), (b) the epicenter (daerah yang menerima tumbukan
batang pohon dan dahan-dahan besar), dan (c) the periphery around the epicenter
(daerah tumbukan ranting-ranting kecil dan daun). Pada daerah crown gap, cahaya
matahari akan langsung mengenai vegetasi yang ada dan pembentukan hutan akan
cepat tanpa melalui tahap pionir.
Pada daerah
epicenter, tanah akan langsung mendapat cahaya matahari, bahkan pohon-pohon
muda banyak yang rusak, karena daerah ini merupakan bagian yang kuat mendapat
tumbukan tajuk. Pada daerah epicenter, silvigenesis dimulai dari tumbuhan herba
pada waktu selama dua tahun. Batang pohon akan hilang pada waktu sepuluh tahun,
tumbuhan herba akan hilang dan digantikan oleh komunitas pionir sampai umur 25
tahun komunitas dominan. Di bawah tegakan pionir mulai tumbuh jenis nomads,
setelah berumur 30 tahun komunitas pionir akan lenyap pada waktu bersamaan,
setelah 40-50 tahun komunitas nomads akan berkuasa. Tidak seperti pionir,
komunitas nomads tidak mati pada waktu yang bersamaan, oleh karena itu flora
akan kaya oleh komunitas nomads. Komunitas nomads dapat
hidup ± 100 tahun. Selanjutnya komunitas nomads akan mati dan digantikan oleh pohon-pohon jenis klimaks dan flora yang kaya akan jenis. Komunitas chablis akan sama dengan komunitas sekitarnya ± 200 tahun.
hidup ± 100 tahun. Selanjutnya komunitas nomads akan mati dan digantikan oleh pohon-pohon jenis klimaks dan flora yang kaya akan jenis. Komunitas chablis akan sama dengan komunitas sekitarnya ± 200 tahun.
Terbukanya
celah mengakibatkan pengurangn kompeteisi akar dan perubahan iklim mikro
seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya, peningkatan temperatur dan
menurunnya kelembaban (Hartshorn, 1986). Celah juga dapat meningkatkan
kandungan hara dengan membusuknya tanaman yang mati, mengurangi kompetisi akar,
serta merubah relief mikro dan profil tanah (Whitmore, 1986). Hal lain yang
penting adalah dengan terbentuknya celah berarti berkurang atau hilangnya
pengendalian oleh jenis dominan terhadap anakan pon yang ada dibawahnya. Keberadaan
dan pertumbuhan dari berbagai spesies pon sangat berkaitan erat dengan ukuran
celah dan posisi spesies dalam celah, terutama pada tingkat semai. Ketahanan
dan keberadaan pon pada tingla semai adalah lebih besar pada celah dibabdingkan
kanopi tertutup (Gray&Spies, 1996). Permudaan
dalam celah adalah statu mekanisme penting dalam memelihara populasi dan
comunitas dalam hutan rawa gambut.
Karakteristik
celah berupa ukuran dan kepadatan celah kanopi sangat besar pengaruhnya
terhadap keberhasilan permudaan (Yamamoto, 1995). Usuran celah juga dapat
mempengaruhi jenis mana yang dapat mengkolonisasi suatu celah (Hartshorn,
1986).
Keadaan
menyangkut celah kanopi seperti dijelaskan di atas berperan
menciptakan suatu mekanisme suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan dinamika pada komposisi dab struktur comunitas tegakan (Hartshorn, 1986).
Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai usuran, karenanya ukuran celah merupakan suatu hal penting yang berpengaruh terhadap komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat yang mendukung penyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan pengaruh terhadap pola sebaran spasial jenis pon dikemukakan oleh Armesto et.al. (1986) dalam Yamamoto (1995) yang mengemukakan bahwa kerusakan dalam skala besar (seperti gempa, badai) meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random, sedangkan celah yang diakibatkan pohon tumbang (seperti penebangan dan penyaradan) meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar secara mengelompok.
menciptakan suatu mekanisme suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan dinamika pada komposisi dab struktur comunitas tegakan (Hartshorn, 1986).
Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai usuran, karenanya ukuran celah merupakan suatu hal penting yang berpengaruh terhadap komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat yang mendukung penyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan pengaruh terhadap pola sebaran spasial jenis pon dikemukakan oleh Armesto et.al. (1986) dalam Yamamoto (1995) yang mengemukakan bahwa kerusakan dalam skala besar (seperti gempa, badai) meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random, sedangkan celah yang diakibatkan pohon tumbang (seperti penebangan dan penyaradan) meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar secara mengelompok.
v IMPLIKASI
PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN TERHADAP DEGRADASI HUTAN RAWA GAMBUT
Oleh Dr. Elfis, M.Si.
(elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010
Hutan merupakan sumber daya alam
yang sangat besar peranannya bagi kepentingan hidup manusia dan lingkungan
hidup. Berdasarkan pola pemanfaatan lahan dari hasil rembugan Tata Guna Hutan
Kesepakatan , tercatat bahwa jumlah luas hutan di Indonesia adalah 143.970.615
ha, yang terdiri dari hutan tetap 113.433.215 ha dan hutan produksi yang dapat
dikonversi 30.537.400 ha. Berdasarkan fungsinya, hutan tetap terdiri dari hutan
lindung seluas 30.316.100 ha, hutan suaka alam dan hutan wisata 18.725.215 ha,
hutan produksi terbatas 30.525.300 ha dan hutan produksi tetap 33.886.600 ha
(Dephut, 2004).
Berfokus pada pemanfaatan hutan produksi di hutan tetap pada mulanya eksploitasi hutan melalui kegiatan pembalakan (logging) dimulai dari hutan yang berpotensi tinggi pada lapangan bertopografi relatif ringan yang secara ekologis tidak mudah terganggu keberadaanya. Akan tetapi karena tekanan permintaan akan hasil hutan terus meningkat, maka kegiatan pembalakan dewasa ini sudah mencapai tempat-tempat yang jauh dan sulit medannya, bahkan pada areal dengan katagori hutan produksi terbatas (Dephut, 1998).
Peranan faktor lingkungan erat hubungannya dengan tindakan manusia terhadap keseimbangan ekosistem sumber daya hutan.Gangguan berupa eksploitasi hutan adalah gangguan yang cukup drastis terhadap keseimbangan ekosistem hutan terutama di tempat-tempat yang ekologisnya rawan (Sist dan Bertault, 1998; Shariff dan Miller, 1991; Soerianegera, 1992).
Berfokus pada pemanfaatan hutan produksi di hutan tetap pada mulanya eksploitasi hutan melalui kegiatan pembalakan (logging) dimulai dari hutan yang berpotensi tinggi pada lapangan bertopografi relatif ringan yang secara ekologis tidak mudah terganggu keberadaanya. Akan tetapi karena tekanan permintaan akan hasil hutan terus meningkat, maka kegiatan pembalakan dewasa ini sudah mencapai tempat-tempat yang jauh dan sulit medannya, bahkan pada areal dengan katagori hutan produksi terbatas (Dephut, 1998).
Peranan faktor lingkungan erat hubungannya dengan tindakan manusia terhadap keseimbangan ekosistem sumber daya hutan.Gangguan berupa eksploitasi hutan adalah gangguan yang cukup drastis terhadap keseimbangan ekosistem hutan terutama di tempat-tempat yang ekologisnya rawan (Sist dan Bertault, 1998; Shariff dan Miller, 1991; Soerianegera, 1992).
Akan tetapi di sisi lain,
pemanfaatan hutan yang optimal juga penting untuk pemenuhan kebutuhan
masyarakat akan hasil hutan yang makin besar. Dengan demikian, gangguan
kegiatan eksploitasi terhadap ekosistem sumber daya hutan masih dapat
diperkenankan, asalkan terbatas pada intensitas dimana batas daya dukung sumber
daya hutan belum terlampaui.Batas-batas tersebut berupa batas toleransi
perubahan faktor-faktor lingkungan hutan yang masih mencerminkan keseimbangan dinamis
dari ekosistem sumber daya hutan.
Bertolak dari bagan sederhana tersebut, diperoleh gambaran bahwa gangguan pada salah satu unsur ekosistem akan mengakibatkan gangguan pula pada unsur lainnya karena adanya hubungan timbal balik diantara ketiga unsur ekosistem tersebut. Gangguan terhadap lingkungan hutan dapat terjadi karena adanya aplikasi satu atau lebih gatra pembalakan yang menyebabkan kemampuan areal tersebut untuk berproduksi atau beregenerasi menjadi turun atau hilang sama sekali. Gangguan tersebut dapat berupa menurunnya populasi dan keanekaragaman jenis vegetasi dan satwa, berubahnya aliran mantap (water yield) dan kualitas air, berubahnya kesuburan dan sifat fisik tanah serta berubahnya iklim mikro sehingga menyebabkan ekosistem hutan berubah. Perubahan ini sesuai dengan prinsip alam lingkungan holocoeonetik, yaitu bila suatu faktor lingkungan berubah, maka perubahan ini akan mempengaruhi faktor-faktor lainnya (Wenger, 1984; Soerianegara dan Indrawan, 1984; Indrawan, 2000).
Bertolak dari bagan sederhana tersebut, diperoleh gambaran bahwa gangguan pada salah satu unsur ekosistem akan mengakibatkan gangguan pula pada unsur lainnya karena adanya hubungan timbal balik diantara ketiga unsur ekosistem tersebut. Gangguan terhadap lingkungan hutan dapat terjadi karena adanya aplikasi satu atau lebih gatra pembalakan yang menyebabkan kemampuan areal tersebut untuk berproduksi atau beregenerasi menjadi turun atau hilang sama sekali. Gangguan tersebut dapat berupa menurunnya populasi dan keanekaragaman jenis vegetasi dan satwa, berubahnya aliran mantap (water yield) dan kualitas air, berubahnya kesuburan dan sifat fisik tanah serta berubahnya iklim mikro sehingga menyebabkan ekosistem hutan berubah. Perubahan ini sesuai dengan prinsip alam lingkungan holocoeonetik, yaitu bila suatu faktor lingkungan berubah, maka perubahan ini akan mempengaruhi faktor-faktor lainnya (Wenger, 1984; Soerianegara dan Indrawan, 1984; Indrawan, 2000).
Sistem silvikultur adalah rangkaian
kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan,
peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi
kayu atau hasil hutan lainnya (Dephut, 1998).Sistem silvikultur pada hakekatnya
merupakan program perlakuan untuk seluruh rotasi.Batasan ini membantu menjamin
beberapa keseragaman dan kontinuitas jangka panjang dari perlakuan yang
diterapkan. Berdasarkan hal tersebut, perhatian harus difokuskan pada langkah
genting (crucial step) dari regenerasi tegakan, oleh adanya pengertian yang
keliru bahwa sistem silvikultur adalah sama dengan metode penebangan regenerasi
hutan, yang dapat menyebabkan tegakan menjadi hilang karenanya (Soerianegara
dan Indrawan, 1984; Dephut, 1998; Sist dan Bertault, 1998). Perkembangan sistem
silvikultur di Indonesia masih terus berlangsung setelah Direktorat Jenderal
Kehutanan berubah statusnya menjadi Departemen Kehutanan pada tahun 1983.
Dalam rangka penyempurnaan sistem
silvikultur untuk pengusahaan hutan produksi alam di Indonesia, sesuai dengan
buku Rencana Pengembangan Tahun Kelima (REPELITA V) 1989/1990 – 1993/1994,
Menteri Kehutanan telah mengeluarkan keputusan Nomor 485/Kpts/II/1989 tanggal
18 September 1989 tentang sistem silvikultur Pengelolaan Hutan Produksi Alam di
Indonesia. Dalam keputusan tersebut telah ditetapkan antara lain bahwa
pengelolaan hutan produksi alam dapat dilakukan dengan sistem silvikultur
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis dengan Permudaan alami Alam
(THPA) dan Tebang Habis dengan Permudaan alami Buatan (THPB) (Dephut, 1998).
Pelaksanaan sistim silvikultur TPTI
di hutan rawa gambut didasarkan pada Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan
Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989. Penetapan sistim silvikultur TPTI yang ada harus
diselaraskan dengan tipe hutan yang bersangkutan.Hutan rawa gambut seperti
halnya tipe-tipe hutan lainnya (kecuali hutan mangrove yang berstatus hutan
produksi) pengelolaannya masih berpedoman pada sistim silvikultur TPTI yang
selama ini diterapkan untuk hutan tanah darat/kering.Mengingat kondisi
ekologisnya berbeda maka perlu dibuat sistim silvikultur tersendiri (Sutisna,
1985; Soerianegera dan Indrawan, 1984; Sist dan Bertault, 1998). Pada waktu
disusunnya sistim silvikultur TPTI (semula TPI) didasarkan pada pengetahuan
tentang komposisi, struktur dan pertumbuhan hutan tanah kering dengan dasar
riap jenis-jenis Dipterocarpaceae. Jadi penerapan sistim silvikultur TPTI untuk
tipe-tipe hutan lainnya, seperti hutan rawa, hutan rawa gambut dan tipe hutan
lain masih memerlukan penelitian sinekologi (komposisi dan struktur hutan,
penyebaran suatu jenis, permudaan alami, tumbuh dan riap, serta fenologi) dan
autoekologi (syarat-syarat keadaan tempat tumbuh, siklus hara mineral, dan
siklus air).
Hubungan kesuburan tanah dan iklim dengan
produktivitas hutan rawa gambut belum banyak terdokumentasi (Sutisna, 1985; Nguyen,
1998; Elias et al., 1997; Sist dan Bertault, 1998). Penebangan hutan alam
dengan sistem silvikultur TPTI jelas akan menurunkan kelimpahan dan keragaman
jenis dalam hutan alam sampai dalam bentuk perubahan struktur, bentuk komunitas
flora-fauna dan berakhir pada gangguan terhadap ekosistem (Soenarno, 1996).
Pada hutan alam, penebangan dengan sistim TPTI pada pohon-pohon yang
berdiameter ³ 50 cm akan berpengaruh pada struktur tegakan dan komposisi
yang meliputi keanekaragaman jenis, indek kesamaan komunitas, kerapatan,
frekuensi dan dominasi. Struktur dan komposisi hutan sebelum ditebang akan
mempengaruhi struktur dan komposisi hutan bekas tebangan, makin banyak jumlah jenis
pohon yang hilang berarti tidak menguntungkan pada kelestarian jumlah jenis
tumbuhan di hutan alam (Soenarno, 1996; Indrawan, 2000; Siregar et al., 2000).
Ada kecendrungan yang sangat
merugikan dalam pelaksanaan sistem silvikultur TPTI yang tidak terkontrol yaitu
pada pelaksanaan permudaan alam dan buatan yang hanya mementingkan pada
jenis-jenis komersil, usaha permudaan alam dan buatan yang didasarkan hanya
pada jenis komersil yang ditebang dan ini umumnya berlaku pada sistem
silvikultur TPTI, akan dapat makin merubah komposisi jenis dihutan alam bekas
tebangan (Soenarno, 1996). Apabila sistem silvikultur TPTI dan pengembangannya
selalu mengutamakan permudaan buatan dan alam jenis komersil saja tanpa
memperhatikan jenis non komersil yang hancur dan rusak sewaktu penebangan dan
penyaradan kayu melalui jalan sarad dilakukan, maka areal Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) bekas TPTI nantinya akan cendrung mengarah ke hutan dengan tegakan yang
hanya terdiri dari beberapa jenis komersil saja, maka fungsi HPH dalam melestarikan
keanekaragaman hayati tidak dapat diharapkan (Koesmawadi, 1996; Indrawan, 2000;
Dalfelt, et al., 2000). Di sisi lain, pedoman TPTI tidak memuat standar baku
yang menerangkan tingkat ukuran dan toleransi dari suatu dampak. Misalnya
dampak terhadap tegakan tinggal, iklim mikro maupun sifat tanah. Padahal,
informasi ini penting untuk mendapatkan ketegasan bagi pengelolaan hutan bekas
tebangan ini lebih lanjut agar potensialnya minimal sama dengan sebelumnya. Pembukaan
wilayah hutan dalam kegiatan hutan alam adalah semua aktifitas/ kegiatan yang
ditujukan untuk pengelolaan hutan dan transportasi hasil hutan keluar dari
areal hutan yang harus disertai pula usaha-usaha untuk mengurangi atau menghindari
kerusakan (Elias, 1994).
Transportasi pengakutan kayu
tebangan (logging transportation) pada pembukaan wilayah hutan di areal hutan
rawa yang mempunyai topografi kurang dari 3 % yang digunakan adalah dengan
sarana jalan rel kereta lokomotif. Pembuatan jalan rel dilakukan karena jika
mempergunakan jalan darat (jalan tanah) tidak akan bisa dilalui kendaraan, hal
ini disebabkan terlalu banyak air (becek/banjir) akibat dari sifat tanah gambut
yang lunak dan berair (Endom dan Basri, 2001). Pembuatan jalan dengan
menggunakan jalan rel dan jalan sarad ongkak dengan sistim kuda-kuda (logging
extraction manual system) membawa konsekuensi berupa penggunaan kayu untuk
bantalan rel dan bantalan kuda-kuda ongkak, dan umumnya kayu-kayu yang
digunakan adalah kayu-kayu dari pohon berdiameter kecil dan jenis-jenis kayu non
komersial. Pembuatan jalan ini juga berakibat terbentuknya koridor di hutan
yang cukup lebar yang akan berpengaruh terhadap iklim mikro hutan.
Perubahan iklim dalam areal HPH berbentuk iklim mikro.Faktor-faktor iklim yang dapat berubah adalah suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara dan intensitas cahaya yang masuk ke dalam hutan (Koesmawadi, 1996; Indrawan, 2000; Dalfelt, et al., 2000).
Perubahan iklim dalam areal HPH berbentuk iklim mikro.Faktor-faktor iklim yang dapat berubah adalah suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara dan intensitas cahaya yang masuk ke dalam hutan (Koesmawadi, 1996; Indrawan, 2000; Dalfelt, et al., 2000).
Perubahan iklim mikro ini akan cukup
besar terjadi pada areal hutan yang terbuka untuk pengakutan kayu melalui jalan
rel, jalan sarad, tempat penumpukan kayu (log pond), dan lokasi pemukiman (base
camp). Areal ini akan mengalami perubahan iklim mikro secara terus menerus
selama masih digunakan. Perubahan iklim mikro yang kalau dilihat dari angka
perubahan atau persentase perubahan mungkin terlihat kecil tetapi pengaruh pada
kehidupan tumbuhan dapat sangat besar, terutama beberapa jenis tumbuhan yang
sangat sensitif terhadap perubahan iklim mikro, perubahan struktur tegakan dan
komposisi jenis ini akan mempengaruhi keadaan habitat yang berkecendrungan
terjadinya perubahan perubahan ekologissnya (Koesmawadi, 1996; Indrawan, 2000;
Dalfelt, et al., 2000).
DAFTAR PUSTAKA
Jumin, Hasan Basri. 1992. Ekologi
Tanaman. Rajawali Press: Jakarta
Michael, P. 1995. Metode Ekologi untuk Penyelidikan
Ladang dan Laboratorium. UI Press: Jakarta.
Rahardjanto, Abdulkadir. 2001.
Ekologi Umum. Umm Press: Malang.
Rohman, Fatchur dan I Wayan
Sumberartha. 2001. Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan. JICA: Malang.
Syafei, Eden Surasana. 1990.
Pengantar Ekologi Tumbuhan. ITB: Bandung.
Wolf, Larry dan S.J McNaughton.
1990. Ekologi Umum. UGM Press: Jogjakarta.
Http://elfisuir.blogspot.com
/search/label/EKOLOGI POPULASI
http://zaifbio.wordpress.com/2009/01/30/deskripsi-dan-analisis-vegetasi-floristika-dan-non-floristika/
Http://elfisuir.blogspot.com/search/label/DOMINASI
DAN STRUKTUR POHON FLORISTIK HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Http://elfisuir.blogspot.com
/search/label/STRUKTUR FLORISTIK
EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar