Sabtu, 03 Mei 2014

tugas makalah syasrida fransiska




MAKALAH INDIVIDU
EKOLOGI TUMBUHAN
(Populasi, komunitas, ekosistem, hutan rawa gambut)
Dosen pemangku : Prima Wahyu Titisari, MSi
logo universitas islam riau.jpg





Nama   : SYASRIDA FRANSISKA
Kelas    : 6/A ( Biologi )
NPM     : 116511726





FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2014
POPULASI

A. POPULASI
Setiap populasi makhluk hidup mengalami proses yang sama. Antara lain dia mengemukakan tingkat fertilitas suatu organisme mungkin sangat tinggi, tetapi bahaya yang mengancam populasinya juga besar. Tarumingkeng (1994), Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Smith (1990) mendefinisikan populasi sebagai kelompok organisme spesies yang sama yang mengalami interbreeding. Krebs (2001) populasi adalah sekelompok organisme sejenis yang menempati ruang tertentu pada waktu tertentu. Populasi memiliki karakterisitik kelompok – statistical measure – yang tidak dapat diterapkan pada individu.Karakteristik dasar populasi yang banyak didiskusikan adalah kepadatan (density). Empat parameter populasi yang mengubah kepadatan populasi adalah natalitas ( telur, biji, produksi spora, kelahiran), mortalitas (kematian), imigrasi dan emigrasi

Karakteristik Populasi :
Kepadatan
       Kepadatan populasi ialah besarnya populasi dalam hubungannya dengan suatu unit atau satuan ruangan. Perlu diingat bahwa perhitungan jumlah terlalu mementingkan arti organisme kecil, sedangkan biomassa terlalu membesarkan arti organisme besar, sedangkan komponen arus energi memberikan indeks yang lebih baik untuk membandingkan populasi mana saja dalam ekosistem.
Faktor yang mempengaruhi kepadatan
 Perubahan kepadatan populasi dipengaruhi oleh empat parameter primer dari populasi yaitu natalitas, mortalitas, imigrasi dan emigrasi. Ketika kita menanyakan mengapa populasi meningkat atau menurun pada spesies tertentu, jawabannya adalah karena salah satu dari parameter ini berubah. Apabila natalitas dan imigrasi meningkat dalam populasi sedangkan emigrasi dan mortalitas menurun, maka kepadatan populasi akan bertambah. Pertambahan jumlah organisme kedalam populasi ini disebut laju kepadatan yaitu jumlah organisme atau individu yang bertambah ke dalam populasi per satuan waktu. Jika N merupakan simbol untuk jumlah organisme dan t merupakan simbol waktu.
Kepadatan Absolut: Para ekologiwan menentukan kepadatan absolut dengan dua cara yaitu dengan penghitungan total dan dengan menggunakan sampel.

         Natalitas:  Salah satu faktor utama yang menyebabkan peningkatan kepadatan populasi adalah natalitas, yaitu produksi individu-individu baru di dalam populasi melalui kelahiran, haching, germinasi atau pembelahan. Fekunditas: kondisi fisiologis yang mengacu pada kapasitas reproduksi organism.
Fertilitas : konsep ekologi yang didasarkan pada kemampuan organisme menghasilkan anak pada periode tertentu. Fertilitas nyata (realized fertility). Kelahiran maksimum (kelahiran fisiologis): produksi maksimum dari individu-individu baru dalam populasi pada kondisi yang ideal (tidak ada faktor lingkungan yang membatasi reproduksi, hanya dibatasi oleh faktor fisiologi individu sendiri). Disebut juga potensi biotik organism.
Kelahiran ekologis : produksi individu baru dalam populasi pada kondisi lingkungan yang ada, banyak faktor yang dapat membatasi angka kelahiran atau sangat dipengaruhi kondisi lingkungan. Laju kelahiran adalah jumlah organisme yang dihasilkan individu betina per unit waktu. Besar laju kelahiran sangat dipengaruhi oleh tipe organisme yang sedang dipelajari. Beberapa spesies melakkukan perkawinan setahun sekali, spesies lain beberapa kali dalam satu tahun, ada yang sepanjang tahun.
Beberapa spesies menghasilkan banyak biji atau telur sedang yang lain hanya beberapa telur atau biji. Laju kelahiran populasi disebut angka kelahiran kotor (crude natality). Laju kelahiran individu disebut laju kelahiran spesifik (specific natality) karena setiap individu akan mempunyai angka kelahiran yang berbeda. Dalam perhitungan laju kelahiran, harus dibedakan antara Nn dengan N.

Mortalitas(Kematian)
          Mortalitas adalah jumlah individu dalam populasi yang mati selama periode waktu tertentu. Dalam studi populasi biologiwan lebih tertarik pada mengapa organisme mati pada usia tertentu. Mortalitas atau kebalikannya survival, bisa dilihat dari berbagai aspek. Longitivitas difokuskan pada usia kematian dari individu dalam populasi.


Dua tipe longitivitas yaitu:
(a)                       Longitivitas potensial (potential longitivity), dan
(b)                       Longitivitas nyata (realized longitivity). Longitivitas potensial adalah usia hidup maksimum suatu spesies yang semata-mata dibatasi oleh faktor fisiologi organisme tersebut, angka kematian akan konstan (kemampuan hidup organisme pada kondisi optimum). Longitivitas potensial adalah usia hidup nyata organisme di alam. Sebgaian besar organisme yang hidup di alam jarang pada kondisi optimum, sebagian besar hewan atau tumbuhan mati karena penyakit, predator, atau ancaman alamiah lain. Laju kematian populasi adalah jumlah individu dari suatu populasi yang mati dalam periode waktu tertentu (jumlah yang mati per satuan waktu). Laju kematian populasi nilainya negatif, karena merupakan kebalikan dari angka kelahiran. Nisbah antara angka kelahiran dan kematian disebut vital indeks yang dirumuskan dalam bentuk persentase (%) Kurva Kehidupan. Di dalam populasi yang penting dipelajari bukan angka kematian, tetapi bagaimana populasi tersebut dapat menghindari kematian (survival). Jika angka kematian dilambangkan dengan M, maka laju kehidupan populasi (survival rate) = 1 – M. Angka kehidupan atau laju kehidupan organisme secara umum digambarkan dalam bentuk kurva kehidupan.
        Ada tiga tipe kurva kehidupan yaitu :
                (a) kurva cembung,
                (b) kurva cekung,
                (c) kurva diagonal.

Tiga tipe kurva kehidupan
:
(a)      Kurva cembung
merupakan kurva kehidupan suatu populasi dimana pada waktu   muda laju kematian populasi rendah, tetapi mendekati umur tua laju kematian populasi tinggi. Individu cenderung berumur panjang.
(b) Kurva cekung: menunjukkan bahwa laju kematian populasi sangat tinggi pada waktu populasi berumur muda dan selanjutnya menjadi menurun pada saat populasi mulai berumur tua.
(c) Kurva diagonal: mempunyai umur kehidupan yang relatif konstan, laju kematian populasi konstan. Jarang di alam ditemukan populasi yang mempunyai laju kematian konstan, yang sering ditemui mendekati konstan.

Tabel kehidupan (life table)
Kurva kelangsungan hidup suatu populasi didapatkan dengan cara membuat pengamatan terhadap populasi dalam bentuk tabel kehidupan (life table). Tabel kehidupan memberikan informasi dasar untuk mempelajari perubahan kepadatan dan laju pertambahan atau pengurangan suatu populasi. Model perkembangan populasi dapat disusun berdasarkan hasil pengumpulan data kerapatan populasi atau jumlah individu (N) untuk waktu tertentu (t).

Distribusi umur
 Individu di dalam populasi mencakup berbagai tingkat umur. Proporsi individu dalam setiap kelompok umur disebut distribusi umur. Keadaan distribusi umur berpengaruh terhadap tingkat kematian dan kelahiran. Rasio dari kelompok-kelompok umur dari populasi menentukan status reproduktif yang sedang berlangsung dari populasi tersebut, sehingga menentukan pertumbuhan populasi untuk waktu berikutnya.
Dari distribusi umur dapat diramalkan tingkat kelahiran dan kematian sehingga dapat diperkirakan keadaan populasi masa yang akan datang, karena distribusi umur sangat besar pengaruhnya perhadap pertumbuhan populasi dan dinamika populasi.
(a) Populasi yang berkembang dengan cepat, sebagian besar individu muda,
(b) Populasi stasioner memiliki pembagian kelas umur lebih merata,
(c) Populasi menurun, sebagian besar individunya berusia tua.

Pembagian umur organisme
         Piramida umur. Umur di dalam populasi dapat digambarkan dalam bentuk piramida yang disebut dengan piramida umur populasi. Suatu model yang menggambarkan perbandingan geometri dari perbedaan kelompok umur di dalam suatu populasi.

(a) Piramida Bentuk Segitiga
 Piramida ini menunjukkan persentase individu muda di dalam populasi tinggi. Di dalam populasi di mana kelompok umur individu muda tinggi biasanya laju kelahiran tinggi dan dapat saja pertumbuhan populasi eksponensial, seperti pada populasi ragi. Paramaecium dan sebagainya. Pada keadaan seperti ini setiap perubahan (regenerasi) akan lebih banyak dari pendahulunya dan akan memberikan dasar piramida umur yang lebar.

(b) Piramida Bentuk Genta
 Menunjukkan proporsi yang seimbang dari individu-individu muda sampai tua. Selanjutnya laju pertumbuhan populasi konstan dan stabil. Fase kelompok umur sebelum reproduksi dan reproduksi menjadi seimbang berbeda sedikit saja dan kelompok umur populasi memberikan strukutur bentu genta atau lonceng.

(c) Piramida Bentuk Kendi
 Menunjukkan persentase yang rendah untuk individu-individu muda dan proporsi besar pada fase setelah reproduksi. Hal ini dapat terjadi jika laju kelahiran secara drastis diturunkan, maka jumlah individu sebelum reproduksi menjadi lebih kecil dan lebih rendah dari kelompok pos reproduksi.

Distribusi populasi
Kemampuan untuk menyebar merupakan salah satu siklus hidup yang sangat penting dalam organisme, merupakan proses ekologis yang menghasilkan aliran gen (gen flow) diantara populasi lokal dan membantu untuk menghindari terjadinya inbreeding. Penyebaran individu dalam populasi dapat dibatasi oleh halangan geofrafis, dan berpengaruh terhadap komposisi komunitas.

Tiga pola penyebaran populasi
:
(a)      Emigrasi
Suatu pergerakan individu ke luar dari tempat atau daerah populasinya ke tempat lainnya dan individu tersebut tinggal secara permanen di tempat beru tersebut.
(b) Imigrasi
Suatu pergerakan individu populasi ke dalam suatu daerah populasi dan individu tersebut  
meninggalkan daerah populasinya selanjutnya tinggal di tempat baru.
(c) Migrasi
 Pergerakan dua arah, ke luar dan masuk populasi atau populasi pergi dan datang secara
 periodik selama kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka individu-individu suatu
 populasi akan berpindah tempat, sedangkan kalau suadah menguntungkan kembali ke
 tempat asal.
Dalam kaitannya dengan ruang (skala kecil), individu-individu di dalam populasi menyebar dengan tiga pola yaitu acak (random), seragam (uniform) dan mengelompok (clumped).
(a) Penyebaran acak adalah jika individu-individu dalam populasi dapat hidup dimana     saja di dalam area yang ditempati oleh populasi tersebut.
(b)  Penyebaran seragam jika individu-individu tersebar secara seragam dalam area, dan
     (c) Penyebaran mengelompok jika individu di dalam populasi lebih mudah   ditemukan pada   area tertentu dibandingkan pada areal yang lain.

Distribusi spasial
Di alam penyebaran secara acak jarang terjadi, penyebaran secara acak akan terjadi jika lingkungan homogen. Penyebaran individu di dalam populasi seragam terjadi bilamana terjadi persaingan yang keras diantara individu-individu di dalam populasi sehingga timbul kompetisi (pertentangan) yang positif, yang mendorong pembagian ruang hidup yang sama.   
Penyebaran individu menggerombol umum terjadi di alam, individu-individu dalam populasi menunjukkan derajad pengelompokan karena adanya kebutuhan yang bersamaan akan faktor-faktor lingkungan. Tidak ada populasi yang tumbuh terus-menerus.
Cepat atau lambat akan mencapai titik keseimbangan dengan lingkungan dan sumberdayanya. Keseimbangan terjadi melalui perubahan laju kelahiran, laju kematian, atau kombinasi dari keduanya. Laju kelahiran independent terhadap kepadatan populasi, (garis horizontal).
Tidak berubah dengan bertambahnya kepadatan populasi, tetapi laju kematian meningkat. Sepanjang laju kelahiran lebih tinggi dari laju kematian maka populasi akan menuju titik keseimbangan (K). Setelah mencapai titik keseimbangan, maka laju kematian meningkat sehingga kepadatan populasi menurun. Laju kelahiran dan laju kematian dependent pada kepadatan populasi, populasi akan mencapai titik keseimbangan jika laju kelahiran lebih besar dari laju kematian.

Fluktuasi laju kelahiran dan laju kematian menjaga populasi pada atau sekitar titik keseimbangan dan dipengaruhi oleh kepadatan populasi. Jika laju kelahiran meningkat, maka laju kematian juga meningkat. Saat kepadatan populasi meningkat, kompetisi diantara anggota populasi dan kelangkaan sumberdaya menyebabkan laju kematian meningkat, laju kelahiran menurun atau keduanya.

Jika kepadatan populasi turun pada level terendah dan kemelimpahan sumberdaya kembali meningkat maka kepadatan populasi kembali meningkat dengan penurunan laju kematian dan peningkatan laju kelahiran atau kombinasi keduanya. Pertumbuhan Populasi adalah unit biologis yang menunjukkan perubahan dalam ukurannya.

        Setiap populasi mengalami tiga fase sepanjang siklus hidupnya yaitu:

1) Tumbuh
2) Stabil
3) Menurun

Perubahan itu dipengaruhi oleh :
   1) Natalitas (kelahiran)
                                                       2) Mortalitas (kematian)
                                                       3) Migrasi (perpindahan populasi)
                                                       4) Imigrasi
                                                       5) Emigrasi

           Pertumbuhan populasi berarti perubahan ukuran populasi pada periode waktu tertentu. Grafik yang menggambarkan secara aritmatik laju pertumbuhan populasi dN/dt = rN, dikenal sebagai kurva bentuk J atau kurva laju pertumbuhan eksponensial. Kurva pertumbuhan eksponensial. Secara teoritik, pada keadaan lingkungan yang ideal dimana tidak ada faktor lingkungan fisik atau biotik yang membatasi laju pertumbuhan intrinsik yang maksimum maka populasi tumbuh secara eksponensial. Kemampuan populasi tumbuh membentuk kurva eksponensial disebut dengan potensi biotik. Potensi biotik menunjukkan laju pertumbuhan teoritis yang tidak sesuai dengan kenyataan di alam. Pada kenyataannya, potensi biotik selalu dekendalikan oleh faktor lingkungan yang saling berinteraksi sehingga membatasi pertumbuhan.

Faktor lingkungan yang membatasi pertumbuhan populasi dengan cara menurunkan laju kelahiran atau menaikkan laju kematian atau keduanya disebut dengan resistensi lingkungan. Batas resistensi lingkungan terhadap kemampuan potensi biotik suatu populasi diberi lambang K (daya dukung lingkungan). Dengan menukarkan nilai K pada persamaan laju pertumbuhan populasi maka persamaan akan berkembang dan memberikan kurva pertumbuhan model logistik sederhana. Selanjutnya nilai K disebut dengan carriying capacity (daya dukung lingkungan). Yaitu jumlah kepadatan populasi yang dapat didukung oleh faktor lingkungan terbatas akibat adanya resistensi lingkungan. Hubungan antara potensi biotik, pertumbuhan logistik dan resistensi lingkungan.Penambahan jumlah individa ke dalam populasi secara tiba-tiba melebihi daya dukung menyebabkan kurva bentuk J pada kurva potensi biotik menjadi terputus secara tiba-tiba (overshoot). Jika kemampuan daya dukung hanya dibatasi oleh persediaan makanan. Pada kenyataannya populasi organisme berosilasi disekitar daya dukung (K). Sedangkan pada keadaan lingkungan yang terbatas, dimana populasi dibatasi oleh daya dukung lingkungan, sehingga ukuran populasi mempengaruhi laju pertumbuhan, dan laju pertumbuhan membentuk kurva sigmoid (S).

Pertumbuhan populasi hewan di alam dibedakan atas golongan yang mempunyai sifat satu kali berkembang biak dan beberapa kali berkembang biak.  Untuk itu maka pertumbuhan populasi organisme dibedakan atas dua golongan yaitu:
(a) Organisme dengan satu generasi (discret generation), dan
(b) Organisme dengan generasi lebih dari satu (continous generation).
Kondisi lingkungan terbatas, tingginya angka kepadatan menyebabkan angka kelahiran berkurang atau akan kematian akan meningkat dengan berbagai sebab (persaingan, penyakit etc). Model matematika sederhana turunnya laju pertumbuhan tersebut berbentuk linier, dengan asumsi bahwa adanya satu garis lurus yang menyatakan hubungan antara kepadatan dan angka perkembangbiakan. Dalam hal ini dengan bertambahnya kepadatan maka angka perkembangbiakannya akan semakin rendah. Laju reproduksi bersih (R0) sebagai fungsi linier dari kepadatan populasi (N) pada waktu (t).
Kurva pertumbuhan populasi pada lingkungan yang terbatas disebut kurva bentuk S (sigmoid). Pada kurva ini dikenal laju pertumbuhan pada (a) fase tersendat (lag phase), (b) fase menanjak naik (accelerating growth phase), (c) fase pertumbuhan melambat (decelerating growth phase) dan (d) periode keseimbangan (equilibrium period). Kurva Sigmoid berbeda dengan kurva geometrik (bentuk J) dalam dua hal yaitu: (1) kurva ini memiliki asimptot atas (kurva tidak melebihi titik maksimal tertentu), (2) kurva ini mendekati asimptot secara perlahan, tidak secara mendadak atau tajam. Laju pertumbuhan dapat dikurangi dengan penambaan individu baru dalam populasi, yang mengakibatkan pertambahan menjadi berkurang.


          Dari contoh tersebut di atas terlihat bahwa ada hubungan antara kepadatan populasi dengan laju pertambahan populasi sampai mencapai daya dukungnya. Semakin besar ukuran populasi (makin mendekati daya dukung) maka laju pertambahan populasinya semakin kecil walaupun laju pertambahan intirinsiknya tetap. Jadi laju pertumbuhan populasi pada linkungan yang terbatas dipengaruhi oleh ukuran populasi.

Model pertumbuhan populasi dan sejarah kehidupan, Model logistik memperkirakan laju pertumbuhan yang berbeda untuk populasi dengan kondisi kepadatan tinggi dan rendah relatif terhadap daya tampung lingkungan. Pada populasi dengan kepadatan itnggi, masing-masing individu memiliki sedikit sumberdaya yang tersedia dan populasi tersebut tumbuh secara lambat, atau bahkan berhenti sama sekali. Pada populasi dengan kepadatan rendah, keadaan yang berlawanan akan berlaku dimana sumberdaya berlimpah dan populasi tumbuh secara cepat. Selama akhir tahun 1960-an, ahli ekologi populasi Martin Cody memperkenalkan konsep bahwa adaptasi sejarah kehidupan yang berbeda akan lebih disukai pada kondisi - kondisi yang berbeda tersebut. Ia berpendapat bahwa pada kepadatan populasi yang tinggi, seleksi akan lebih menyukai adaptasi yang organismenya dapat bertahan hidup dan bereproduksi dengan sedikit sumberdaya. Dengan demikian, kemampuan bersaing dan efisiensi maksimum penggunaan sumberdaya lebih disukai pada populasi yang cenderung tetap berada pada atau di dekat daya tampungnya. Pada kepadatan populasi yang rendah, adaptasi yang meningkatkan reproduksi yang cepat, seperti peningkatan fekunditas dan kematangan lebih dini menjadi terseleksi. Laju reproduksi yang tingg, tanpa memperhitungkan efisiensi, lebih disukai pada kasus ini.

Karakteristik Populasi Ideal Terseleksi oleh-r (oportunistik) dan Terseleksi oleh-K (Kesetimbangan). Strategi sejarah kehidupan yang berbeda tersebut kadang masing-masing disebut sebagai sifat-sifat yang terseleksi oleh K dan terseleksi oleh r. Populasi terseleksi ole K (K-selected population) yang disebut juga populasi kesetimbangan (equilibrial population), adalah populasi yang cenderung akan hidup pada kepadatan populasi yang mendekati batas sumberdayanya (K atau daya tampung). Populasi terseleksi oleh-r (r-selected population), yang juga disebut populasi oportunistik (opportunistic population), kemungkinan besar akan ditemukan dalam lingkungan yang bervariasi, dimana kepadatan populasi berubah-ubah, atau dalam habitat terbuka di mana individu kemungkinan besar menghadapi sedikit persaingan.
KOMUNITAS

B. KOMUNITAS
Pengertian Komunitas
Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas memiliki derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu dan populasi.
Nama Komunitas
Nama komunitas harus dapat memberikan keterangan mengenai sifat-sifat komunitas tersebut. Cara yang paling sederhana, memberi nama itu dengan menggunakan kata-kata yang dapat menunjukkan bagaimana wujud komunitas seperti padang rumput, padang pasir, hutan jati.
Cara yang paling baik untuk menamakan komunitas itu adalah dengan mengambil beberapa sifat yang jelas dan mantap, baik hidup maupun tidak. Ringkasannya pemberian nama komunitas dapat berdasarkan :
1)                        Bentuk atau struktur utama seperti jenis dominan, bentuk hidup atau indikator lainnya seperti hutan pinus, hutan agathis, hutan jati, atau hutan Dipterocarphaceae, dapat juga berdasarkan sifat tumbuhan dominan seperti hutan sklerofil.
2)                        Berdasarkan habitat fisik dari komunitas, seperti komunitas hamparan lumpur, komunitas pantai pasir, komunitas lautan dan lain –lain.
3)                        Berdasarkan sifat-sifat atau tanda-tanda fungsional misalnya tipe metabolisme komunitas. Berdasarkan sifat lingkungan alam seperti iklim, misalnya terdapat di daerah tropik dengan curah hujan yang terbagi rata sepanjang tahun, maka disebut hutan hujan tropik.

Macam-macam Komunitas
 Di alam terdapat bermacam-macam komunitas yang secara garis besar dapat dibagi dalam dua bagian yaitu:
(1)          Komunitas akuatik komunitas ini misalnya yang terdapat di laut, di danau, di sungai, di parit atau di kolam
(2)          Komunitas terrestrial, yaitu kelompok organisme yang terdapat di pekarangan, di hutan, di padang rumput, di padang pasir, dan lain – lain.

Struktur Komunitas
Karakter komunitas 
1)      Kualitatif, seperti komposisi, bentuk hidup, fenologi dan vitalitas. Vitalitas menggambarkan kapasitas pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme.
2)      Kuantitatif, seperti Frekuensi, densitas dan densitas relatif. Frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies di dalam suatu habitat. Densitas (kepadatan) dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per unit contoh, atau persatuan luas/volume, atau persatuan penangkapan.
3)      Sintesis adalah proses perubahan dalam komunitas yang berlangsung menuju ke satu arah yang berlangsung lambat secara teratur pasti terarah dan dapat diramalkan. Suksesi-suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitasnya dan memerlukan waktu. Proses ini berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem yang disebut klimas. Dalam tingkat ini komunitas sudah mengalami homoestosis. Menurut konsep mutahir suksesi merupakan pergantian jenis-jenis pioner oleh jenis-jenis yang lebih mantap yang sangat sesuai dengan lingkungannya.

Suksesi dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1)      Suksesi primer yaitu bila ekosistem mengalami gangguan yang berat sekali, sehingga komunitas awal (yang ada) menjadi hilang atau rusak total, menyebabkan ditempat tersebut tidak ada lagi yang tertinggal dan akhirnya terjadilah habitat baru.
2)      Suksesi sekunder yaitu prosesnya sama dengan yang terjadi pada suksesi primer, perbedaannya adalah pada keadaan kerusakan ekosistem atau kondisi awal pada habitatnya. Ekologi tersebut mengalami gangguan, akan tetapi tidak total, masih ada komunitas yang tersisa.


INTERAKSI 
Dalam komunitas, semua organisme merupakan bagian dari komunitas dan antara komponennya saling berhubungan melalui keragaman interaksinya. Interaksi antarkomponen ekologi dapat merupakan interaksi antarorganisme, antarpopulasi, dan antarkomunitas.

1.    Interaksi antar organisme
Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari populasi lain. Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita. Interaksi antar organisme dalam komunitas ada yang sangat erat dan ada yang kurang erat. Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan sebagai berikut.
1)                 Netral adalah hubungan tidak saling mengganggu antarorganisme dalam habitat yang sama yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan kedua belah pihak, disebut netral. Contohnya : antara capung dan sapi.
2)                 Predasi adalah hubungan antara mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup. Sebaliknya, predator juga berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa. Contoh : Singa dengan mangsanya, yaitu kijang, rusa,dan burung hantu dengan tikus.
3)                 Parasitisme adalah hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, bilasalah satu
organisme hidup pada organisme lain dan mengambil makanan dari hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan inangnya. Contoh : Plasmodium dengan manusia, taeniasaginata dengan sapi, dan benalu dengan pohon inang. 
4)                 Komensalisme adalah merupakan hubunganantara dua organisme yang berbeda
spesies dalam bentuk kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan; salah satu spesies diuntungkan dan spesies lainnya tidak dirugikan. Contohnya anggrek dengan pohon yang ditumpanginya.
5)                 Mutualisme adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies yang
saling menguntungkan kedua belah pihak. Contoh, bakteri Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-kacangan.


2.    Interaksi Antarpopulasi
Antara populasi yang satu dengan populasi lain selalu terjadi interaksi secara langsung atau tidak langsung dalam komunitasnya. Contoh interaksi antarpopulasi adalah sebagai berikut. Alelopati merupakan interaksi antarpopulasi, bila populasi yang satu menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik. Pada mikroorganisme istilah alelopati dikenal sebagai anabiosa. Contoh, jamur Penicillium sp dapat menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu. Kompetisi merupakan interaksi antarpopulasi, bila antarpopulasi terdapat kepentingan yang sama sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan apa yang diperlukan. Contoh, persaingan antara populasi kambing dengan populasi sapi di padang rumput.

3. Interaksi Antar Komunitas
Komunitas adalah kumpulan populasi yang berbeda di suatu daerah yang sama dan saling berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacam-macam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma. Komunitas sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi interaksi dalam bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran organisme hidup dari kedua komunitas tersebut.
          Interaksi antarkomunitas cukup komplek karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga aliran energi dan makanan. Interaksi antarkomunitas dapat kita amati, misalnya pada daur karbon. Daur karbon melibatkan ekosistem yang berbeda misalnya laut dan darat.

4. Interaksi Antarkomponen Biotik dengan Abiotik
Interaksi antara komponen biotik dengan abiotik membentuk ekosistem. Hubunganantara organisme dengan lingkungannya menyebabkan terjadinya aliran energi dalam sistem itu. Selain aliran energi, di dalam ekosistem terdapat juga struktur atau tingkat trofik, keanekaragaman biotik, serta siklus materi.  Dengan adanya interaksi-interaksi tersebut, suatu ekosistem dapat mempertahankan keseimbangannya. Pengaturan untuk menjamin terjadinya keseimbangan ini merupakan ciri khas suatu ekosistem. Apabila keseimbangan ini tidak diperoleh maka akan mendorong terjadinya dinamika perubahan ekosistem untuk mencapai keseimbangan baru.


STRUKTUR KOMUNITAS
A.    Karakter komunitas 
1.      Kualitatif, seperti komposisi, bentuk hidup, fenologi dan vitalitas. Vitalitas menggambarkan kapasitas pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme.
2.      Kuantitatif, seperti Frekuensi, densitas dan densitas relatif. Frekuensi kehadiran
merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies di dalam suatu habitat. Jumlah unit contoh di mana sp.
A ditemukan FK A = --------------------------------------------------------- x 100% Jumlah semua unit contoh.
Apabila FK = 0%-25% : Kehadiran sangat jarang (aksidental)
FK = 25%-50% : Kahadiran jarang (assesori)
FK = 50%-75% : Kehadiran sedang (konstan)
FK = 75%-100% : Kehadiran absolut
Jumlah individu jenis AK jenis A = ---------------------------------------- x 100 % Σ unit contoh/luas/volume. Densitas (kepadatan) dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per unit contoh, atau persatuan luas/volume, atau persatuan penangkapan.
3.
Sintesis, seperti kehadiran dan konstansi, fidelitas, dominansi, indeks diversitas, indeks similiaritas dan sebagainya. Dalam analisa komunitas, dikenal istilah keanekaragaman spesies. Dalam menentukan indeks keragaman tersebut, ada beberapa metode analisa yang dapat digunakan, antara lain Indeks Margalelef, Indeks Simpson, Indeks Menhenick, Indeks Brillouin, dan Indeks Shanon. Sedangkan indeks similiaritas biasanya dianalisa dengan indeks equitabilitas (e) dengan nilai kisaran antara 0-1. 

Ada tujuh faktor yang mempengaruhi keanekaragaman spesies, yaitu :
1. Heterogenitas habitat
2. kompetisis
3. ekologi lingkungan
4. predasi
5. stabilitas lingkungan
6. habitat yang produktif
7. waktu
DESKRIPSI DAN ANALISIS VEGETASI FLORISTIKA DAN NON FLORISTIKA

Vegetasi di definisikan sebagai mosaik komunitas tumbuhan dalam lansekap dan vegetasi alami diartikan sebagai vegetasi yang terdapat dalam lansekep yang belum dipengaruhi oleh manusia (Kuchler, 1967). Ilmu vegetasi sudah dimulai hampir tiga abad yang lalu. Mula-mula kegiatan utama yang dilakukan lebih diarahkan pada diskripsi dari tentang alam dan vegetasinya. Dalam abad ke XX usaha-usaha diarahkan untuk menyederhanakan eskripsi dari vegetasi dengan tujuan untuk untuk meningkatkan keakuratan dan untuk mendapatkan standart dasar dalam evaluasi secara kuantitaif. Berbagai metode analisis vegetasi dikembangkan, dengan penjabaran data secara detail melalui cara coding dan tabulasi. Berbagai metode yang digemari dan banyak diterima oleh banyak pakar adalah dari Raun kiaer (1913, 1918), Clements (1905, 1916), Du Rietz (1921, 1930), Braun (1915), dan Braun Bienquet (1928). Deskripsi umum dari vegetasi dan komunitas tumbuhan melalui bentuk hidup dan species dominan adalah tekanan pada zaman yang telah lalu.
Indonesia membentang sepanjang lebih dari 5000 km dari barat sampai ke timur dan luasan lahannya mencakup anekaragam Vegetasi lahan kering dan rawa. Penelaahan biologi, termasuk penelitian Vegetasi di Indonesia belum terlalu banyak, baru kulitnya saja, meskipun telah dimulai sejak permulaan abad ke-18. Uraian sejarah penelitian yang dilaksanakan sebelum tahun 1945 disarikan dalam buku Science and Scientists in Netherlands Indies (Honig and Verdoorn, 1945) dan kemudian Chronica Naturae, volume 106 (6) pada 1950. Penelitian Vegetasi dan ekologi, termasuk ekologi tumbuhan, terutama menyangkut eksplorasi flora dan fauna serta inventarisasi, pertelaan berdasarkan pengamatan visual, peri kehidupan, dan sampai tingkat tertentu faktor ekologi. Banyak hasil penelitian ini diterbitkan dalam jurnal ilmiah yang terbit di Indonesia, antara lain Tropische Natuur, Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, Treubia, Bulletin du Jardin Botanique de Buitenzorg, dan Annales du Jardin Botanique de Buitenzorg
Di Indonesia Perkembangan penelitian Vegetasi sampai tahun 1980 telah dilaporkan oleh Kartawinata (1990), yang mengevaluasi pustaka yang ada mengenai Vegetasi dan ekologi tumbuhan di Indonesia, menunjukkan bahwa bidang ini belum banyak diteliti. Banyak dari informasi tentang ekologi tumbuhan dalam berbagai pustaka seperti serie buku Ekologi Indonesia (misalnya MacKinnon dkk., 1996 dan Whitten dkk.,1984) berdasarkan berbagai penelitian di Malaysia. Berbagai penelitian sebagian besar terfokus pada ekosistem hutan, terutama hutan pamah dipterokarp (lowland dipterocarp). Sebagian besar informasi untuk kawasan fitogeografi Malesia (Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste) telah disintesis oleh Whitmore (1984) dalam bukunya Tropical Rain Forests of the Far East. Data vegetasi biogeografi dan ekologi tentang Papua New Guinea (misalnya Paijmans, 1976; Gressitt, 1982; Johns, 1985, 1987a,b; Brouns, 1987; Grubb dan Stevens 1985) dapat diterapkan untuk papua.



Analisis vegetasi
Para pakar ekologi memandang vegetasi sebagai salah satu komponen dari ekosistem, yang dapat menggambarkan pengaruh dari kondisi-kondisi faktor lingkungn dari sejarah dan pada fackor-faktor itu mudah diukur dan nyata. Dengan demikian analisis vegetasi secara hati-hati dipakai sebagai alat untuk memperlihatkan informasi yang berguna tentang komponen-komponen lainnya dari suatu ekosistem.
Ada dua fase dalam kajian vegetasi ini, yaitu mendiskripsikan dan menganalisa, yang masing-masing menghasilkan berbagi konsep pendekatan yang berlainan.Metode manapun yang dipilih yang penting adalah harus disesuaikan dengan tujuan kajian, luas atau sempitnya yang ingin diungkapkan, keahlian dalam bidang botani dari pelaksana (dalam hal ini adalah pengetahuan dalam sistimatik), dan variasi vegetasi secara alami itu sendiri (Webb, 1954).
Pakar ekologi dalam pengetahuan yang memadai tentang sistematik tumbuhan berkecenderungan untuk melakukan pendekatan sacara florestika dalam mengungkapkan suatu vegetasi, yaitu berupa komposisi dan struktur tumbuhan pembntuk vegetasi tersebut.
Pendekatan kajianpun sangat tergantung kepada permasalahan apakah bersifat autekologi atau sinetologi, dan juga apakah menyangkut masalah produktivitas atau hubungan sebab akibat. Pakar autelogi biasanya memerlukan pengetahuan tentang kekerapan atau penampakan dari suatu species tumbuhan, sedangkan pakar senitologi berkepentingan dengan komunitas yaitu problema yang dihadapi sehubungan dengan keterkaitan antara alam dengan variasi vegetasi.Pakar rkologi produktivitas memerlukan data tentang berat kering dan kandungan kalori yang dalam melakukannya sangat menyita waktu dan juga bersifat destruktif.
Deskripsi vegetasi juga memerlukan bagian yang integral dengan kegiatan survey smber daya alam, misalnya sehubungan dengan investarisasi kayu untuk balok dihutan,dan menelaah kapasitas tamping suatu lahan untuk sutu tujuan ternak atau penggembalaan.pakar, tanah, dan sedikit banyak pakar geologi dan pakar iklim tertarik dengan vegetasi sebagai ekspresi dari factor – factor yang mereka pelajari.
Kehutanan memerlukan penelaahan tentang komposisi spesies tumbuhan sebagai penunjuk (indicator) potensi dari tapak sebagai bahan bantu dalam menentukan jenis kayu yang ditanam. Dalam mendiskripsikan suatu vegetasi haruslah dimulai dari suatu titik pandang bahwa vegetasi merupakan suatu pengelompokan dari tubuh – tumbuhan yang hidup bersama dialam suatu tempat tertentu yang mungkin dikarakterisasi baik oleh spesies sebagai komponennya, maupun oleh kombinasi dari struktur dan fungsi sifat – sifatnya yang mengkarekterisasi gambaran vegetasi secara umum atau fisiognomi.
Metode dengan pendekatan secara fisignomi tidak memerlukan identifikasi dari species dan sering lebih berarti hasilnya untuk gambaran vegetasi dengan skala kecil (area yang luas),atau untuk gambaran habitat bagi disiplin ilmu lainnya.misalnya pakar hewan menghendaki deskripsi vegetasi yang dapat dipakai untuk menggambarkan relung atau nisia,habitat dan sumber pakan untuk hewan.
Metode berdasarkan komposisi atau floristika species lebih bermanfaat untuk menggambarkan vegetasi engan skala besar ( area yang sempit )yang lebih detail,yang biasannya dipergunakan oleh pakar dieropa daratan dalam klasifikasi vegtasi dan pemetaan pada skala yang besar dan sangat rinci.
Beberapa metode analisis vegetasi, dalam ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai metode untuk menganalisis suatu vegetasi yang sangat membantu dalam mendekripsikan suatu vegetasi sesuai dengan tujuannya. Dalam hal ini suatu metodologi sangat berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan dalam bidang-bidang pengetahuan lainnya, tetapi tetap harus diperhitungkan berbagai kendala yang ada (Syafei, 1990).
Metodologi-metodologi yang umum dan sangat efektif serta efisien jika digunakan untuk penelitian, yaitu metode kuadrat, metode garis, metode tanpa plot dan metode kwarter. Akan tetapi dalam praktikum kali ini hanya menitik beratkan pada penggunaan analisis dengan metode garis dan metode intersepsi titik (metode tanpa plot) (Syafei, 1990).
Metode garis merupakan suatu metode yang menggunakan cuplikan berupa garis. Penggunaan metode ini pada vegetasi hutan sangat bergantung pada kompleksitas hutan tersebut. Dalam hal ini, apabila vegetasi sederhana maka garis yang digunakan akan semakin pendek. Untuk hutan, biasanya panjang garis yang digunakan sekitar 50 m-100 m. sedangkan untuk vegetasi semak belukar, garis yang digunakan cukup 5 m-10 m. Apabila metode ini digunakan pada vegetasi yang lebih sederhana, maka garis yang digunakan cukup 1 m (Syafei, 1990).
Pada metode garis ini, system analisis melalui variable-variabel kerapatan, kerimbunan, dan frekuensi yang selanjutnya menentukan INP (indeks nilai penting) yang akan digunakan untuk memberi nama sebuah vegetasi. Kerapatan dinyatakan sebagai jumlah individu sejenis yang terlewati oleh garis. Kerimbunan ditentukan berdasar panjang garis yang tertutup oleh individu tumbuhan, dan dapat merupakan prosentase perbandingan panjang penutupan garis yang terlewat oleh individu tumbuhan terhadap garis yang dibuat (Syafei, 1990). Frekuensi diperoleh berdasarkan kekerapan suatu spesies yang ditemukan pada setiap garis yang disebar (Rohman, 2001).
Sedangkan metode intersepsi titik merupakan suatu metode analisis vegetasi dengan menggunakan cuplikan berupa titik. Pada metode ini tumbuhan yang dapat dianalisis hanya satu tumbuhan yang benar-benar terletak pada titik-titik yang disebar atau yang diproyeksikan mengenai titik-titik tersebut. Dalam menggunakan metode ini variable-variabel yang digunakan adalah kerapatan, dominansi, dan frekuensi (Rohman, 2001).




Selain menggunakan kedua metode di atas namun, secara garis besar metode analisis dalam ilmu vegetasi dapat dikelompokkan dalam dua perbedaan yang prinsip, yaitu:
a. Metode diskripsi dan
b. Metode non diskripsi
Metode destruktif, metode ini biasanya dilakukan untuk memahami jumlah materiorganik yang dapat dihasilkan oleh suatu komunitas tumbuhan. Variable yang dipakai bisa diproduktivitas primer, maupun biomasa. Dengan demikian dalam pendekatan selalu harus dilakukan penuain atau berarti melakukan perusakan terhadap vegetasi tersebut.
Metode ini umumnya dilakukan untu bentuk bentuk vegetasi yang sederhana, dengan ukuran luas pencuplikan antara satu meter persegi sampai lima meter persegi. Penimbangan bisa didasarkan pada berat segar materi hidup atau berat keringnya. Metode ini sangant membantu dalam menentukan kualitas suatu padang rumput denan usaha pencairan lahan penggembalaan dan sekaligus menentukan kapasitas tampungnya. Pendekatan yang terbaik untuk metode ini adalah secara floristika, yaitu didasarkan pada pengetahuan taksonomi tumbuhan.

Metode non-destruktif
Metode ini dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu berdasarkan penelaahan organism hidup/tumbuhan tidak didasarkan pada taksonominya,sehingga dikenal dengan pendekatan lainnya adalah didasarkan pada penelaahan organisma tumbuhan secara taksonomi atau pendekatan floristika.
Metode non-destruktif,non-floristika
Metode non-floristiaka tealah dikembangkan oleh banyak pakar vegetasi. Seperti DuRietz (1931), Raunkiaer (1934), dan Dansereau (1951). Yang kemudian diekspresiakan oleh Eiten (1968) dan Unesco (1973). Danserau membagi dunia tumbuhan berdasarkan berbagai hal, yaitu bentuk hidup, ukuran, fungsi daun, bentuk dan ukuran daun, tekstur daun, dan penutupan. Untuk setiap karakteristika di bagi-bagi lagi dalam sifat yang kebih rinci, yang pengungkapannya dinyatakan dalam bentuk simbol huruf dan gambar.
Bentuk hidup metode ini, klasifikasi bentuk vegetasi, biasanya dipergunakan dalam pembuatan peta vegetasi dengan skalakecil sampai sedang, dengan tujuan untuk menggambarkan penyebaran vegetasi berdasarkan penutupannya, dan juga masukan bagi disiplin ilmu yang lainnya (Syafei,1990).
Metode telah banyak dikembangkan oleh berbagai pakar ilmu vegetsi, seperti Du Rietz (1931) ; Raunkiaer (1934) dan Dansereau (1951). Yang kemudian diekspresikan juga dengan cara lain oleh Eiten (1968) dan UNESCO (1973).

Untuk memahami metode non floristika sebaiknya kita kaj dasar-dasar pemikiran dari beberapa pakar tadi. Pada prinsipnya mereka berusaha mengungkapkan vegetasi berdasarkan bentuk hidupnya, jadi pembagian dunia tumbuhan secara taksonomi sama aekali diabaikan, mereka membuat klasifikasi tersendiri dengan dasar-dasar tertentu.

Sistem Klasifikasi dan Bentuk hidup
Klasifikasi sistematis pada masyarakat tumbuhan menerima suatu daya dorong khusus melalui Braun-Blanquet, yang mengkombinasikan banyak inisiasi dari para pendahulunya kedalam suatu rencana yang meyakinkan. Sistem phytosociology-nya (1928,1932) diterima sangat baik di seluruh dunia, dan telah mempengaruhi pengembangan Ilmu pengetahuan Tumbuh-Tumbuhan Eropa dalam beberapa dekade. Hirarki unit sistemat isnya sengaja dipolakan setelah pengetahuan vegetasi akan menemukan suatu akhir dalam penetapan, penamaan, dan penerapan seperti classcategories terpadu. 
Kecenderungan ini tidak sesuai dengan niat asli Braun-Blanquet. Di dalam cetakan pertama buku terkenalnya, ia mengabdikan lebih dari separuh ruang untuk ekologi didalam pengert ian yang sesuai, yaitu untuk hubungan fungsional dan hubungan sebab akibat. Hubungan masyarakat tumbuhan pada habitatnya menjadi penekanan oleh banyak pengarang. seperti Unger (1836), Sendtner (1854) Drude (1896), Warming (1909), Schimper (1898), Schroter (1904), dan banyak orang yang lain.
Beberapa dari mereka, khususnya Warming Dan Drude (1913), membuat hubungan lingkungan, dasar studi vegetasi-nya. Mereka juga mengembangankan sistem klasif ikasi tumbuhan menurut lingkungannya. Ilmu pengetahuan Tumbuh-Tumbuhan menjadi suatu cabang ekologi yang penting di sekitar peralihan abad itu. Pemahaman ini menjadikan definisi ekologi dikenal dan ditafsirkan dalam semua negara-negara yang berbahasa Inggris. 
Saat ini, kecenderungan nampak mempengaruhi arah dari studi-studi hubungan lingkungan. Penggunaan dari kriteria lingkungan untuk mencirikan masyarakat tumbuhan menjadi lebih umum, dan usaha hingga mencapai suatu sintesis tentang floristic dan perlakuan ekologi vegetasi (Krajina 1969, Daubenniire 1968). Penekanan tertentu diberikan untuk menjelaskan penelitian ekologi pada komunitas tunggal.(Odum 1959, Ovington 1962).
Bersamaan dengan ini terjadi suatu perubahan pent ing dalam metoda - metoda sepanjang dekade terakhir. Pengarang yang lebih awal bekerja sebagian besar secara deduktif dan menggambarkan ekologis mereka dan bahkan kesimpulan fisiologis dari perbandingan pengamatan di lapangan, tanpa mencoba untuk mendukungnya dengan eksperimen. Berlainan dengan penyelidik modern yang bekerja secara induktif dan menggunakan eksperimen untuk meningkatkan ketelit ian dari kesimpulan mereka.



Analisis kuantitatif komunitas
Konsep komnitas termasuk konsep tertua dalam ekologi.pada tahun 1844 Edward Forbes, dosen botani pada kings college, London, mempelajari distribusi binatang laut di laut Aegean. Dia menyimpulkan adanya delapan daerah kedalaman yang dibdakan satu sama lain oleh kelompok spesies yang ada di dalamnya( kormondy, 1965) kemudian karl mobius (1877),ahli tidak hanya didiami oleh tiram sendiri, tetapi didiami binatang – binatang lain.                    
Setiap tempat tinggal merupakan suatu kehidupan dimana sejumlah spesies dan individu – individu satu sama lain dibatasi, dan selanjtnya terjadi seleksi dan pemilikan teitori tertentu.ruang dan makanan merupakan kebutuhan pertma setiap komunitas social. Berdasarkan alas an ini, Eugene warming (1909), ahli botani Denmark, menyimpulkan spesies tertentu bahwa membentuk kelompok alami,dengan kata lain membentuk kelompok alami,dengan kata lain membentuk komonitas, yang memperlihatkan kombinasi bentuk pertumbuhan.

Diskontinyuitas relative
Komunias komunitas tanaman digunakan sebagai model organisassi komunitas. Banyak ekolog membuktikan bahwa pada bbeberapa keadaan, vegetasi membuntuk continuum, pada keadaan yang lain vegetasi membentuk komunitas yang berbeda dan sebagian besar vegetasi berada dimana mana diantara kondisi tersebut. Yang peril di peranyakan adalah: factor factor apa yang menentukan kontyutas vegetasi (beals, 1969). Beals mengAjukan hipotesa bahwa kontinyutas komunitas merupakan fungsi kontinyutas lingkungan. Jika gradient tajam atau curam, komposisi komunitas bisa berubah secara perahan, komposisi komunitas juga akan berubah secara perlahan.
Banyak ekolog eropa menggunakan metiode semi komunikatf untuk mengklsifikasikan komunitas. Metode ini diberi nama sesuai denga penemunya yaitu braun-blantquet (1951).daftar spesies dari sejumlah tegakan kemudian digunakan untuk menetukan ketetapan yaitu proporsi spesies yang ada ddiseluruh tegakan. Satua dari klasifikasi adalah pencampuran, sutu abstaksi yang terdaftar dari spesies yang beraal dari banyak tempat.
Spesies dengan constancy intermediate (sedang) digunakan untuk menentukan percampuran, karena baik spesies tersebut ada disetiap tempat maupun hanya ada pada sedikit tempat, tidak berguna untuk pemisahan tipe tipe komunitas (muller-dombis dan ellenberg,1974). Kebenaran spesies ( a spesies fidelity) penting sekali dalam menentukan percampuran. Spesies yang bisa dipercaya (faithful spesies), terbatas pada tipe komunitas tertentu dan digunakan untuk mendiaknosa komunitas.







Selain itu untuk menentukan apakah suatu spesies cenderung berada bersama beberapa spesies dan tidak ada dengan kehadiran spesies lainya, maka Agmew (1961) mencatat kehadiran spesies di 99 paya (marsh) di North Wales. Tanaman utama dalam paya yang dijadikan sampel adalah gelaga (rush), Juncus efufus.Keberadaan spesies yang kurang dari 5 kali, dihilangkan sehingga tingal 53 spesies yang dihitung nilai X2 nya.Di dalam paya-paya, beberapa spesies yang bercampur secara positif dan negativ.

Pencampuran positif dihasilkan jika spesies terjadi dalam komunitas secara bersamaan dan tidak terjadi tanpa kehadiran spesies lainnya. Pencampuran negatif dihasilkan jika spesies tidak terjadi bersamaan. Dia tidak menggunakan spesies yang hanya memiliki satu kali pencampuran dari 20 kali pencampuran.

        Analisa ini menggunakan bahwa kelompok spesies bercampur dengan spesies lainyya. Dan menunjukan adanya sekelompok spesies tertentu yang cenderung berada bersama-sama di payau tersebut dan tipe komunitas tersebut dapat dikenali dengan metode yang obyektif. Akan tetapi, tidak satupun dari kelompok tersebut terisolasi secara sempurna terhadap kelompok lain, bermacam – macam spesies berhubungan di antara kelompok tersebut.













EKOSISTEM


C.      EKOSISTEM
Pengertian ekosistem
Ekosistem merupakan satuan fungsional dasar yang menyangkut proses interaksi organisme hidup dengan lingkungan mereka. Istilah tersebut pada mulanya diperkenalkan oleh A.G.Tansley pada tahun 1935. Sebelumnya, telah digrrnakan istilah-istilah lain, yairu biocoenosis, dan mikrokosmos.
Setiap ekosistem memiliki enam komponen yaitu produsen, makrokonsumen, mikrokonsumen, bahan anorganik, bahan organik, dan kisaran iklim. Perbedaan antar ekosistem hanya pada unsur-unsur penyusun masing-masing komponen tersebut. Masing-masing komponen ekosistem mempunyai peranan dan mereka saling terkait dalam melaksanakan proses-proses dalam ekosistem. Proses-proses dalam ekosistem meliputi aliran energi, rantai makanan, pola keanekaragaman, siklus materi, perkembangan, dan pengendalian.
Setiap ekosistem rnampu mengendalikan dirinya sendiri, dan mampu menangkal setiap gangguan terhadapnya. Kemampuan ini disebut homeostasis. Tetapi kemampuan ini ada batasnya. Bilamana batas kemampuan tersebut dilampaui, ekosistem akan mengalami gangguan. Pencemaran lingkungan merupakan salah satu bentuk gangguan ekosistem akibat terlampauinya kemampuan homeostasis.

ENERGI DALAM EKOSISTEM
Aliran Energi dan Rantai Makanan
1) Dikenal adanya dua hukum termodinamika, yaitu
1)  Bahwa energi dapat berubah bentuk, tidak dapat dimusnahkan serta diciptakan.
2) Bahwa tidak ada perubahan bentuk energi yang efisien.
2) Aliran energi di alam atau ekosistem tunduk kepada hukum-hukum termodinamika tersebut. Dengan proses fotosintesis energi cahaya matahari ditangkap oleh tumbuhan, dan diubah menjadi energi kimia atau makanan yang disimpan di dalam tubuh tumbuhan.

3) Proses aliran energi berlangsung dengan adanya proses rantai makanan. Tumbuhan dimakan oleh herbivora, dengan demikian energi makanan dari tumbuhan mengalir masuk ke tubuh herbivora. Herbivora dimakan oleh karnivora, sehingga energi makanan dari herbivora masuk ke tubuh karnivora.
4) Di alam rantai makanan itu tidak sederhana, tetapi ada banyak, satu dengan yang lain saling terkait atau berhubungan sehingga membentuk jaring-jaring makanan. Organisme-organisme yang memperoleh energi makanan dari tumbuhan dengan jumlah langkah yang sama dimasukkan ke dalam aras trofik yang sama.
5) Makin tinggi aras trofiknya, makin tinggi pula efisiensi ekologinya.

Konsep Produktivitas :
1) Produktivitas primer merupakan laju penambatan energi yang dilakukan oleh produsen. Produktivitas primer dibedakan atas produktivitas primer kasar (bruto) yang merupakan hasil asimilasi total, dan produktivitas primer bersih (neto) yang merupakan penyimpanan energi di dalam jaringan tubuh tumbuhan. Produktivitas primer bersih ini juga adalah produktivitas kasar dikurangi dengan energi yang digunakan untuk respirasi.
2) Produktivitas sekunder merupakan laju penambatan energi yang dilakukan oleh konsumen. Pada produktivitas sekunder ini tidak dibedakan atas produktivitas kasar dan bersih. Produktivitas sekunder pada dasamya adalah asimilasi pada aras atau tingkatan konsumen.
3) Laju produktivitas akan tinggi bilamana faktor-faktor lingkungan cocok atau optimal. Pemberian bantuan energi dari luar atau subsidi energi juga dapat meningkatkan produktivitas. Subsidi energi banyak dilakukan oleh manusia terhadap ekosistem pertanian, yang dapat berupa pemberian pupuk, irigasi, pengendalian hama, pengolahan tanah. Subsidi energi juga dapat terjadi secara alami, misalnya berupa ombak di lautan, pasang naik dan surut di pantai, hujan di daratan, angin, dan lain lain.
4) Produktivitas atau produksi berbeda dengan hasil panen. Produktivitas atau produksi adalah sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Produksi pada pertanian sebetulnya adalah hasil panen. Hasil panen adalah bagian dari produktivitas primer bersih yang diambil/dimanfaatkan oleh manusia. Pada dasarnya alam akan memaksimalkan produktivitas bruto, sedangkan manusia berupaya memaksimalkan produktivitas bersih, sehingga manusia dapat memaksimalkan hasil panen. Manusia juga memerlukan produktivitas sekunder. Dari produktivitas sekunder, manusia juga dapat memperoleh hasil panen yang dapat berupa daging, telur, atau susu.
5) Pengukuran produktivitas primer pada umumnya didasarkan pada reaksi fotosintesis. Beberapa metode pengukuran produktivitas primer adalah: metode panen yang cocok untuk ekosistem pertanian; pengukuran oksigen, misalnya dengan metode botol gelap dan botol terang, untuk ekosistem perairan; metode pH, yang cocok untuk ekosistem perairan; metode klorofil, yang pada dasamya adalah mengukur kadar klorofil; metode radioaktif; dan metode CO2
Pola dan Tipe Dasar Siklus Biogeokimia
1) Pada dasarnya semua unsur kimia di alam akan mengalami sirkulasi, yaitu dari bentuk yang berada di dalam lingkungan (anasir abiotik) menuju ke dalam bentuk yang berada di dalam organisme (anasir biotik), dan kemudian kembali lagi ke lingkungan. Proses ini disebut sebagai siklus atau daur ulang biogeokimiawi, atau siklus materi.
2) Secara struktural setiap siklus materi terdiri dari bagian cadangan dan bagian yang mengalami pertukaran. Di dalam bagian cadangan, unsur kimia tersebut akan terikat dan sulit bergerak, atau pergerakannya lambat. Di dalam bagian pertukaran, unsur kimia tersebut aktif bergerak atau mengalami pertukaran. siklus materi dibedakan atas dua tipe, yaitu tipe gas dan tipe sidimeter.
3) Siklus nitrogen merupakan salah satu siklus materi tipe gas. Bagian cadangannya terdapat di dalam atmosfer. sedangkan siklus fosfor merupakan contoh siklus materi tipe sedimenter. Bagian cadangan siklus fosfor terdapat di dalam tanah atau kerak bumi dan sukar terlarut, sehingga siklus ini mudah terganggu.
4) Dalam siklus nitrogen, fosfor maupun belerang, terdapat organisme-organisme yang mempunyai peranan penting untuk berlangsungnya siklus tersebut, misalnya organisme penambat nitrogen bebas. Pengetahuan mengenai peranan organisme dalam siklus materi dapat dimanfaatkan manusia, misalnya dalam bidang pertanian.
5) Siklus materi yang satu dengan yang lain dapat saling terkait atau mempengaruhi. Hal ini dapat dilihat misalnya pada siklus belerang.
6) Aktivitas manusia juga dapat mempengaruhi siklus materi. Sebagai contohnya adalah kegiatan pabrik dan mesin-mesin kendaraan bermotor dapat meningkatkan kandungan senyawa-senyawa oksidasi beterang, dan oksida nitrogen di udara.
Siklus Karbondioksida dan siklus Hidrologi
1) Daur ulang karbondioksida mempunyai arti yang penting bagi manusia, dan sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Siklus ini merupakan siklus materi tipe gas, dimana pergerakan karbondioksida di udara sangat cepat, serta mempunyai dampak global. Meningkatnya pembakaran bahan bakar fosil terutama yang dilakukan dalam industri (pabrik-pabrik) dan yang terjadi pada kegiatan transportasi (kendaraan bermotor) akan meningkatkan pelepasan CO2 ke atmosfer. Kegiatan agro-industri temyata tidak mampu mengabsorbsi kembali CO2 yang di lepas ke atmosfer, sebab kegiatan pengelolaan tanah juga melepas CO2 ke atmosfer.
2) Seperti halnya siklus karbondioksida, siklus hidrologi juga merupakan siklus tipe gas, dan mendapat perhatian yang besar karena mempunyai arti yang penting bagi manusia.
3) Hujan merupakan faktor pendorong utama siklus hidrologi (air). Di atmosfer, air berupa uap air, awan, atau butiran es. Hujan yang turun sebagian besar akan masuk ke laut dan sebagian lagi masuk ke daratan. Air yang masuk ke daratan dapat ditangkap oleh tumbuhan dan tanah. Air yang dapat ditangkap oleh tanah berupa air tanah, dan air tanah inilah yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, misalnya berupa mata air, sungai, dan danau. Kembalinya air ke atmosfer adalah melalui penguapan dari laut, dan evapotranspirasi dari daratan. Penguapan yang terbesar adalah dari laut.
4) Adanya vegetasi menyebabkan kemampuan menangkap atau menyimpan air oleh ekosistem daratan lebih besar. Tebang habis hutan menyebabkan air limpasan permukaan lebih besar, infiltrasi air ke dalam tanah berkurang, erosi makin hebat, dan mengakibatkan hara yang keluar makin banyak.
5) Ada perbedaan yang cukup penting antara siklus materi di daerah iklim sedang dengan yang di daerah tropis. Di daerah tropis, serasah arau bangkai cepat diuraikan oleh organisme pengurai, sehingga lantai hutan tropika hanya mempunyai lapisan serasah yang sangat tipis. Unsur hara yang dibebaskan segera dimanfaatkan oleh tumbuhan. Hal ini terjadi karena suhu yang hangat dan lembab, merupakan kondisi yang optimum bagi metabolisme organisme. Di daerah iklim sedang, suhu lebih dingin terhenti, sehingga serasah pada lantai hutan tebal. unsur hara sebagian besar akan berada dalam tanah. perbedaan ini perlu mendapatkan perhatian, sehingga pengelolaan ekosistem di daerah tropis tidak sekedar meniru dari negara-negara iklim sedang.
6) Studi-studi kuantitatif siklus biogeokimiawi mempunyai arti yang penting. Dengan studi semacam itu maka dapat diketahui anggaran atau tersedianya hara di dalam suatu ekosistem.
Hukum minimum Leibig dan Hukum Toleransi
Suatu organisme untuk dapat bertahan dan hidup di dalam keadaan tertentu, harus memiliki bahan-bahan penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan-biakkannya. Keperluan-keperluan dasar ini bervariasi antara jenis dengan keadaan tertentu. Apabila keperluan mendasar ini hanya tersedia dalam jumlah yang paling minimum, maka akan bertindak sebagai factor pembatas. Walaupun demikian, seandainya keperluan mendasar yang hanya tersedia minimum, berada dalam waktu “sementara” tidak dapat dianggap sebagai faktor minimum, karena pengaruhnya dari banyak bahan sangat cepat berubah.
Kondisi minimum dari suatu kebutuhan mendasar bukan merupakan satu-satunya faktor pembatas kehidupan suatu organisme, tetapi juga dalam keadaan terlalu maksirnumnya kebutuhan tadi, sehingga dengan kisaran minimum-maksimum ini dianggap sebagai batas-batas toleransi organisrne untuk dapat hidup. Namun dalam kenyataan tidak sedikit organisme yang mempunyai kemampuan untuk “relatif’ mengubah keadaan lingkungan fisik gunan mengurangi efek hambatan terhadap pengaruh lingkungan fisiknya.
Faktor Pembatas Fisik dan Indikator Ekologi
Kehadiran atau keberhasilan suatu organisme atau kelompok organisme terganltung kepada komples keadaan. Kadaan yang manapun yang.mendekati atau melampaui batas-batas toleransi dinamakan sebagai yang membatasi atau faktor pembatas. Dengan adanya faktor pembatas ini semakin jelas kemungkinannya apakah suatu organisme akan mampu bertahan dan hidup pada suatu kondisi wilayah tertentu.
Jika suatu organisme mempunyai batas toleransi yang lebar untuk suatu faktor yang relatif mantap dan dalam jumlah yang cukup, maka faktor tadi bukan merupakan faktor pembatas. Sebaliknya apabia organisme diketahui hanya mempunyai batas-batas toleransi tertentu untuk suatu faktor yang beragam, maka faktor tadi dapat dinyatakan sebagai faktor pembatas. Beberapa keadaan faktor pembatas, termasuk diantaranya adalah temperatur, cahaya, air, gas atmosfir, mineral, arus dan tekanan, tanah, dan api. Masing-masing dari organisme mempunyai kisaran kepekaan terhadap faktor pembatas.
Dengan adanya faktor pembatas, dapat dianggap faktor ini bertindak sebagai ikut menseleksi organisme yang mampu bertahan dan hidup pada suatu wilayah. Sehingga seringkali didapati adanya organisme-organisme tertentu yang mendiami suatu wilayah tertentu.pula. Organisme ini disebut sebagai indikator biologi (indikator ekologi) pada wilayah tersebut.
Sifat dan Distribusi Umum
Populasi yang telah didefinisikan sebagai kelompok kolektif organisme dari spesies yang sama (atau kelompok-kelompok lain di mana individu-individu dapat bertukar informasi genetiknya) yang menempati ruang dan atau waktu tertentu, memiliki berbagai ciri/sifat maupun parameter yatg unik dari kelompok dan sudah tidak merupakan sifat dari masing-masing individu pembentuknya. Sifat-sifat tersebut antara lain kepadatan, natalitas, mortalitas, penyebaran umur, potensi biotik, dispersi, dan bentuk serta perkembangan. Khusus mengenai distribusi umur individu dalam suatu populasi merupakan sifat penting karena secara langsung dan tak langsung dapat mempengaruhi laju mortalitas maupun laju natalitas. Secara umum, pembagian umur menjadi 3 yaitu: pre-reproduktif, reproduktif, dan post-reproduktif. Perbandingan penyebaran golongan umur dalam populasi dapat menentukan keadaan arah reproduktif yang berlangsung dalam populasi, dan sekaligus dapat dipakai untuk memperkirakan keadaan populasi dimasa mendatang.

Pertumbuhan Populasi
Populasi memiliki pola-pola pertumbuhan khas yang disebut sebagai bentuk pertumbuhan populasi. Untuk keperluan perbandingan dapat diajukan dua pola dasar yang berdasarkan pada gambar aritmatik berbentuk kurva pertumbuhan, seperti kurva pertumbuhan berbentuk J dan S. Tipe-tipe yang berbeda ini dapat digabungkan atau diubah dalam berbagai cara menurut kekhususan berbagai organisme dan lingkungan. Adanya kurva pertumbuhan ini sekaligus juga menunjukkan adanya fluktuasi dalam pertumbuhan populasi. Beberapa faktor pembatas fisik dapat bertindak sebagai pemacu adanya fluktuasi pertumbuhan populasi. Populasi cenderung berfluktuasi di atas dan di bawah daya dukung. Dengan adanya fluktuasi terjadilah keseimbangan baru meskipun dalam waktu-waktu tertentu saja, seperti populasi musiman dan populasi tahunan.
Pola Penyebaran Populasi(Dispersi)
Setiap populasi apabila telah mencapai tingkat kepadatan, kerapatan tertentu, dan dengan keterbatasan daya dukung lingkungan, akan cenderung mengalami penyebaran. Di tempat yang baru populasi akan menempati, beradaptasi, dan membentuk keseimbang yang baru kembali. Dalam melakukan penyebaran, populasi cenderung membentuk kelompok-kelompok dari ukuran tertentu. Beberapa tipe penyebarannya adalah seragam, acak, dan acak berkelompok. Berkaitan dengan keterbatasan daya dukung lingkungan, khususnya ketersediaan sumberdaya makanan, ruang, dan lain-lain setiap individu mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan daerah wilayahnya (teritori) ,dengan cara teup berada pada wilayahnya masing-masing atau mengisolasikan diri. pada hewan tingkat tinggi, isolasi umumnya dilakukan dengan membatasi daerah tempat kehidupannya dengan daerah pengembaraan (home range).
Komunitas
Komunitas biotik adalah kumpulan populasi-populasi organisme apapun yang hidup dalam daerah atau habitat fisik yang telah. ditentukan., sehingga hal tersebut merupakan satuan yang diorganisasi sedemikian rupa bahwa komunitas mempunyai sifat-sifat tambahan terhadap komponen individu beserta fungsi-fungsinya. Berdasarkan sifat komunitas dan fungsi tersebut, komunitas biotik dapat terbagi menjadi komunitas utama /mayor, dan komunitas minor. Komunitas mayor adalah komunitas yatrg cukup besar kelengkapannya sehingga relatif. tidak tergantung pada komunitas lain. Sedangkan komunltas minor adalah komunitas yang kurang lebih masih tergantung pada komunitas lain.
Komunitas tidak hanya mempunyai kesatuan fungsional tertentu dengan struktur trofik dan arus energi khas saja, tetapi juga merupakan kesatuan yang di dalamnya terdapat peluang bagi jenis tertentu untuk dapat hidup dan berdampingan. walaupun demikian tetap masih ada kompetisi diantaranya, sehingga akan ditemukan populasi tertentu berperan sebagai dominansi suatu komunitas. Populasi yang mendominasi tersebut terutama adalah populasi yang dapat mengendalikan sebagian besar arus energi dan kuat sekali mempengaruhi lingkungan pada semua jenis yang ada di dalam komunitas yang sama.
Analisis Komunitas
Analisis komunitas dalam daerah geografis tertentu dari bentang darat telah mengutamakan dua pendekatan yang berlawanan, yaitu: 1) pendekatan secara zona, dan 2) pendekatan analisis gradien. Masing-masing pendekatan ini mempunyai tujuan spesifik tersendiri yang cocok pada pengukuran analisis komunitas pada wilayah tertentu. Pada umumnya semakin curam gradien lingkungan, maka semakin nyata terlihat dan atau makin tidak bersambungan komunitas-komunitasnya. Sebaliknya semakin landai gradien lingkungan makin bersambungan komunitas-kornunitasnya. Komunitas-komunitas dalam gradien lingkungan yang cukupr seragam pada ekosistem yang sarna, cenderung mempunyai tingkat keanekaragaman spesies yang relatif cukup seragam pula.
Ekotone adalah peralihan antara dua atau lebih komunitas yang berbeda. Daerah ini adalah daerah pertemuan yang dapat berbentuk bentangan luas tetapi masih lebih sempit/kecil jumlah populasinya dari komunitas sekitamya. Komunitas ekotone biasanya banyak mengandung organisme dari masing-masing komunitas yang saling tumpang tindih, dan sebagai tambahan, ataupun sebagai organisme yang khas tidak terdapat pada masing-masing komunitas pendampingnya.
Seringkali terdapat kecenderungan jumlah jenis dan kepadatan organisme di wilayah ekotone lebih besar daripada komunitas sekitarnya Kecenderungan ini akhirnya akan meningkatkan keanekaragaman dan kepadatan wilayah ekotone dibanding komunitas pendampingnya. keadaan ini dikenal sebagai pengaruh tepi (edge effect).
Individu Dalam Ekosistem
Dalam mempelajari suatu organisme, tentunya kita tidak hanya berupaya mengetahui “dimana” tempat hidup secara alami organisme yang akan kita pelajari tadi, karena bisa saja tempat hidup alami organisme tadi saling tumpang tindih dengan tempat hidup alami organisme lain, atau juga merupakan tempat hidup alami organisme lain. Adanya kerancuan ini, apabila kita pelajari lagi, tampak lebih jelas bahwa suatu organisme dapat saja menempati makrohabitat ataupun mikrohabitat dari ekosisrem yang sama. Terlebih lagi kalau kita melihat dari apa peranan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan organisme yang akan kita teliti tadi. Hal inilah yang dinyatakan sebagai relung ekologi. dari suatu organisme.
Dengan adanya relung ekologi, setiap organisme akan mempunyai peranan yang berlainan meskipun dalam ekosistem yang sama. Relung ekologi juga akan menggambarkan kemampuan dari suatu organisme untuk berinteraksi dalam ekosistem dengan berikut segala isinya, bahkan apabila memungkinkan kita mpu ikut mengendalikan ekosistem dari lingkungan hidupnya.
Di alam kita juga sering mendapati adanya spesies yang terdapat pada daerah geografis yang tidak sama atau terpisah oleh suatu barrier, misalnya gunung atau pulau. Keadaan ini disebut Allopatrik. Sebaliknya bisa saja kita temui adanya spesies yang sama terdapat pada daerah yang sama, namun dalam relung yang berbeda. Kondisi ini disebut Simpatrik. Peristiwa yang termasuk allopatrik dan simpatrik ini dapat dengan mudah ditemui, mengingat bahwa bisa saja dengan keanekaragaman ekosistem yang ada lebih memungkinkan suatu organisme ataupun spesies tertentu mampu hidup dan beradaptasi di dalamnya.
Meskipun demikian, lambat laun dengan kondisi simpatrik maupun allopatrik akan mengarah pada terbentuknya spesies baru secara evolusi, karena dalam kondisi geografis yang tidak sama ataupun relung yang berlainan akan menuntut organisme di dalamnya untuk selalu menyesuaikan diri, yang bisa saja akhimya akan berlainan sama sekali dengan organisme atau spesies yang ada sebelumnya.
Jam Biologi dan Domestikasi
Organisme-organisme mempunyai mekanisme secara fisiologik untuk mengukur waktu, yang dikenal sebagai jam biologi (biological clock). Secara umum jam biologi harian adalah kemampuan untuk menentukan waktu dan mengulangi fungsi-fungsi pada setiap interval 24 jam sekalipun dalam keadaan tanpa tergantung adanya tanda-tanda faktor fisik seperti cahaya matahari. Jam biologi juga dikaitkan dengan periodisitas-periodisitas yang berhubungan dengan bulan dan daur-daur musiman.
Meskipun mekanisme terjadinya jam biologi belum jelas, tetapi terdapat dua teori yang diusulkan, yaitu (1) Hipotesa waktu endogen, yaitu jam atau waktu harian yang telah terprogram oleh tubuh organisme dan dapat mengukur tanpa adanya petunjuk lingkungan. (2) Hipotesa waktu eksternal, yaitu jam atau waktu harian dalam tubuh organisme yang bekerjanya diatur oleh tanda-tanda dari lingkungan.
Adanya “kemampuan-kemampuan” tertentu yang dianggap bersifat menguntungkan dari suatu organisme, mengundang organisme tersebut didomestikasi ke tempat yang diperkirakan cocok. Banyak di antara organisme yang didomestikasi akhirnya dibudidayakan dan lambat laun mengalami suatu perubahan sehingga bisa saja akhirnya berlainan dengan sifat aslinya. Pada peristiwa domestikasi, baik pada hewan ataupun tanaman tidak hanya sekedar melibatkan domestikasi genetik dari suatu spesies, melainkan juga adanya “adaptasi timbal balik” antara spesies yang didomestikasi dengan pemelihara (domestikator) yang biasanya manusia. Sehingga sebetulnya pada peristiwa ini terjadi dua jalur yang saling mempengaruhi yang dapat saja membawa atau mengarah pada perubahan (ekologi dan sosial, bahkan genetik) pada manusia maupun organisme yang dipeliharanya. Meskipun demikian, apabila upaya domestikasi dilakukan dengan kurang perhitungan dan ceroboh justru akan menimbulkan masalah besar, dengan lepas dan tidak terkontrolnya organisme yvng didomestikasi ke alam bebas dan berubah menjadi hama.

Perkembangan Ekosistem
Setiap ekosistem dalam suatu wilayah selalu mengalami perkembangan menuju ke arah keseimbangan. Perkembangan ekosistem tersebut tergantung dari pola perkembangan komunitas yang ada di dalamnya. Secara umum perkembangan ekosistem yang dikenal dengan suksesi ekologi ini, melalui beberapa tahapan-tahapan perkembangan yang disebut sere. Setiap sere memberikan ciri-ciri khas tersendiri tergantung dari jenis-jenis dominan yang ada dan faktor pembatas fisiknya.
Suksesi tidak hanya berlaku pada ekosistem alaminya saja, melainkan iuga pada organisme hewan dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Bahkan dinyatakan bahwa ekosistem primer, sekunder, flora, dan fauna dan daerah sekitar merupakan faktor utama yang memberi pengaruh terhadap tipe-tipe pertumbuhan tumbuhan dan hewan yang mengalami suksesi baik melalui persebaran maupun migrasi.
Terdapat tiga hal pokok yang saling terkait dan ikut mempengaruhi lajunya perkembangan ekosistem, yakni 1) ketersediaan sumber daya, 2) faktor pembatas fisik, dan 3) kemampuan dari organismenya. Khusus mengenai ketersediaan sumber daya, dalam hal ini makanan/energi diberikan penekanan tersendiri karena dapat mengarah pada kesempatan kenaikkan biomassa. Apabila laju total fotosintesis lebih besar dari laju total respirasi maka dapat memungkinkan kesempatan kenaikkan biomassa., dan ini disebut suksesi autotrofik. sebaliknya bila laju total fotosintesis lebih kecil dari laju total respirasi maka hanya akan memanfaatkan energi yang sudah ada dengan pembentukan relung-relung ekologi yang baru, dan ini disebut suksesi heterotrofik.
Suksesi, pada tingkat perkembangan akhir terbentuklah puncak dimana terdapat keseimbangan ekologi biomassa maksimum dengan pola-pola simbiose yang berlangsung di dalamnya berjalan secara alami pula. Jadi perkembangan ekosistem tidak pernah merupakan hasil perkembangan yang terjadi begitu saja, dalam artian terjadi langsung keseimbangan ekologi pada suatu kawasan yang baru terbentuk. Dibutuhkan satuan waktu tertentu, tentunya dengan kemampuan daya adaptasi yang ada untuk mencapai suatu tatanan menuju keseimbangan ekologi. Sejalan dengan perkembangan ekosistem menuju klimaks ekologi ataupun keseimbangan ekosistem, senantiasa selalu diikuti dengan perkembangan berupa perubahan-perubahan dari segala sesuatu yang berkaitan dengan tata kehidupan organisme yang ada di dalam ekosistem tersebut. Hanya organisme yang mampu beradaptasilah (yang mampu melakukan kompensasi terhadap faktor pembatas fisik lingkungannya) yang dapat terus berada dan hidup, meskipun dengan harus “menciptakan” suatu relung ekologi tersendiri.



Konsep Klimaks
Setelah melalui beberapa tahapan perkembangan ekosistem atau sere, suatu ekosistem dapat mencapai tahapan akhir klimaks atau dapat pula dianggap sebagai puncak perkembangan ekosistem. Salah satu ciri pada komunitas klimaks yaitu dengan tidak terdapatnya penumpukan zat organik netto tahunan. Hal ini disebabkan karena produksi tahunan komunitas seimbang dengan konsumsi tahunan.
Banyak ahli berpendapat bahwa iklim klimaks pada suatu wilayah belum tentu dapat dicapai karena komunitas yang sudah “mantap” sekalipun, karena masih menunjukkan adanya perubahan, penyesuaian dan pembusukan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa perubahan suatu komunitas dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang terdapat dalam komunitas tersebut. Berdasarkan hal tersebut telah dipakai kesepakatan bahwa hampir tidak mungkin pada suatu wilayah mencapai iklim klimaks, sehingga iklim klimaks tunggal merupakan komunitas teoritis yang dituju semua suksesi dalam perkembangan pada suatu daerah, asalkan keadaan lingkungan fisik secara umum tidak terlalu ekstrem sehingga dapat mampu mempengaruhi iklim lingkungan. umumnya suksesi berakhir pada klimaks edaphik, dengan hanya terkait pada masing-masing pengaruh faktor pembatas fisik pada wilayah setempat.
Meskipun suksesi pada suatu ekosistem untuk dapat mencapai klimaks membutuhkan waktu yang tidak sebentar, namun cepat lambatnya masih tergantung pula oleh tingkatan suksesi yang terjadi kepadanya.secara umum terdapat dua macam ekosistem suksesi yaitu, ekosistem suksesi primer dan ekosistem suksesi sekunder. Ekosistem suksesi primer lebih dinyatakan pada berkembangnya ekosistem tersebut melalui substrat yang baru.Artinya kehidupan yang ada pada ekosistem tersebut setelah perlakuan benar-benar dimulai dari nol, dan harus dimulai dari kerja organisme pionir dengan segala perlakuan dari faktor pembatas fisik yang ada. Sedangkan ekosistem suksesi sekunder berkembang setelah ekosistem alami rusak total tetapi dimulai dengan tidak terbentuk substrat yang baru, atau dapat dianggap sebagai dimulainya kehidupan baru setelah adanya “gangguan” pada ekosistem alami.

Susunan dan Macam Ekosistem
Ekosistem merupakan suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun yang beragam. Di bumi ada bermacam-macam ekosistem.
1.      Susunan Ekosistem
Dilihat dari susunan dan fungsinya, suatu ekosistem tersusun atas komponen sebagai berikut.

a.       Komponen autotrof
(Auto = sendiri dan trophikos = menyediakan makan).  Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia.Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan hijau. 
b.      Komponen heterotrof
(Heteros = berbeda, trophikos = makanan). 
Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai makanannya dan bahan tersebut disediakan oleh organisme lain. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba. 
c.       Bahan tak hidup (abiotik)
Bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan kimia yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari. Bahan tak hidup merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup. 
d.      Pengurai (dekomposer)
Pengurai adalah organisme heterotrof yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati (bahan organik kompleks). Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen.Termasuk pengurai ini adalah bakteri dan jamur. 


2. Macam-macam Ekosistem 
Secara garis besar ekosistem dibedakan menjadi ekosistem darat dan ekosistem perairan. Ekosistem perairan dibedakan atas ekosistem air tawar dan ekosistem air Laut. 
a.       Ekosistem darat
Ekosistem darat ialah ekosistem yang lingkungan fisiknya berupa daratan. Berdasarkan letak geografisnya (garis lintangnya), ekosistem darat dibedakan menjadi beberapa bioma, yaitu sebagai berikut. 
1.      Bioma gurun
Beberapa Bioma gurun terdapat di daerah tropika (sepanjang garis balik) yang berbatasan dengan padang rumput. Ciri-ciri bioma gurun adalah gersang dan curah hujan rendah (25 cm/tahun). Suhu slang hari tinggi (bisa mendapai 45°C) sehingga penguapan juga tinggi, sedangkan malam hari suhu sangat rendah (bisa mencapai 0°C). Perbedaan suhu antara siang dan malam sangat besar. Tumbuhan semusim yang terdapat di gurun berukuran kecil. Selain itu, di gurun dijumpai pula tumbuhan menahun berdaun seperti duri contohnya kaktus, atau tak berdaun dan memiliki akar panjang serta mempunyai jaringan untuk menyimpan air. Hewan yang hidup di gurun antara lain rodentia, ular, kadal, katak, dan kalajengking. 

2.      Bioma padang rumput
Bioma ini terdapat di daerah yang terbentang dari daerah tropik ke subtropik. Ciri-cirinya adalah curah hujan kurang lebih 25-30 cm per tahun dan hujan turun tidak teratur. Porositas (peresapan air) tinggi dan drainase (aliran air) cepat. Tumbuhan yang ada terdiri atas tumbuhan terna (herbs) dan rumput yang keduanya tergantung pada kelembapan. Hewannya antara lain: bison, zebra, singa, anjing liar, serigala, gajah, jerapah, kangguru, serangga, tikus dan ular

3.      Bioma Hutan Basah 
Bioma Hutan Basah terdapat di daerah tropika dan subtropik.
Ciri-cirinya adalah, curah hujan 200-225 cm per tahun. Species pepohonan relatif banyak, jenisnya berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung letak geografisnya. Tinggi pohon utama antara 20-40 m, cabang-cabang pohon tinngi dan berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi). Dalam hutan basah terjadi perubahan iklim mikro (iklim yang langsung terdapat di sekitar organisme). Daerah tudung cukup mendapat sinar matahari. Variasi suhu dan kelembapan tinggi/besar; suhu sepanjang hari sekitar 25°C. Dalam hutan basah tropika sering terdapat tumbuhan khas, yaitu liana (rotan), kaktus, dan anggrek sebagai epifit. Hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu. 

4. Bioma hutan gugur 
Bioma hutan gugur terdapat di daerah beriklim sedang,
Ciri-cirinya adalah curah hujan merata sepanjang tahun. Terdapat di daerah yang mengalami empat musim (dingin, semi, panas, dan gugur). Jenis pohon sedikit (10 s/d 20) dan tidak terlalu rapat. Hewannya antara lain rusa, beruang, rubah, bajing, burung pelatuk, dan rakoon (sebangsa luwak). 

5. Bioma taiga
Bioma taiga terdapat di belahan bumi sebelah utara dan di pegunungan daerah tropik. Ciri-cirinya adalah suhu di musim dingin rendah. Biasanya taiga merupakan hutan yang tersusun atas satu spesies seperti konifer, pinus, dap sejenisnya. Semak dan tumbuhan basah sedikit sekali. Hewannya antara lain moose, beruang hitam, ajag, dan burung-burung yang bermigrasi ke selatan pada musim gugur. 

6. Bioma tundra
Bioma tundra terdapat di belahan bumi sebelah utara di dalam lingkaran kutub utara dan terdapat di puncak-puncak gunung tinggi. Pertumbuhan tanaman di daerah ini hanya 60 hari. Contoh tumbuhan yang dominan adalah Sphagnum, liken, tumbuhan biji semusim, tumbuhan kayu yang pendek, dan rumput. Pada umumnya, tumbuhannya mampu beradaptasi dengan keadaan yang dingin. Hewan yang hidup di daerah ini ada yang menetap dan ada yang datang pada musim panas, semuanya berdarah panas. Hewan yang menetap memiliki rambut atau bulu yang tebal, contohnya muscox, rusa kutub, beruang kutub, dan insekta terutama nyamuk dan lalat hitam. 


b.      Ekosistem Air Tawar
Ciri-ciri ekosistem air tawar antara lain variasi suhu tidak menyolok, penetrasi cahaya kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca. Macam tumbuhan yang terbanyak adalah jenis ganggang, sedangkan lainnya tumbuhan biji. Hampir semua filum hewan terdapat dalam air tawar. Organisme yang hidup di air tawar pada umumnya telah beradaptasi. Adaptasi organisme air tawar adalah sebagai berikut. 


Adaptasi tumbuhan
Tumbuhan yang hidup di air tawar biasanya bersel satu dan dinding selnya kuat seperti beberapa alga biru dan alga hijau. Air masuk ke dalam sel hingga maksimum dan akan berhenti sendiri. Tumbuhan tingkat tinggi, seperti teratai (Nymphaea gigantea), mempunyai akar jangkar (akar sulur). Hewan dan tumbuhan rendah yang hidup di habitat air, tekanan osmosisnya sama dengan tekanan osmosis lingkungan atau isotonis. 

Adaptasi hewan
Ekosistem air tawar dihuni oleh nekton. Nekton merupakan hewan yang bergerak aktif dengan menggunakan otot yang kuat. Hewan tingkat tinggi yang hidup di ekosistem air tawar, misalnya ikan, dalam mengatasi perbedaan tekanan osmosis melakukan osmoregulasi untuk memelihara keseimbangan air dalam tubuhnya melalui sistem ekskresi, insang, dan pencernaan.  Habitat air tawar merupakan perantara habitat laut dan habitat darat. Penggolongan organisme dalam air dapat berdasarkan aliran energi dan kebiasaan hidup.
1. Berdasarkan aliran energi, organisme dibagi menjadi autotrof (tumbuhan), dan fagotrof (makrokonsumen), yaitu karnivora predator, parasit, dan saprotrof atau organisme yang hidup pada substrat sisa-sisa organisme. 
2. Berdasarkan kebiasaan hidup, organisme dibedakan sebagai berikut. 
                          a. Plankton;  terdiri alas fitoplankton dan zooplankton;  biasanya melayang  layang (bergerak pasif) mengikuti gerak aliran air. 
    b. Nekton; hewan yang aktif berenang dalam air, misalnya ikan. 
   c. Neuston;  organisme yang mengapung atau berenang di permukaan air  atau bertempat pada permukaan air, misalnya serangga air.
   d. Perifiton; merupakan tumbuhan atau hewan yang melekat/bergantung
  pada tumbuhan atau benda lain, misalnya keong. 
   e. Bentos; hewan dan tumbuhan yang hidup di dasar atau hidup pada
endapan.
Bentos dapat sessil (melekat) atau bergerak bebas, misalnya cacing dan remis. Lihat Gambar. Ekosistem air tawar digolongkan menjadi air tenang dan air mengalir. Termasuk ekosistem air tenang adalah danau dan rawa, termasuk ekosistem air mengalir adalah sungai. 

HUTAN  RAWA GAMBUT

v  TANAH HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010

Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15 % sampai dengan 20 % dan tanah organik yang mengandung bahan organik berkisar antara 20 % sampai dengan 25 % bahkan kadang-kadang sampai 90 % mengandung bahan organik (Buckman dan Brady, 1982). Asian Wetland Beraue dan Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan statu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (a) selalu tergenang air, (b) komposisi jenis pon beraneka ragam, mulai dari tegakan sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum Mix.Sampai tegakan campuran, (c) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan, (d) mempunyai perakaran yang khas, dan (e) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam.
Tanah gambut, merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan bahan organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama taah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm (Suhardjo, 1983).
Tanah gambut tersebut pada umumnya mengandung lebih dari 60 % bahan organik (Driessen, 1977).
Tanah gambut atau tanah organik dimaksud dikenal juga sebagai tanah organosol atau histosol (Suhardjo, 1983). Menurut sistem kalsifikasi taksonomi tanah (USDA, 1975) tanah gambut termasuk kedalam ordo histosol, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20 % tekstur pasir atau lebih dari 30 % tekstur liat. Lapisan yang mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Menurut sistem klasifikasi tersebut, ordo histosol berdasarkan bahan asal dan tingkat perombakannya dibedakan menjadi empat sub-ordo, yaitu folist, fibrist, hemist dan saprist. Sub-ordo tersebut berdasarkan kandungan atau ketebalan bahan penciri dan temperaturnya dibedakan menjadi beberapa kelompok besar.
Untuk daerah tropika nama-nama kelompok besar antara lain : tropofolist, tropofibrist, tropohemist dan troposaprist. Kelompok besar ini secara umum mempunyai perbedaan temperatur rata-rata musim panas dan dingin kurang dari 50 C.
Tanpa memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan bahan induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :

(1) Gambut endapan; Gambut endapan biasanya tertimbun di dalam air yang relatif dalam. Karena itu umumnya terdapat jelas di profil bagian bawah. Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan tipe gambut lainnya jika lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal serta bewarna hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering gambut ini menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam keadaan sangat keras dan bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fisiknya yang tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman.
(2) Gambut berserat; Gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat mungkin terdapat dipermukaan timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi, sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profil bawah, biasanya terlihat di atas endapan.
(3) Gambut kayuan; Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian. Menurut Darmawijaya (180) berdasarkan faktor pembentukannya, gambut digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :
     (1) Gambut ombrogen; Gambut ombrogen terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada daerah tropika yang lebat dengan curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun. Bersifat sangat masam dengan pH 3,0 – 4,5.
   (2) Gambut topogen; Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topografi, berasal dari tanaman paku-pakuan dan semak belukar dan mempunyai pH yang relatif tinggi.
   (3) Gambut pegunungan; Gambut ini terbentuk karena ketinggian tempat gambut, di daerah katulistiwa hanya terbentuk di daerah pegunungan dan iklimnya menyerupai iklim di daerh sedang dengan vegetasi utamanya Sphagnum. Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et al., 1988) yaitu :
              (1) Fibric yang tingkat dekomposisinya masih rendah, sehingga masih banyak mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang dari 0,1), kadar air banyak, berwarna kuning sampai pucat.
              (2) Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi sedang, masih banyak mengandung serabut, berat jenis antara 0,07 – 0,18, kadar air banyak, berwarna coklat muda sampai coklat tua.
           (3) Sapric yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut, berat jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu banyak dengan warna hitam dan coklat kelam.
           Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut pantai umumnya merupakan gambut topogenous atau mesogenous, sebagian besar tergolong kedalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur lain dari luar yaitu yang dibawa air pasang. Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975).
Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di dawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya. Vegetasi bahan pembentuk tanah gambut dipengaruhi oleh keadaan iklim, kualitas dan tata air tempat pembentukannya. Di daerah dataran tinggi dengan suhu yang dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus dan mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai. Vegetasi rawa atau air semula berupa rumput-rumputan yang membentuk bahan organik lebih dahulu di lapisan bawah, untuk kemudian ditimbun oleh bahan vegetasi yang lebih besar di atasnya. Oleh karena itu, tanah gambut mempunyai lapisan-lapisan dengan perbedaan kualitas karena vegetasi yang memberikan bahan organik berbeda (Suhardjo, 1983).
Selanjutnya Suhardjo (983) menyatakan bahwa sifat-sifat fisik tanah gambut ditentukan oleh tingkat dekomposisi atau kematangan bahan organik pembentuk gambut. Tingkat kematangan gambut ini dicirikan oleh kandungan serat bahan organik tersebut. Yang dimaksud serat adalah potongan atau kepingan jaringan tumbuhan yang tertahan oleh jaring dengan ukuran mesh 100, tidak termasuk akar hidup dan struktur jaringannya masih dapat dikenali. Fibric adalah tingkat gambut yang dekomposisinya rendah, duapertiga volumenya terisi serat. Tingkat kematangan hemic sedang dengan kandungan seratnya sepertiga sampai duapertiga volumenya. Sapric adalah bahan organik yang paling lapuk, kurang dari sepertiga volumenya masih berupa serat. Jumlah, bentuk dan ukuran serat menentukan jumlah dan sebaran ukuran pori. Ruang pori total (RPT) ditentukan oleh bobot, isi dan bobot jenis rata-rata (average specifik density) gambut, sedang sebaran ukuran pori dipengaruhi oleh
sebaran fraksi/serat dan struktur. Jumlah dan sebaran ukuran pori menentukan sifat-sifat
retensi air, daya simpan air dan daya hantar hidrolik (Adhi, 1984).  Susunan kimia dan kesuburan tanah gambut ditentukan oleh ketebalan lapisan gambut dan tingkat kematangan lapisan-lapisannya, keadaan tanah mineral di bawah lapisan gambut serta kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi lahan gambut dalam proses pembentukan dan pematangannya (Adhi, 1986). Sifat kimia tanah gambut dicirikan dengan nilai pH dan ketersediaan unsur nitrogen, fosfor dan kalium rendah, kejenuhan kalsium dan magnesium yang rendah, diikuti dengan pertukaran Al, Fe yang cukup tinggi sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986). Gambut yang dipengaruhi air sungai, payau atau air laut lebih kaya unsur hara dibandingkan dengan gambut yang hanya tergantung air hujan saja. Kualitas air mempengaruhi kesuburan gambut yang terbentuk. Sedangkan tingkat kesuburan tanah gambut ditentukan oleh kandungan N, K2O, P2O5, CaO dan kadar abu. Semakin tinggi nilai-nilai tersebut semakin tinggi kesuburannya (Fleischer dalam Supraptohardjo, 1974).
Menurut Hakim (1986) berdasarkan nilai-nilai tersebut menggolongkan kesuburan tanah gambut menjadi tiga yaitu :
(1) Gambut eutropik yang subur
(2) Gambut mesotropik dengan kesuburan sedang
(3) Gambut oligotropik dengan kesuburan rendah

Lokasi HPH PT. Yos Raya Timber didominasi oleh gambut ombrogen oligotropik, yaitu gambut yang miskin dengan sumber penggenangan air hujan. Pada gambut ombrogen semakin ke arah tengah lahan gambut terjadi penurunan tingkat kandungan hara. Kecendrungan semakin menurunya kesuburan tanah dicirikan oleh menurunya tinggi tajuk vegetasi hutan, menurunya bahan kering per satuan luas, menebalnya daun serta menurunnya rata-rata diameter pohon. Ketidakmampuan pohon-pohon tumbuh optimal dibagian tengah gambut karena keadaannya yang sangat ekstrim, khusunya pH dan ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Anwar et al., 1984). Sebagai akibat dari keadaan di atas, formasi hutan gambut ombrogen sering memiliki variasi lokal sebagai phasic communities (Anderson, 1961).
Menurut Rose dalam (Mile, 1997), hutan-hutan tropika basah yang tergolong ke dalam hutan tropika basah dataran rendah (lowland tropical rain forest) dan tinggi (higland tropical rain forest) sebagian besar tumbuh pada tanah yang tergolong marginal. Menurut Prichet (1979), hutan alam tersebut dapat tumbuh dengan baik dan lestari pada tanah yang berpelapukan lanjut karena memiliki sistem perputaran hara tertutup (closed system nutrients cycling) yang terjaga dengan baik. Jordan (1985) menyatakan, bahwa hal ini dimungkinkan karena kondisi hutan alam yang multi strata baik tajuk maupun sistem perakaran serta kondisi iklim (terutama curah hujan dan temperatur) yang dapat mendukung terjadinya pengembalian hara yang cepat serta pemanfaatannya secara efesien.
Selanjutnya Prichet (1979) menyatakan bahwa kemampuan hutan tropika basah Indonesia bukan disebabkan oleh kesuburan tanahnya, melainkan semata disebabkan oleh adanya siklus hara yang ketat dan tertutup yang mampu menyumbat peluang kebocoran unsur hara. Perjalanan suksesi hutan menuju klimaks, pada hakekatnya merupakan proses pembangunan ekosistem. Pada saat suksesi mencapai klimaks, ekosistem yang dibentuknya berada dalam keadaan kondisi yang paling baik. Tanaman yang berkembang pada kondisi ini didukung oleh lingkungan tumbuh yang paling optimal. Dehutanisasi yang diikuti oleh konversi hutan menjadi berbagai macam fungsi, betapun mulianya tujuan program ini, secara ekologi pada hakekatnya memundurkan perjalanan suksesi dari kondisi klimaksnya. Merubah watak siklus hara yang ketat dan tertutup menjadi longgar dan terbuka akan memberikan peluang lebar terhadap proses kebocoran hara mineral.
Jordan (1985) menyatakan bahwa, hasil fotosintesa hutan tropis lebih banyak di simpan di daun, sedangkan tanaman hutan temperate lebih banyak disimpan di kayu. Dengan demikian, walaupun produk bersih tanaman (net primary productivity) hutan tropis lebih besar, namun lebih disebabkan oleh banyaknya produksi daun. Banyaknya produksi daun menyebabkan sebagian besar unsur hara yang ada di dalam hutan tropika basah tersimpan pada biomas tanaman dan bukan pada tanah hutan sebagaimana pada hutan temperate, dimana sebagian besar unsur haranya tersimpan di tanah dan lantai hutan. Hal ini dikarenakan adanya proses pembentukan unsur hara yang terjadi secara berkala melalui proses pengguruan daun. Oleh karena itu dehutanisasi hutan tropika basah berakibat kemerosotan hara tanah secara drastis dibandingkan dengan proses dehutanisasi daerah temperate (nontropis).










v  PENETAPAN AMBANG BATAS HUTAN RAWA GAMBUT  PROPINSI RIAU
Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010
         
          Petunjuk teknis TPTI merupakan acuan kegiatan pemanenan kayu di hutan alam Indonesia.Di dalamnya berisi tahapan dan kegiatan perencanaan pemanenan yang cukup rinci dan bersifat konservatif.Oleh karena itu, sistem ini dipandang paling aman untuk mempertahankan pengelolaan kelestarian hutan (Dephutbun, 1998).
Kegiatan pembalakan selain prosesnya berlangsung tidak mudah, syarat biaya serta beresiko tinggi, juga di sisi lain harus bisa mengntisipasi agar kerusakan tegakan tinggal dan lingkungan minimal. Hal ini muncul tidak lain karena pohon yang ditebang hidup di tengah tegakan yang beragam jenis, ukuran, kerapatan maupun komposisinya. Besar kecilnya kerusakan tergantung pada bentuk dan lebar tajuk, tinggi dan kerapatan tegakan serta keterampilan penebang. Menurut Dawkin (1980) dalam Wiradinata dan Saddan (1980), dalam sekali penebangan pohon berdiameter besar di hutan tropika basah, bisa mengakibatkan kerusakan pada tegakan di sekitarnya paling sedikit seluas 0,02 ha. Kerusakan tersebut terjadi karena adanya pohon yang ikut tumbang, sehingga memperbesar tingkat kerusakan.
          Wiradinata dan Saddan (1980) menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi kerusakan tegakan tinggal juga diakibatkan oleh kegiatan pembuatan jaringan jalan dan tempat pengumpulan kayu (TPn). Semakin tidak terencana kedua kegiatan tersebut, maka kemungkinan terjadinya kerusakan tegakan tinggal akan semakin besar. Untuk itu proses pembalakan ramah lingkungan sangat diperlukan. Ewel dan Conde (1978) menyebutkan bahwa kerusakan pada tanah, vegetasi, sumber air dan kehidupan liar adalah pengaruh nyata sebagai akibat dilakukannya kegiatan eksploitasi hutan tropika basah. Pengaruh yang dianggap penting itu, negatip ataupun positip merupakan sesuatu ukuran ambang batas kepedulian (Threshold of Concern, TOC) yang lingkupnya mencakup bidang, ruang dan waktu (Sassaman, 1981 dalam Soemarwoto, 1997).
          Sheffield (1996) mengatakan bahwa penetapan standar yang baku untuk menganalisis data suatu kegiatan inventarisasi kerusakan hutan, hingga saat ini belum ada. Oleh karena  itu, pengguna hendaknya mengatur kembali metode yang diambil dalam penetapan ambang batas pengaruh sesuai tujuan dan spesifikasi yang diinginkan (Sassaman, 1981 dalam Soemarwoto, 1997). Untuk pembuatan parameter ambang batas pengaruh, perlu dipahami kemampuan daya pulih ekosistem atas pengaruh itu (Malcom dan Markham, 1996).Pada ekosistem yang berdaya pulih, kondisi awal sangat berpengaruh dalam merespon kerusakan yang terjadi.Konsepsi kelenturan ekosistem (ecosystem recosilience) ini terbagi atas 2 bagian yaitu kelenturan mekanis (engineering recosilience) dan kelenturan ekologi (ecological recosilience) (Holing dalam Malcom dan Markham, 1996). Kelenturan mekanis ialah ketahanan pulih terhadap gangguan dan kecepatannya untuk kembali mencapai keadaan yang seimbang.Sedangkan kelenturan ekologi ialah pemulihan kondisi yang relatif jauh dari keadaan seimbang. Pada kejadian ini situasi awal dapat berubah ke kondisi yang lain karena pengaruh keseimbangan baru yang lebih dominan (Holing dalam Malcom dan Markham, 1996). Untuk melihat kepulihan ekosistem. Lawton dan Jones dalam Malcom dan Markhum (1996) mengatakan bahwa peranan pohon pada struktur lingkungan hutan terjadi melalui modifikasi proses hidrologi, siklus hara, kestabilan tanah, kelembaban, suhu, angin dan cahaya. Dalam hal ini, yang lebih penting dalam konservasi keragaman hayati ialah melindungi dan memelihara potensi ekosistem yang produktif. Di pihak lain, untuk penetapan ambang batas perlu diketahui proporsi bentuk dan ukuran dari kerusakan, Misal, akibat pembalakan terhadap struktur tegakan, peranan dan evolusi dari ekosistem. Karena gangguan biasanya cendrung bersifat ekstrim dan berdampak panjang, maka konsep ambang batas menjadi sulit didefenisikan secara tepat (Sousa, 1984 dalam Gardner et al., 1996).
          Menurut Hamilton et al., (1996) tahap dan aspek yang perlu diperhatikan dalam menilai kerusakan hutan ialah : (1) proporsi tingkat kerusakan yaitu potensi, jenis, komposisi serta potensi pertumbuhannya; (2) besar pengaruh kerusakan terhadap permudaan alam untuk mengelompokan pembinaannya lebih lanjut dan (3) pertimbangan pemanfatan atas kerusakan yang terjadi. Menurut Hamilton et al., (1996) kriteria ambang batas dibuat sederhana dengan maksud memudahkan secara teknis penggunaannya di lapangan. Kriteria dibuat dalam 3 kelas yaitu kelas berat, sedang dan ringan seperti berikut.
           Dari kriteria di atas maka diusulkan untuk dapat diterapkan sebagai ambang batas adalah klasifikasi tingkat ringan. Dengan demikian kalaupun terjadi kerusakan karena kesulitan dalam pelaksanaannya di lapangan, peningkatan kerusakan yang terjadi masih berada pada tingkat sedang, yang diperkirakan masih cukup aman bagi keberlanjutan pengelolaan hutan alam rawa gambut secara lestari (Hamilton et al., 1996).
Resiko (manfaat) lingkungan (juga hutan sebagai suatu ekosistem) ialah suatu faktor atau proses dalam lingkungan yang mempunyai kementakan tertentu sehingga menyebabkan konsekuensi yang merugikan (menguntungkan) kepada manusia dan lingkungannya. Brdasarkan batasan ini, baik resiko maupun mnfaat mengandung unsur ketidakpastian bahwa kementakan bisa terjadi tinggi atau rendah, tetapi tidak dapat dikatakan pasti akan terjadi atau pasti tidak akan terjadi. Oleh karena itu kegiatan melakukan pemantauan pengaruh dengan baik dan kemudian menggunakannya sebagai umpan balik untuk memperbaiki pengelolaan lingkungan, dalam hal ini pengelolaan hutan alam sangat penting artinya (Soemarwoto, 1997).
          Untuk membuat klasifikasi ambang batas yang diinginkan itu ditempuh dengan cara analisis data hasil pemantauan yang dilaksanakan sendiri dan orang lain sebagai pertimbangan penetapan besarannya. Misalnya, jumlah batang tegakan minimal 60 % (Nodine, 1996; Tansey dan Hutchins, 1988 dalam Sheffield, et al., 1996), sedangkan Smith (1960) menyebutkan bahwa untuk membentuk tegakan yang cukup (full stock) setiap hektar memerlukan permudaan tingkat semai sebanyak 1000 batang, pancang 300 batang dan tiang 75 batang. Sementara Landon dalam Bernard (1950) mengatakan bahwa untuk tujuan yang sama diperlukan tingkat pancang dan tiang sebanyak 300 batang/hektar dan 890 batang/hektar.
          Ambang batas yang lain seperti gangguan tanah hutan bisa dicerminkan antara lain dalam panjang jalan utama dan jalan sarad. Sedangkan untuk iklim mikro bisa dinyatakan dalam keterbukaan tegakan di mana semakin banyak hutan rusak semakin besar tingat keterbukaan. Beberapa cara penilaian kerusakan tegakan dapat disebutkan di antaranya :

(1) Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 564/KPTS/IV-BPHH/1989 tentang TPTI menyebutkan bhwa pohon inti yang merupakan pohon harapan untuk kembali bisa dipanen pada periode 35 tahun berikutnya dikatakan rusak apabila mengalami salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut :
a.Tajuk pohon rusak lebih dari 30 % atau cabang pohon/dahan besar patah.
b.Luka batang mencapai kyu berukuran lebih dari ¼ kliling batang dengan panjang lebih dari 1,5 meter.
c.Perakarannya terpotong atau 1/3 banir rusak.

(2) Sheffield dan Michael (1996) bahwa untuk menaksir perubahan tegakan yang disebabkan oleh kerusakan dapat dikelompokan menjadi 4 kelas. Tiap kelas menggambarkan bentuk dan ukuran kerusakan, sekalipun sebenarnya sulit untuk bisa memastikan keberadaan lanjutannya untuk dapat hidup terus atau tidak.


(3) Syme et al., (1996) juga membagi kerusakan tegakan dalam 4 kelas. Sama seperti Sheffield dn Michael (1996); sedang Gadrner et al., (1996) membaginya dalam 8 kelas.

(4) Sheffield dan Michael (1996) menyatakan penilaian yang berkaitan dengan perubahan iklim mikro yang ditentukan melalui tingkat kerusakan tajuk yang contoh penerapannya untuk tiang dan pohon. Menurut Sheffield dan Michael (1996) Penetapan ambang batas belumlah bersifat defenitif; melainkan bersifat pendekatan dengan pertimbangan dasar penilaian cukup logis dan bisa diterapkan di lapangan.

v  IKLIM HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010

Iklim adalah sintesis hasil pengamatan cuaca untuk memperoleh deskripsi secara statistik mengenai keadaan atmosfier pada daerah yang sangat luas (Barry, 1981 dalam Wenger, 1984). Berdasarkan batasan ruang dimana nilai-nilai yang ada masih berlaku, maka iklim dibedakan kedalam iklim makro dan iklim mikro. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1984) iklim makro adalah iklim yang nilai-nilainya berlaku untuk daerah yang luas, sedangkan iklim mikro hanya berlaku untuk tempat atau ruang yang terbatas.Dikemukakan lebih lanjut bahwa iklim makro dipergunakan untuk menentapkan tipe iklim, zona iklim, zona vegetasi dan sebagainya, sedangkan iklim mikro berhubungan dengan habitat atau lingkungan mikro.
Menurut Kramer dan Kozlowski (1960) dalam Idris (1996), faktor-faktor iklim yang penting bagi hidup dari pertumbuhan individu dan masyarakat tumbuh-tumbuhan adalah cahaya, suhu, curah hujan, kelembaban udara, gas udara dan angin.
Lingkungan radiasi di dalam sebuah hutan berbeda dengan daerah tidak berhutan karena permukaan yang mengabsorbsi di dalam hutan umumnya berbeda di atas tanah dengan jarak yang terlihat nyata. Pada kebanyakan tajuk, permukaan aktif yaitu permukaan yang terbanyak menerima radiasi matahari datang adalah lapisan vegetasi yang berada di atas, yaitu lapisan dengan tingkat kerapatan daun maksimum.Lapisan ini mengintersepsi dan mengabsorbsi radiasi matahari dan gerakan angin terbanyak dari udara di atasnya.
Apabila tajuk menjadi relatif lebih terbuka maka radiasi matahari dan angin akan masuk lebih dalam ke dalam tajuk Nguyen and Sist. 1998; Noor dan Smith, 1987; Sukadaryati et al., 2002). Pada daerah terbuka permukaan aktif adalah bagian atas dari lapisan serasah/humus, atau apabila tidak ada serasah maka permukaan aktif adalah permukaan tanah.Pada daerah bekas pembalakan, permukaan itu adalah permukaan tanah dan vegetasi yang tersisa.Kerapatan batang dan penutupan tajuk menentukan bagian dari radiasi yang dapat mencapai lantai hutan (Grates, 1980 dalam Wenger, 1984). Jumlah cahaya yang mencapai lantai hutan mengendalikan suhu tanah yang akan berpengaruh terhadap reproduksi dan vegetasi bawah. Energi pancaran (radiasi) adalah energi yang berpindah dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Dengan dimensi energi, satuan yang digunakan adalah kalori (kal.), erg atau joule (J). Jumlah energi yang diterima atau dipancarkan per satuan luas dinamakan limpahan pancaran (radiant flux) disingkat limpahan, dengan satuan k al./detik
atau J/detik = Watt (W). Sedangkan limpahan pancaran yang diterima atau dipancarkan per satuan luas dinamakan kerapatan limpahan pancaran (radiant flux density) disingkat kerapatan limpahan dengan satuan kal./cm2/detik ( de Rozari, 1987).

Menurut de Rozari (1987) suhu udara di dekat permukaan mempunyai arti penting bagi kehidupan oleh karena selain kebanyakan bentuk kehidupan terdapat di permukaan, juga ada kaitan erat antara beberapa proses kehidupan dengan suhu. Dari segi biologi, profil suhu udara penting untuk diketahui karena adanya perbedaan yang tajam antara suhu permukaan dengan udara di atasnya, menyebabkan sebagaian organisme hidup berada seketika pada dua rejim suhu yang sangat berlainan.

Sebuah kecambah yang baru muncul, memperoleh cekaman bahang luar biasa dibandingkan dengan cekaman yang akan dialaminya kemudian. Sedangkan dari segi fisika, lebih lanjut dikemukakan bahwa profil suhu menentukan laju pemindahan momentum, bahang serta bahan. Di sisi lain, keadaan dimana suhu udara berkurang menurut ketinggian akan mendukung pemindahan golak, sehingga profil suhu cendrung menunjukan penurunan secara adabiatik kering (dry adabiatic lapse rate). Sedangkan keadaan dimana suhu udara bertambah menurut ketinggian condong menekan pemindahan golak dan dengan demikian mempertajam gradien suhu ( de Rozari, 1987).

Dalam sebuah hutan, suhu udara maksimum biasanya lebih rendah dan suhu minimum lebih tinggi daripada di daerah yang terbuka. Selama siang hari, daun-daun dalam tajuk menghalang-halangi masuknya radiasi matahari ke lantai hutan. Suhu di dalam tajuk dipertahankan melalui transpirasi dari daun-daun. Pengaruh ini mencegah suhu pada siang hari meningkat secara cepat; dengan demikian ruangan di bawah tajuk lebih dingin daripada daerah terbuka selama siang hari. Pada malam hari tajuk pohon mencegah kehilangan panas yang cepat dari lapisan batang melalui radiasi ke angkasa. Oleh karena itu, suhu udara tetap lebih tinggi dibadingkan dengan di luar hutan (Gates, 1980 dalam Wenger, 1984).
Menurut Wenger (1984) dan Sukadaryati et al., (2002) suhu maksimum di dalam hutan adalah berada di bagian atas tajuk. Di bawah lapisan ini, suhu biasanya tetap sampai ke lantai hutan, bahkan sedikit berkurang jika tajuknya rapat.

Apabila tajuk hutan jarang, suhu udara dekat lantai hutan dapat menjadi lebih panas ketimbang suhu udara di dalam tajuk. Pada malam hari puncak tajuk menjadi lebih dingin, yang mengakibatkan inversi sehingga dapat menjerat debu, asap dan CO2 di dalam dan di bawah tajuk. Pada tajuk yang jarang, udara yang dingin dapat turun dan berkumpul di atas permukaan lantai hutan. Jumlah air atau uap air di udara berpengaruh secara langsung terhadap tumbuhan sebagai cekaman lingkungan. Udara kering yang menyebabkan pengeringan tanah yang sangat cepat dan transpirasi tanaman yang luar biasa berpengaruh buruk terhadap tanaman itu sendiri. Kandungan air yang terlalu banyak diudara menghalang-halangi pendinginan daun melalui evaporasi dan dapat mengakibatkan cekaman suhu (thermal stress) (Gates, 1980 dalam Wenger, 1984). Kelembaban relatif sangat dipengaruhi oleh suhu. Perubahan suhu harian mengakibatkan adanya variasi harian dari kelembaban nisbi. Jika suhu meningkat selama jam-jam siang hari, maka kelembaban nisbi akan berkurang sampai mencapai nilai terendah dekat tengah sore hari. Bilamana kelembaban nisbi meningkat sampai mencapai nilai terttingginya sesaat sebelum matahari terbut, maka pada saat itu suhu mencapai nilai terendah.

Umumnya kelembaban di dalam sebuah hutan adalah lebih tinggi daripada tempat terbuka dikarenakan adanya transpirasi dari daun-daun dan suhu yang rendah. Selama siang hari, tanah lantai hutan dan tajuk merupakan sumber kandungan air. Oleh karena itu kelembaban nisbi selama siang hari adalah tertinggi di dekat tanah lantai hutan, lebih rendah pada lapisan batang dan lebih tinggi dari daerah tajuk. Fenomena ini disajikan Gates, (1980 dalam Wenger, 1984). Kelembaban relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan, yakni berkisar 90 % - 96 %, baik dalam hutan alami maupun hutan gundul atau lahan kosong. Pada musim kemarau, kelembaban menurun menjadi 80 %, dan pada bulan-bulan kering berkisar 0 % - 84 % Pada siang hari di muism kemarau, kelembaban dapat mencapai 67 % - 69 %. Tetapi pada pai hari, kelembaban pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan, yaitu dapat mencapai 90 % - 96 % (Rieley, et al., 1996).

Penelitian menunjukan, bahwa unsur tertentu yang terkandung di udara diperlukan untuk pertumbuhan normal bagi tumbuhan. Unsur penting ini harus berada dalam bentuk yang dapat digunakan tumbuhan dan dalam kosentrasi yang optimum untuk pertumbuhan suatu tanaman (Rieley, et al., 1996). Tanaman tingkat tinggi mendapatkan sebagian besar karbon (C) dan oksigen (O) langsung dari udara karena fotosintesis. Sedangkan hidrogen (Hukum) diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari air dalam tanah. Nitrogen diperoleh tumbuhan dari udara tanah secara tidak langsung oleh leguminose. Unsur esensial lainnya diperoleh dari bagian tanah yang padat (Buckman dan Bardy, 1982).
Penjelasan di atas tidak boleh diartikan bahwa jaringan tumbuhan dibangun dari unsur hara tanah, yang benar adalah kebalikannya yaitu bahwa besarnya 94 sampai 99,5 % jaringan tumbuhan yang segar terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen dan hanya 0,5 sampai 5 atau 6 % berasal dari tanah (Daubenmire, 1974).

Wenger (1984) menyatakan bahwa aliran panas dan uap dari daun-daun, pengangkutan karbon dioksida ke daun, penyebaran penyakit, pengakutan aerosol dan unsur-unsur kimia penting serta pemencaran api seluruhnya dikendalikan oleh angin setempat di dalam dan di dekat tajuk serta kecepatan angin dan sifat golak galik udara di luar tajuk. Secara umum, semakin tinggi kecepatan angin dan aliran golak galik udara di luar tajuk, maka semakin efesien diffusi dan ekspresi gas, cairan atau material padat yang melayang diudara.
Tajuk-tajuk hutan memiliki tahanan (drag) di bagian atasnya yang menghambat aliran angin sehingga kecepatan angin di dekat tajuk menjadi lambat. Perubahan kecepatan angin menurut ketinggian ini disebut profil angin (wind profile).Di atas tajuk yang kasar dan luas, profil angin dapat diduga dengan menggunakan rumus berikut (Grace, 1977 dalam Wenger, 1984).
Selanjutnya Wenger (1984) menyatakan bahwa kebanyakan tajuk-tajuk hutan memang ada sedikit peningkatan kecepatan angin yang relatif di lapisan batang pohon. Akan tetapi untuk kebanyakan tujuan praktis kecepatan angin di lapisan tersebut, yaitu di bawah bagian paling rapat dari tajuk dianggap konstan menurut ketinggian.

Buckman dan Brady (1982) mengemukakan, bahwa perubahan kimia dan terutama biologi di dalam tanah, tidak akan berlangsung dengan cukup intensif jika suhu tertentu tidak dipertahankan. Oleh karena itu, suhu tanah merupakan faktor yang sangat penting. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa efek suhu juga bertanggung jawab terhadap pelapukan fisik yang terjadi di dalam tanah. Pendinginan dan pemanasan yang berganti-ganti menimbulkan tekanan pada agregat dan bongkah tanah yang akibatnya mengubah keadaan fisik tanah. Suhu tanah yang sangat mempengaruhi aktivitas biotis awal dan pertumbuhan pohon paling sedikit tergantung kepada tiga faktor, yaitu (1) jumlah bersih panas yang diadsorbsi, (2) energi panas yang diperlukan yang membawa perubahan pada suhu tanah dan (3) energi panas yang dibutuhkan untuk perubahan lain seperti evaporasi (Buckman dan Bardy, 1982).
Menurut Gates (1980) dalam Wanger (1984), jumlah panas yang diadsorbsi oleh tanah ditentukan oleh banyaknya radiasi matahari efektif yang mencapai bumi dan faktor-faktor setempat seperti warna tanah, kemiringan dan vegetasi penutup yang mengubah jumlah bersih panas yang masuk.
Dubenmire (1974) menyatakan bawa warna permukaan tanah mempengaruhi jumlah radiasi yang dapat diadsorbsi dan mengatur jumlah panas yang disimpan dan diradiasikan kembali ke atmosfir. Di sisi lain di kemukakan, bahwa pada pegunungan-pegunungan yang tinggi di daerah lintang tengah belahan bumi utara, pengaruh kemiringan pada lapangan yang terbuka dapat menjadi sangat ekstrim, di mana suhu minimum dari tanah pada kemiringan ke selatan lebih tinggi ketimbang suhu maksimum tanah pada kemiringan ke utara. Adanya naungan juga sangat mempengaruhi pemanasan tanah oleh radiasi matahari, dan di bawah naungan yang lebat suhu permukaan tanah lebih dingin dari pada suhu udara di atasnya selama waktu terpanas dari siang hari. Akan tetapi menurut de Rozari (1987), hubungan di atas belum tentu berlaku umum dan perlu dipelajari untuk setiap macam tanah yang ada.

Menurut Noor (2001) suhu gambut sendiri lebih besar daripada suhu udara antara hutan dan lahan kosong. Suhu permukaan gambut hampir tetap. Jika keadaan tertutup hutan, suhu gambut berkisar 25,5 0C – 29,0 0C dan jika keadaan terbuka berkisar 40,0 0C – 42,5 0C. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang aktivitas mikro organisme sehingga perombakan gambut lebih dipercepat dan intensif, sehingga mempercepat terjadinya degradasi gambut, Oleh karena ruang gerak kehidupan tumbuh-tumbuhan dan mahkluk lainnya terdapat di lapisan terbawah atmosfir, di dekat tanah, maka apabila perhatian difokuskan iklim sebagai salah satu unsur ekosistem sumber daya hutan, yang lebih sangat berkaitan untuk dikaji dalam konteks ini adalah iklim mikro.

de Rozari (1987) menyatakan, iklim mikro sebagai keadaan udara dalam zona yang dibatasi di bagian atas oleh arus yang dicapai tanaman tertinggi dan di bagian bawah oleh tanah atau bagian terbawah dari tanah yang masih bisa dicapai oleh infiltrasi udara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa lapisan terbawah dari atmosfir ini penting karena pada lapisan inilah kebanyakan parameter cuaca mengalami perubahan yang mencolok dalam satu kurun waktu. Penelitian mengenai perubahan iklim mikro hutan akibat kegiatan penebangan dan penyaradan di Indonesia bisa dikatakan hampir belum dilakukan.
Dengan demikian sangat sulit kiranya memperoleh gambaran keadaan iklim mikro setelah penebangan atau penyaradan secara kuantitatif. Menurut Marsono dan Sastrosumarto (1981) dengan terbukanya tajuk dan terjadinya kerusakan mekanis pada tumbuhan dan tanah hutan akibat kegiatan penebangan dan penyaradan maka berubah pula iklim mikro hutan. Intensitas cahaya, kelembaban, suhu, angin dan parameter iklim mikro lainnya adalah faktor-faktor yang berubah akibat penebangan dan penyaradan.

Perubahan iklim mikro ini penting untuk dipantau karena akan mempengaruhi sebaran jenis lokal. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kendatipun begitu banyak faktor lingkungan yang berubah akibat penebangan dan penyaradan, namun ternyata hanya intensitas cahaya, suhu udara dan kelembaban sajalah yang sangat nyata menentukan pertumbuhan tingkat semai. Tingkat semai adalah yang pertama kali yang menderita dengan adanya perubahan iklim mikro akibat pembukaan hutan. Secara umum dapat dikatakan bahwa dengan adanya pembukaan hutan intensitas cahaya yang mencapai lantai hutan akan meningkat, suhu udara dan tanah meningkat dan kelembaban udara berkurang.  Peranan suhu yang penting dalam pertumbuhan pohon atau vegetasi adalah suhu udara dan suhu tanah. Suhu pada tajuk pohon akan mempengaruhi pertumbuhan karena suhu mempengaruhi kecepatan respirasi dan transpirasi. Sedangkan meningkatnya suhu tanah dapat mematikan aktifitas metabolisme (Spurr dan Barnes, 1980). Menurut Smith (1983) pada hutan tropis suhu permukaan tanah hampir tetap yaitu 27°C karena sinar matahari tertahan oleh vegetasi, sehingga hampir sama dengan suhu udara.

Sanchez dalam Bismark (1990) mengatakan bahwa bila pohon di hutan banyak ditebang, maka suhu permukaan tanah dapat meningkat 7 - 11°C. Karena radiasi yang diberikan pada permukaan lebih tinggi. Secara tioritis suhu yang meningkat di bawah tegakan akibat penebangan dan penyaradan memberi petunjuk bahwa kelembabannya menurun. Kemungkinannya adalah vegetasi sebagai salah satu sumber kandungan air sebagian telah hilang karena penebangan dan penyaradan. Akan tetapi dugaan ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut melalui penelitian di lapangan.




v  SUKSESI VEGETASI HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010
Spurr (1964) menyatakan bahwa suksesi merupakan proses yang terjadi terus menerus yang ditandai oleh perubahan vegetasi, tanah dan iklim mikro dimana proses ini terjadi. Selanjutnya Emlen (1973) menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda. Shukla dan Chandel (1982) menyatakan bahwa suksesi adalah suatu proses universal yang kompleks, mulai (awal) berkembang dan akhirnya stabil pada tingkat klimaks. Lebih lanjut dikatakan dimana suksesi pada umumnya progresif dan menghasilkan adanya perubahan habitat dan bentuk kehidupan dalam pertumbuhan tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan bahwa proses suksesi adalah perubahan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi.
Whittaker (1970) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi selama proses suksesi berlangsung adalah sebagai berikut :
(1) Adanya perkembangan dari sifat-sifat tanah, seperti meningkatnya kedalaman tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan meningkatnya perbedaan lapisan horizon tanah.
(2) Terjadinya peningkatan dalam tinggi, kerimbunan dan perbedaan strata dari tumbuh-tumbuhan.
(3) Dengan meningkatnya sifat-sifat tanah dan struktur komunitas, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik meningkat.
(4) Keanekaragaman jenis meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal tingkat suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi.
(5) Populasi meningkat, pergantian suatu populasi oleh populasi lainnya meningkat sampai tingkat yang stabil juga jenis yang berumur pendek digantikan oleh jenis yang berumur panjang.
(6) Kestabilan relatif dari komunitas meningkat pada awal komunitas tidak stabil dimana populasi secara cepat digantikan oleh populasi lain. Sedangkan pada komunitas akhir biasanya stabil dan dikuasai oleh tumbuh-tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi dari komunitas tidak banyak berubah.
Ewusie (1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang memegang peranan penting dalam terbentuknya suatu komunitas, yaitu :
(1) Tersedia kesempatan berkoloni atau bahan-bahan serbuan (invading material) misalnya benih, buah dan spora-spora. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan suatu komunitas tumbuhan pada setiap waktu tertentu.Jadi tergantung bahan yang terbawa ke lokasi tersebut.
(2) Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara alam di lingkungan tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah mulai hidup pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran terhadap lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik.Lingkungan dapat tidak baik untuk perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan semai-semai tertentu sampai tidak dapat tumbuh.Tingkat ini adalah tingkat yang kritis, karena secara umum selang toleransi semai lebih sempit daripada tumbuhan yang sudah dewasa.tentunya perbedaan lingkungan menghasilkan perbedaan pada tingkat seleksi. Sebagai kasus yang ekstrim misalnya pada permukaan batuan telanjang atau bukit pasir, di sini hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh.
(3) Modifikasi lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat yang akan berkoloni pertama tiba pada habitat telanjang tersebut dan mulai tumbuh, komunitas tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat dilihat pada tahap akhir dari perkembangan.
Komunitas hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu komunitas yang dinamis.Komunitas hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Prinsip dasar dalam proses suksesi adalah adanya serangkaian perubahan komunitas tumbuhan (jenis dan strukturnya) bersamaan dengan habitat tempat tumbuhnya (Manan, 1979). Sedangkan Emlen (1973), menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda. Richards (1952) menyatakan bahwa apabila pohon yang besar mati, pohon tersebut akan meninggalkan suatu celah (gap) atau bukaan (opening) di dalam stratum pohon tersebut. Pembentukan suatu celah menyebabkan perkembangan tumbuhan bawah yang cepat. Karena dirangsang pertambahan penyinaran dan mungkin oleh berkurangnya persaingan akar setempat, jenis-jenis pohon muda yang intoleran, yang terdapat di sekitar tumbuhan bawah itu akan lebih cepat tumbuh daripada jenis yang toleran.
Sedangkan Aweto (1981) dan Abdulhadi et al., (1981) menyatakan bahwa “mature forest” pada suksesi sekunder akan terbentuk ± 80 tahun. Jika hutan hujan mengalami kerusakan oleh alam atau manusia (perladangan atau penebangan) maka suksesi sekunder yang terjadi biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau semak. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan kalau keadaan tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka setelah 15-20 tahun akan terjadi hutan sekunder muda, dan sesudah 50 tahun terjadi hutan sekunder tua yang secara berangsur-angsur akan mencapai klimaks.
Keanekaragaman jenis akan meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi (Whittaker, 1970). Keanekaragaman jenis cendrung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk, kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keragaman jenis. Pada komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas yang sederhana dan cendrung untuk memuncak pada tingkat permulaan dan pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada tingkat klimaks (Ewel, 1980; Ricklefs, 1973).
Kellman (1970) menyatakan bahwa proses revegetasi tidak berhubungan dengan keadaan hara tanah pada penelitiannya di daerah tropik di Pegunungan Mindanau Filipina. Tanah yang mengalami suksesi antara 1-27 tahun tidak mempengaruhi hara tanah, oleh sebab itu disimpulkan bahwa perubahan kesuburan tanah tidak begitu penting dalam pergantian suksesi.Keadaan lingkungan sekitarnya seperti radiasi dan temperatur udara merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan vegetasi.Menurutnya kesimpulan ini bertentangan dengan pernyataan yang berulang-ulang, mengenai pentingnya unsur hara yang merupakan faktor yang menentukan jalanya suksesi sekunder pada hutan hujan tropika.
Selanjutnya Tracey (1960) juga menyatakan bahwa faktor fisik tanah tidak mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam menentukan tipe hutan.Goodland dan Pollard (1973) memperlihatkan hubungan yang erat diantara struktur vegetasi dengan unsur N, P dan K pada tanah vegetasi di Cerrado, Brazil. Pada daerah ini terjadi perubahan dari vegetasi herba yang rendah kecil dan jarang, menjadi lebat dimana lapisan tajuk atas 50 % terdiri dari pohon yang tinggi, besar dan pada tanahnya terjadi peningkatan kadar N, P dan K.
Webb (1969) menyatakan bahwa unsur-unsur kimia terutama N, K dan Ca adalah unsur-unsur yang penting untuk menentukan tipe hutan dan kondisi dari kesuburan tanah yang menitik beratkan pada faktor iklim yang menentukan distribusi dari tipe-tipe vegetasi tertentu. Grubb (1977) menyatakan bahwa laju pergerakan dari unsur-unsur hara pada tanah pegunungan tropik dapat menambah keterbatasan unsur hara, ia juga berpendapat bahwa keterbatasan struktur dari hutan hujan pegunungan dapat menyebabkan miskinnya suplai dari N dan P. Suatu contoh yang ekstrim dari respon vegetasi terhadap kondisi tanah adalah rendahnya produktivitas, miskinnya jenis-jenis pohon pada hutan kerangas di daerah tropika (Brunig, 1979; Kartawinata dan Riswan, 1982).
Richards (1952) menyatakan bahwa suksesi pada tanah yang kaya hara tidak jauh berbeda dengan tanah yang miskin hara. Aweto (1981) menyatakan bahwa pada tanah-tanah yang berumur 1,3,7 dan 10 tahun setelah perladangan dan pada hutan primer, peningkatan bahan organik terbatas pada daerah top soil (0-10 cm) dan pada tahun ke sepuluh telah mencapai 78 % dari bahan organik pada hutan primer. Tidak ada perubahan nyata dari nilai pH pada 3 tahun pertama dan setelah itu pH bertambah sampai tahun ke sepuluh.Nilai tukar kation pada lapisan top soil tidak ada peningkatan yang nyata selama tiga tahun pertama, tetapi terdapat peningkatan pada tahun ke tujuh yang diikuti penurunan pada tahun ke sepuluh. Tidak ada peningkatan yang nyata dari nilai tukar kation pada lapisan 10-30 cm.
Ewell (1980) menyatakan bahwa di daerah tropika yang mempunyai musim kering yang periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada musim hujan, tetapi proses ini sebagian juga terjadi pada musim kemarau.
Pada setiap sistem ini, beberapa struktur vegetasi yang terjadi hilang selama musim kering selanjutnya. Proses tersebut berlangsung terus sampai strukturnya mempunyai perubahan yang stabil yang dikatakan sebagai keadaan yang mantap. Di samping perbedaan yang disebabkan oleh air, ada suatu jumlah yang nyata dari variabilitas suksesi tropis yang juga disebabkan oleh temperatur menurut ketinggian, karena suhu rata-rata lebih tinggi di daerah tropis maka lebih banyak didapatkan variasi perubahan vegetasinya dibandingkan daerah non tropis. Suksesi sekunder alami merupakan pembaharuan tegakan hutan secara alami, yakni tumbuhan yang tumbuh sebelum berlangsungnya tindak lanjut pemeliharaan, dan yang akan dapat menjadi tumbuhan hutan. Berdasarkan ukurannya, suksesi sekunder alami dapat digolongkan menjadi suksesi sekunder alami tingkat semai, pancang dan tiang. Tingkat semai adalah suksesi yang tingginya sampai 1,5 meter, tingkat pancang berukuran lebih dari 1,5 meter dengan diameter 10 cm, dan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 – 19 cm (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993).
Meskipun pada pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur TPTI terdapat tahap kegiatan penanaman/pengayaan, akan tetapi suksesi sekunder alami tetap memegang peranan penting dalam pembentukan kembali hutan bekas tebangan. Hal ini antara lain karena masih terbatasnya pengetahuan tentang teknik silvikultur dari jenis-jenis pohon yang akan ditanam yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuh setempat. Disamping itu suksesi sekunder alami adalah juga merupakan indikator keanekaragaman vegetasi yang ada, yang dapat dijadikan titik tolak arah pembinaan yang diperlukan (Indrawan, 2000).
Fox (1976) menyebutkan kendala suksesi sekunder alami di hutan hujan tropika basah adalah menyangkut faktor biologis, lingkungan dan atau manusia. Faktor biologis terutama ditentukan oleh struktur populasi dari tegakannya, yaitu komposisi jenis, distribusi spasial dan jumlah pohon induk. Pada kasus; sebaran jenis Dipetrocarpaceae yang umumnya mengelompok dan sifat yang cendrung mengarah ke “ecotypic diversification” maka komposisi Dipetrocarpaceae yang terbentuk kemudian akan tidak banyak berbeda dari keadaan sebelumnya. Ternyata disamping periode pembungaan/pembuahan yang tidak sama antar jenis, persentase kematian akibat “inter/intra specific competition” adalah juga tidak sama. Oleh karena itu dengan adanya penebangan pohon, jelas bahwa hanya jenis-jenis yang suka cahaya yang akan “survive” (Fox, 1976).
Pembukaan tajuk yang tidak terlalu berat, akan diikuti oleh pembelukaran bersama-sama tumbuhnya jenis pioner yang mengakbatkan adanya perubahan-perubahan keadaan lingkungan (Marsono dan Sastrosumarto, 1980; Kellman, 1970). Keadaan lingkungan yang berubah segera setelah penebangan yaitu, kelembaban, angin, intensitas cahaya adalah akibat “buffer effect” dari belukar tersebut.Akibatnya adalah pada saat “buffer effect” ini mencapai maksimum pertumbuhan, semai kayu berharga mencapai kondisi optimum.Sehubungan dengan ini Marsono (1980) telah mencoba menghubungkan pola pertumbuhan semai jenis Dipterocarpaceae dengan perubahan faktor lingkungan sesudah penebangan.Hasilnya menunjukan pola pertumbuhan faktor-faktor lingkungan yang kompleks.Namun ternyata hanya intensitas cahaya, suhu udara dan kelembaban sajalah yang menentukan. Sedangkan faktor-faktor yang lain seperti Nitrogen, Phosfor tersedia, Potasium, pH dan bahan-bahan organik tanah kurang menentukan (tidak signifikan), walaupun menunjukan kecendrungan/ trend yang sama.
Hasil penelitian di atas sesuai dengan penelitian Kartawinata (1975, 1979) dan Nicholson (1960) yang mengatakan bahwa suhu dan kelembaban yang memadai sangat menentukan pertumbuhan semai Dipetrocarpaceae.Sementara itu Tagudar (1967) di Philipina melaporkan juga bahwa sesudah 5 tahun tebangan terdapat jumlah semai Dipterocarpaceae yang cukup yaitu 5000-30.000 per hektar.Demikian juga Blanche (1975) melaporkan bahwa dengan pembukaan tajuk yang tidak berlebihan jumlah semai Dipterocarpaceae lebih banyak dibandingkan dengan hutan asli. Menurut Marsono et al., (1980) bahwa sekitar 4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan jumlah semai jenis Dipterocarpaceae mencapai keadaan yang optimal. Oleh karena itu untuk menjaga kelestarian produksi pada rotasi ketiga dan seterusnya waktu itulah ( 4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan) saatnya dilakukan inventarisasi cukup atau tidaknya semai. Karena tahun-tahun berikutnya jumlah semai kayu berharga cendrung menurun.Maka sesudah itu (4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan) perlu bantuan/campur tangan manusia berupa tindakan silvikultur untuk membantu jenis Dipterocarpaceae dari persaingan dan menutupnya kembali tajuk.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah mengurangi persaingan dalam bentuk “timber stand improvement”.Kalaupun setelah inventarisasi tidak didapatkan semai yang cukup, tanaman pengayaan kiranya dapat dikerjakan. Selanjutnya Sastrosumarto et al., (1979) menyatakan bahwa jenis-jenis Dipetrocarpaceae yang suka cahaya menghendaki pembukaan tajuk yang tidak terlalu berat. Akibat adanya penebangan yang relatif tidak membuka tajuk terlalu berat, pertumbuhannya terstimulir.Namun beberapa tahun kemudian kompetisi yang makin besar dan menutupnya kembali tajuk menyebabkan posisi jenis Dipterocarpaceae mulai menurun. Sastrosumarto et al., (1979) dan Marsono et al., (1980) dalam penelitian lanjutannya melaporkan bahwa riap tinggi semai jenis-jenis berharga cendrung menurun dibanding dengan jenis lain-lain dengan menutupnya tajuk dan persaingan yang semakin berat. Sementara itu jenis-jenis lain mulai menunjukan pertumbuhan yang lebih baik.
Marsono dan Sastrosumarto (1980) telah melaporkan hasil penelitiannya di Stagen untuk tingkat pancang dengan ukuran indeks nilai penting yang merupakan kehadiran relatif (relative density), ternyata sebelum tebangan sampai 2 tahun jenis Dipetreocarpaceae lebih mendominasi tingkat pancang. Perkembangan selanjutnya ternyata berubah, dengan adanya perubahan/penutupan tajuk.Tajuk berkembang dan mulai menutup sehingga intensitas cahaya berkurang.Jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya terangsang sehingga dominasi berubah.Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa jenis Dipterocarpaceae membutuhkan intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi, tetapi juga bukan di tempat tertutup. Dengan demikian penebangan dan penyaradan akan mengarahkan kepada pertumbuhan jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya, seperti Shorea leprosula, Shorea polyandra. Selanjutnya
Marsono (1980) melaporkan bahwa beberapa jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya tersebut berasosiasi positif dengan tanaman suka cahaya Macaranga sp. Ternyata situasi seperti ini hampir merata untuk beberapa HPH di Kalimantan Timur. Berdasarkan data hasil penelitian Marsono et al., (1980) bahwa beberapa HPH mempunyai persediaan (stocking) pancang jenis-jenis niagawi yang cukup. Marsono et al., (1980) menduga bahwa hal ini disebabkan karena pengamatan mulai dilakukan pada waktu HPH tersebut masih menggunakan highlead untuk penarikan kayu sehingga banyak pohon dan anak pohon yang rusak. Tajuk terbuka berlebihan sehingga menyulitkan jenis ekspor terutama Dipterocarpaceae untuk tumbuh.Akan tetapi kalau jenis niagawi lokal dapat diterima sebagai jenis berharga, persediaan jenis gabungan ini (ekspor + niagawi) telah melampaui standar yang telah ditetapkan.Kenyataan di atas dijumpai pada sekitar 5 sampai dengan 6 tahun sesudah tebangan.Tahun-tahun berikutnya pertumbuhan tajuk begitu cepat demikian juga “nomad species” tumbuh lebih pesat, sehingga intensitas cahaya yang masuk lebih sedikit.        Akibatnya dominasi sapihan Dipterocarpaceae menurun karena harus bersaing dengan keras dengan jenis “light loving plant” tersebut. Dalam hal ini Marsono et al., (1980) menekankan pentingnya pemeliharaan dalam bentuk “timber stand improvement” pada saat yang tepat. Diharapkan dengan usaha tersebut jenis Dipterocarpaceae dapat mempertahankan eksistensinya dan hutan akan mengarah pada komposisi yang lebih sederhana yaitu didukung terutama oleh Dipterocarpaceae yang termasuk “light demanding species” . Pengalaman di Stagen (Marsono, et al., 1980) menunjukan bahwa dengan pembukaan tajuk yang tidak terlalu kuat, masuknya cahaya yang tidak terlalu tinggi intensitasnya merangsang pancang jenis Dipterocarpaceae dengan indeks nilai penting 19,17 ; 48,99 dan 42,59 berturut-turut pada hutan sebelum ditebang 4 tahun dan 6 tahun sesudah tebangan. Untuk memperoleh gambaran suksesi alami tingkat tiang yang ada di lapangan, Soemarna dan Supriadi (1977) telah melakukan inventarisasi suksesi alami pada areal bekas tebangan yang telah berumur 3 – 5 tahun, di Kesatuan Usaha PT. Inhutani II Stagen Kalimantan Selatan. Hasilnya menunjukan bahwa jumlah suksesi alami tingkat tiang dari jenis niagawi adalah 373, 9 pohon tiap hektar, sementara jumlah pancangnya adalah 238, 4 pohon tiap hektar. Akan tetapi pada areal bekas tebangan berumur 3 sampai dengan 5 tahun yang terdapat di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sanggau di Kalimantan Barat, Siswanto dan Soemarna (1986) menemukan tingkat tiang dari jenis niagawi hanya sebanyak 78,7 pohon pada tiap hektar. Untuk daerah Semanggis di KPH Palembang, Soemarna (1978) melaporkan bahwa terdapat tiang dari jenis niagawi sebanyak 245,5 pohon tiap hektar. Keadaan yang sama dengan Stagen dan Semanggis juga dilaporkan oleh Soemarna dan Suyana (1977) di Suban Burung KPH Palembang, Soemarna dan Suyana (1979) di KPH Ketapang Kalimantan Barat, serta Soemarna dan Suyana (1979) untuk kelompok hutan Sungai Tualan KPH Kota Waringin Timur di Kalimantan Tengah.

v  DOMINASI DAN STRUKTUR POHON FLORISTIK HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010
1.      Dominasi dan Struktur Pohon Floristik Hutan Rawa Gambut
Richard (1984) dan Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) memakai istilah dominasi komposisi untuk menyatakan kekayaan floristik suatu tipe hutan.Kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu tegakan yang klimaks.Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian sesar hutan hujan tropika mempunyai komposisi jenis campuran, walaupun tidak selalu demikian dan diduga dalam bentuk asosiasi atau konsosiasi.Soerianegara dan Indrawan (1984) menambahkan bahwa komposisi jenis dibedakan antara populasi (satu jenis) dan komunitas (beberapa jenis).
Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal (profil dan komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan pohon pada suatu kominitas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebut dapat menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan. Pohon-pohon yang terdapat di dalam suatu komunitas hutan alam tropika berdasarkan kenampakan arsitektur, ukuran pohon dan keadaan biologi pohon dibedakan menjadi tiga golongan (Halle et al., 1978), yaitu :
(1) Pohon masa datang (tree of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai kemampuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa mendatang. Pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan dan diharapkan pada masa mendatang akan menggantikan pohon-pohon yang saat ini dominan.
(2) Pohon masa kini (tree of the present), yaitu pohon-pohon yang sedang berkembang penuh dan merupakan pohon yang dominan (menentukan) dalam stratifikasi saat ini. (3) Pohon masa lampau (tree of the past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dn mulai mengalami kerusakan yang selanjutnya akan mati.
           Menurut Sugden (1983), untuk mengetahui komposisi jenis disuatu daerah, maka perlu mengetahui sifat-sifat suatu jenis seperti penyebaran, fisiologi dan bentuk reproduksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa komposisi jenis komunitas hutan sangat beragam tetapi setiap jenis dalam suatu habitat mempunyai sifat-sifat yang hampir sama.
Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan.
  Samingan (1996) menjelaskan dalam kerangka pemanfaatan hutan perlu mengetahui komposisi jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Selain itu Soerianegara dan Indrawan (1984) mengemukakan pentingnya mengetahui komposisi. Dikatakan komposisi; hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Struktur vegetasi adalah menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunaan dalam menentukan stratifikasi (vertikal dan horizontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan, kodominan dan tertekan (Richards, 1984).
Interaksi dalam suatu komunitas tercermin dari struktur dan komposisi vegetasi. Stratifikasi yang terjadi pada suatu komunitas tumbuhan di hutan terjadi karena adanya persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis vegetasi lain, pohon-pohon tinggi dari lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang ada dibawahnya (Soerianegara dan Indrawan, 1984).
Dominasi suatu jenis ditentukan oleh indeks nilai pentingnya. Jenis vegetasi yang dominan adalah yang paling tinggi indeks nilai pentingnya. Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), indeks nilai penting adalah jumlah dari frekuensi relatif, dominasi relatif dan kerapatan relatif.
Kegunaan mengetahui struktur baik vertikal maupun horizontal oleh para ahli dilihat dari berbagai aspek. Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), struktur tegakan secara horizontal berguna sebagai dasar (a) penaksiran volume kayu per satuan luas, (b) penentuan jarak tanam, dan (c) penilaian biaya pemungutan hasil hutan. Soerianegara dan Indrawan (1984) menambahkan, struktur vegetasi hutan merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Sedangkan struktur vertikal sangat berguna berkaitan dengan kebutuhan cahaya, yaitu toleransi suatu jenis terhadap cahaya matahari (Smith, 1980). Soerianegara dan Indrawan (1984) membagi stratifikasi tajuk dalam hutan hujan tropika ke dalam lima lapisan sebagai berikut :
1) Lapisan A, lapisan teratas, ditandai oleh tajuk yang terputus, biasanya tinggi pohon 30 meter ke atas.
(2) Lapisan B, secara umum tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara 20 meter sampai 30 meter.
(3) Lapisan C, tajuk tidak terputus, tinggi pohon antara 4 meter sampai 20 meter.
(4) Lapisan D, lapisan perdu dan semak, tinggi antara 1 meter sampai 4 meter.
(5) Lapisan E, lapisan tumbuhan penutup tanah, tinggi kurang 1 meter.

        Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), diagram profil hutan adalah salah satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horizontal, tetapi diagram profil hanya bersifat kuantitatif dan sulit menentukan lokasi yang mewakili komunitas hutan.
Dalam pembuatan diagram profil, perubah yang diukur adalah tinggi pohon total, tinggi pohon bebas cabang, diameter pohon dan proyeksi tajuk (Tarquebiau, 1982). Ditambahkan oleh Oldeman (1983) untuk mempelajari arsitektur pohon dengan cara pembuatan diagram profil diperlukan data sebagai berikut (a) unit regenarasi (eco-unit), (b) perkembangan mosaik (a chrana-unit), dan (c) mosaik suksesi (a silvatic-unit).

2.      Pola Sebaran Spasial Floristik Hutan Rawa Gambut
          Pola sebaran spasial vegetasi merupakan karakter penting dalam komunitas ekologi hutan rawa gambut. Hal ini biasanya merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan hal yang sangat mendasar dari kehidupan suatu organisme (Ludwig & Reynold, 1988). Pola sebaran spasial ini merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970).
          Menurut Ludwig & Reynold (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial adalah :
(1) Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan (misalnya angin, intensitas cahaya, dan air).
(2) Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi
(3) Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya kompetisi).
(4) Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa faktor di atas.
          Terdapat tiga pola dasar sebaran spasial, yaitu (a) acak atau random, (b) mengelompok atau clump, (c) seragam atau uniform (Odum, 1986; Ludwig & Reynold, 1988; McNaughton&Wolf, 1990). Pola acak terbentuk sebagai akibat dari lingkungan yang homogen (Odum, 1986; Ludwig & Reynold, 1988) atau perilaku yang non selektif (Ludwig & Reynold, 1988; McNaughton&Wolf, 1990). Pola sebaran non acak (mengelompok atau seragam) menunjukan bahwa terdapatnya suatu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig & Reynold, 1988). Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang lain di dekatnya. Sedangkan pola sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok. Sebaran suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku bagi organisme yang mempunyai kisaran kemampuan adaptasi yang sempit (Krebs, 1978).
          Selanjutnya Krebs (1978) menyatakan bahwa tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain iklim, faktor edafis dan interaksi dengan tumbuhan lain.
Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropika merupakan kunci penting untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama, et.al., 1999).

          Manokaran (1992) mengungkapkanberdasarkan penelitian mengenai pola spasial di Hutan Cadangan Pasoh Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies tergantung pada topografi, kelembaban tanah posisi pohon induk, dan celah kanopi.
3. Celah Kanopi/ Rumpang Floristik Hutan Rawa Gambut
          Celah kanopi (rumpang atau gap atau chablis) merupakan kejadian alam yang umum dijumpai di hutan tropika. Celah terjadi akibat pohon yang mati/patah/ rebah batang atau dahan pohon oleh berbagai faktor seperti mati karena usia, angin, tanah longsor, penebangan pohon dan sebagainya (Hartshorn, 1986). Selanjutnya Whitmore (1986) mengungkapkan bahwa selain terbentuknya celah rebahnya pohon-pohon besar akan menghasilkan gundukan atau lubang pada tanah akibat terbongkarnya tanah oleh akar-akar pohon yang rebah. Terbentuknya celah merupakan titik kritis bagi permudaan dan perkembangan dari banyak jenis pohon penyusun tajuk hutan di hutan rawa gambut.
          Celah di hutan oleh Halle (1976) dibagi menjadi tiga bagian: (a) the crown gap (celah yang disebabkan tajuk pohon), (b) the epicenter (daerah yang menerima tumbukan batang pohon dan dahan-dahan besar), dan (c) the periphery around the epicenter (daerah tumbukan ranting-ranting kecil dan daun). Pada daerah crown gap, cahaya matahari akan langsung mengenai vegetasi yang ada dan pembentukan hutan akan cepat tanpa melalui tahap pionir.
          Pada daerah epicenter, tanah akan langsung mendapat cahaya matahari, bahkan pohon-pohon muda banyak yang rusak, karena daerah ini merupakan bagian yang kuat mendapat tumbukan tajuk. Pada daerah epicenter, silvigenesis dimulai dari tumbuhan herba pada waktu selama dua tahun. Batang pohon akan hilang pada waktu sepuluh tahun, tumbuhan herba akan hilang dan digantikan oleh komunitas pionir sampai umur 25 tahun komunitas dominan. Di bawah tegakan pionir mulai tumbuh jenis nomads, setelah berumur 30 tahun komunitas pionir akan lenyap pada waktu bersamaan, setelah 40-50 tahun komunitas nomads akan berkuasa. Tidak seperti pionir, komunitas nomads tidak mati pada waktu yang bersamaan, oleh karena itu flora akan kaya oleh komunitas nomads. Komunitas nomads dapat
hidup
± 100 tahun. Selanjutnya komunitas nomads akan mati dan digantikan oleh pohon-pohon jenis klimaks dan flora yang kaya akan jenis. Komunitas chablis akan sama dengan komunitas sekitarnya ± 200 tahun.
          Terbukanya celah mengakibatkan pengurangn kompeteisi akar dan perubahan iklim mikro seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya, peningkatan temperatur dan menurunnya kelembaban (Hartshorn, 1986). Celah juga dapat meningkatkan kandungan hara dengan membusuknya tanaman yang mati, mengurangi kompetisi akar, serta merubah relief mikro dan profil tanah (Whitmore, 1986). Hal lain yang penting adalah dengan terbentuknya celah berarti berkurang atau hilangnya pengendalian oleh jenis dominan terhadap anakan pon yang ada dibawahnya. Keberadaan dan pertumbuhan dari berbagai spesies pon sangat berkaitan erat dengan ukuran celah dan posisi spesies dalam celah, terutama pada tingkat semai. Ketahanan dan keberadaan pon pada tingla semai adalah lebih besar pada celah dibabdingkan kanopi tertutup (Gray&Spies, 1996). Permudaan dalam celah adalah statu mekanisme penting dalam memelihara populasi dan comunitas dalam hutan rawa gambut.
          Karakteristik celah berupa ukuran dan kepadatan celah kanopi sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan permudaan (Yamamoto, 1995). Usuran celah juga dapat mempengaruhi jenis mana yang dapat mengkolonisasi suatu celah (Hartshorn, 1986).
          Keadaan menyangkut celah kanopi seperti dijelaskan di atas berperan
menciptakan suatu mekanisme suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan dinamika pada komposisi dab struktur comunitas tegakan (Hartshorn, 1986).
Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai usuran, karenanya ukuran celah merupakan suatu hal penting yang berpengaruh terhadap komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat yang mendukung penyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan pengaruh terhadap pola sebaran spasial jenis pon dikemukakan oleh Armesto et.al. (1986) dalam Yamamoto (1995) yang mengemukakan bahwa kerusakan dalam skala besar (seperti gempa, badai) meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random, sedangkan celah yang diakibatkan pohon tumbang (seperti penebangan dan penyaradan) meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar secara mengelompok.





v  IMPLIKASI PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN TERHADAP DEGRADASI HUTAN RAWA GAMBUT
Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010
Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat besar peranannya bagi kepentingan hidup manusia dan lingkungan hidup. Berdasarkan pola pemanfaatan lahan dari hasil rembugan Tata Guna Hutan Kesepakatan , tercatat bahwa jumlah luas hutan di Indonesia adalah 143.970.615 ha, yang terdiri dari hutan tetap 113.433.215 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi 30.537.400 ha. Berdasarkan fungsinya, hutan tetap terdiri dari hutan lindung seluas 30.316.100 ha, hutan suaka alam dan hutan wisata 18.725.215 ha, hutan produksi terbatas 30.525.300 ha dan hutan produksi tetap 33.886.600 ha (Dephut, 2004).
Berfokus pada pemanfaatan hutan produksi di hutan tetap pada mulanya eksploitasi hutan melalui kegiatan pembalakan (logging) dimulai dari hutan yang berpotensi tinggi pada lapangan bertopografi relatif ringan yang secara ekologis tidak mudah terganggu keberadaanya. Akan tetapi karena tekanan permintaan akan hasil hutan terus meningkat, maka kegiatan pembalakan dewasa ini sudah mencapai tempat-tempat yang jauh dan sulit medannya, bahkan pada areal dengan katagori hutan produksi terbatas (Dephut, 1998).
Peranan faktor lingkungan erat hubungannya dengan tindakan manusia terhadap keseimbangan ekosistem sumber daya hutan.Gangguan berupa eksploitasi hutan adalah gangguan yang cukup drastis terhadap keseimbangan ekosistem hutan terutama di tempat-tempat yang ekologisnya rawan (Sist dan Bertault, 1998; Shariff dan Miller, 1991; Soerianegera, 1992).
Akan tetapi di sisi lain, pemanfaatan hutan yang optimal juga penting untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hasil hutan yang makin besar. Dengan demikian, gangguan kegiatan eksploitasi terhadap ekosistem sumber daya hutan masih dapat diperkenankan, asalkan terbatas pada intensitas dimana batas daya dukung sumber daya hutan belum terlampaui.Batas-batas tersebut berupa batas toleransi perubahan faktor-faktor lingkungan hutan yang masih mencerminkan keseimbangan dinamis dari ekosistem sumber daya hutan.
Bertolak dari bagan sederhana tersebut, diperoleh gambaran bahwa gangguan pada salah satu unsur ekosistem akan mengakibatkan gangguan pula pada unsur lainnya karena adanya hubungan timbal balik diantara ketiga unsur ekosistem tersebut. Gangguan terhadap lingkungan hutan dapat terjadi karena adanya aplikasi satu atau lebih gatra pembalakan yang menyebabkan kemampuan areal tersebut untuk berproduksi atau beregenerasi menjadi turun atau hilang sama sekali. Gangguan tersebut dapat berupa menurunnya populasi dan keanekaragaman jenis vegetasi dan satwa, berubahnya aliran mantap (water yield) dan kualitas air, berubahnya kesuburan dan sifat fisik tanah serta berubahnya iklim mikro sehingga menyebabkan ekosistem hutan berubah. Perubahan ini sesuai dengan prinsip alam lingkungan holocoeonetik, yaitu bila suatu faktor lingkungan berubah, maka perubahan ini akan mempengaruhi faktor-faktor lainnya (Wenger, 1984; Soerianegara dan Indrawan, 1984; Indrawan, 2000).
Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya (Dephut, 1998).Sistem silvikultur pada hakekatnya merupakan program perlakuan untuk seluruh rotasi.Batasan ini membantu menjamin beberapa keseragaman dan kontinuitas jangka panjang dari perlakuan yang diterapkan. Berdasarkan hal tersebut, perhatian harus difokuskan pada langkah genting (crucial step) dari regenerasi tegakan, oleh adanya pengertian yang keliru bahwa sistem silvikultur adalah sama dengan metode penebangan regenerasi hutan, yang dapat menyebabkan tegakan menjadi hilang karenanya (Soerianegara dan Indrawan, 1984; Dephut, 1998; Sist dan Bertault, 1998). Perkembangan sistem silvikultur di Indonesia masih terus berlangsung setelah Direktorat Jenderal Kehutanan berubah statusnya menjadi Departemen Kehutanan pada tahun 1983.
Dalam rangka penyempurnaan sistem silvikultur untuk pengusahaan hutan produksi alam di Indonesia, sesuai dengan buku Rencana Pengembangan Tahun Kelima (REPELITA V) 1989/1990 – 1993/1994, Menteri Kehutanan telah mengeluarkan keputusan Nomor 485/Kpts/II/1989 tanggal 18 September 1989 tentang sistem silvikultur Pengelolaan Hutan Produksi Alam di Indonesia. Dalam keputusan tersebut telah ditetapkan antara lain bahwa pengelolaan hutan produksi alam dapat dilakukan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis dengan Permudaan alami Alam (THPA) dan Tebang Habis dengan Permudaan alami Buatan (THPB) (Dephut, 1998).
Pelaksanaan sistim silvikultur TPTI di hutan rawa gambut didasarkan pada Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989. Penetapan sistim silvikultur TPTI yang ada harus diselaraskan dengan tipe hutan yang bersangkutan.Hutan rawa gambut seperti halnya tipe-tipe hutan lainnya (kecuali hutan mangrove yang berstatus hutan produksi) pengelolaannya masih berpedoman pada sistim silvikultur TPTI yang selama ini diterapkan untuk hutan tanah darat/kering.Mengingat kondisi ekologisnya berbeda maka perlu dibuat sistim silvikultur tersendiri (Sutisna, 1985; Soerianegera dan Indrawan, 1984; Sist dan Bertault, 1998). Pada waktu disusunnya sistim silvikultur TPTI (semula TPI) didasarkan pada pengetahuan tentang komposisi, struktur dan pertumbuhan hutan tanah kering dengan dasar riap jenis-jenis Dipterocarpaceae. Jadi penerapan sistim silvikultur TPTI untuk tipe-tipe hutan lainnya, seperti hutan rawa, hutan rawa gambut dan tipe hutan lain masih memerlukan penelitian sinekologi (komposisi dan struktur hutan, penyebaran suatu jenis, permudaan alami, tumbuh dan riap, serta fenologi) dan autoekologi (syarat-syarat keadaan tempat tumbuh, siklus hara mineral, dan siklus air).
Hubungan kesuburan tanah dan iklim dengan produktivitas hutan rawa gambut belum banyak terdokumentasi (Sutisna, 1985; Nguyen, 1998; Elias et al., 1997; Sist dan Bertault, 1998). Penebangan hutan alam dengan sistem silvikultur TPTI jelas akan menurunkan kelimpahan dan keragaman jenis dalam hutan alam sampai dalam bentuk perubahan struktur, bentuk komunitas flora-fauna dan berakhir pada gangguan terhadap ekosistem (Soenarno, 1996). Pada hutan alam, penebangan dengan sistim TPTI pada pohon-pohon yang berdiameter ³ 50 cm akan berpengaruh pada struktur tegakan dan komposisi yang meliputi keanekaragaman jenis, indek kesamaan komunitas, kerapatan, frekuensi dan dominasi. Struktur dan komposisi hutan sebelum ditebang akan mempengaruhi struktur dan komposisi hutan bekas tebangan, makin banyak jumlah jenis pohon yang hilang berarti tidak menguntungkan pada kelestarian jumlah jenis tumbuhan di hutan alam (Soenarno, 1996; Indrawan, 2000; Siregar et al., 2000).
Ada kecendrungan yang sangat merugikan dalam pelaksanaan sistem silvikultur TPTI yang tidak terkontrol yaitu pada pelaksanaan permudaan alam dan buatan yang hanya mementingkan pada jenis-jenis komersil, usaha permudaan alam dan buatan yang didasarkan hanya pada jenis komersil yang ditebang dan ini umumnya berlaku pada sistem silvikultur TPTI, akan dapat makin merubah komposisi jenis dihutan alam bekas tebangan (Soenarno, 1996). Apabila sistem silvikultur TPTI dan pengembangannya selalu mengutamakan permudaan buatan dan alam jenis komersil saja tanpa memperhatikan jenis non komersil yang hancur dan rusak sewaktu penebangan dan penyaradan kayu melalui jalan sarad dilakukan, maka areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) bekas TPTI nantinya akan cendrung mengarah ke hutan dengan tegakan yang hanya terdiri dari beberapa jenis komersil saja, maka fungsi HPH dalam melestarikan keanekaragaman hayati tidak dapat diharapkan (Koesmawadi, 1996; Indrawan, 2000; Dalfelt, et al., 2000). Di sisi lain, pedoman TPTI tidak memuat standar baku yang menerangkan tingkat ukuran dan toleransi dari suatu dampak. Misalnya dampak terhadap tegakan tinggal, iklim mikro maupun sifat tanah. Padahal, informasi ini penting untuk mendapatkan ketegasan bagi pengelolaan hutan bekas tebangan ini lebih lanjut agar potensialnya minimal sama dengan sebelumnya. Pembukaan wilayah hutan dalam kegiatan hutan alam adalah semua aktifitas/ kegiatan yang ditujukan untuk pengelolaan hutan dan transportasi hasil hutan keluar dari areal hutan yang harus disertai pula usaha-usaha untuk mengurangi atau menghindari kerusakan (Elias, 1994).
Transportasi pengakutan kayu tebangan (logging transportation) pada pembukaan wilayah hutan di areal hutan rawa yang mempunyai topografi kurang dari 3 % yang digunakan adalah dengan sarana jalan rel kereta lokomotif. Pembuatan jalan rel dilakukan karena jika mempergunakan jalan darat (jalan tanah) tidak akan bisa dilalui kendaraan, hal ini disebabkan terlalu banyak air (becek/banjir) akibat dari sifat tanah gambut yang lunak dan berair (Endom dan Basri, 2001). Pembuatan jalan dengan menggunakan jalan rel dan jalan sarad ongkak dengan sistim kuda-kuda (logging extraction manual system) membawa konsekuensi berupa penggunaan kayu untuk bantalan rel dan bantalan kuda-kuda ongkak, dan umumnya kayu-kayu yang digunakan adalah kayu-kayu dari pohon berdiameter kecil dan jenis-jenis kayu non komersial. Pembuatan jalan ini juga berakibat terbentuknya koridor di hutan yang cukup lebar yang akan berpengaruh terhadap iklim mikro hutan.
Perubahan iklim dalam areal HPH berbentuk iklim mikro.Faktor-faktor iklim yang dapat berubah adalah suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara dan intensitas cahaya yang masuk ke dalam hutan (Koesmawadi, 1996; Indrawan, 2000; Dalfelt, et al., 2000).
Perubahan iklim mikro ini akan cukup besar terjadi pada areal hutan yang terbuka untuk pengakutan kayu melalui jalan rel, jalan sarad, tempat penumpukan kayu (log pond), dan lokasi pemukiman (base camp). Areal ini akan mengalami perubahan iklim mikro secara terus menerus selama masih digunakan. Perubahan iklim mikro yang kalau dilihat dari angka perubahan atau persentase perubahan mungkin terlihat kecil tetapi pengaruh pada kehidupan tumbuhan dapat sangat besar, terutama beberapa jenis tumbuhan yang sangat sensitif terhadap perubahan iklim mikro, perubahan struktur tegakan dan komposisi jenis ini akan mempengaruhi keadaan habitat yang berkecendrungan terjadinya perubahan perubahan ekologissnya (Koesmawadi, 1996; Indrawan, 2000; Dalfelt, et al., 2000).


DAFTAR PUSTAKA

Jumin, Hasan Basri. 1992. Ekologi Tanaman. Rajawali Press: Jakarta
Michael, P. 1995. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. UI Press: Jakarta.
Rahardjanto, Abdulkadir. 2001. Ekologi Umum. Umm Press: Malang.
Rohman, Fatchur dan I Wayan Sumberartha. 2001. Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan. JICA: Malang.
Syafei, Eden Surasana. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. ITB: Bandung.
Wolf, Larry dan S.J McNaughton. 1990. Ekologi Umum. UGM Press: Jogjakarta.
Http://elfisuir.blogspot.com /search/label/EKOLOGI POPULASI
http://zaifbio.wordpress.com/2009/01/30/deskripsi-dan-analisis-vegetasi-floristika-dan-non-floristika/ 
Http://elfisuir.blogspot.com /search/label/STRUKTUR FLORISTIK EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU



Tidak ada komentar:

Posting Komentar