HUTAN RAWA GAMBUT
Pengertian
hutan rawa gambut
Hutan rawa
gambut merupakan hutan dengan lahan basah yang tergenang yang biasanya terletak
di belakang tanggul sungai (backswanp). Hutan ini didominasi oleh tanah-tanah yang
berkembang dari tumpukan bahan organik, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut
atau tanah organic (Histosols). Dalam skala besar, hutan ini membentuk kubah
(dome) dan terletak diantara dua sungai besar.
Hutan rawa gambut merupakan kombinasi tipe hutan formasi klimatis (climaticformation) dengan tipe hutan formasi edaphis (edaphic formation). Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah temperatur,
kelembaban, intensitas cahaya dan angin.
Hutan rawa gambut terdapat pada daerah-daerah tipe iklim A dan B dan tanah organosol
dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih.
Pada umumnya
terletak di antara hutan rawa dengan hutan hujan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). MenurutSoerianegara (1977) dan Zuhud serta
Haryanto (1994), hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang tebalnya berkisar 1 – 2
meter dan digenangi air gambut yang berasal dari air hujan (miskin hara, oligotrofik) dengan jenis tanah
organosol.
Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur
Pulau Sumatera dan
merupakan jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan pantai timur, di
Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke
Selatan dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke bagian hilir Sungai
Barito. Di samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian
selatan Papua. Terdapat 400 juta hektar lahan gambut di dunia, 90 %
diantaranya terdapat di daerah temperate dan 10 % sisanya berada di daerah
beriklim tropis. Indonesia sendiri mempunyai 20.6 juta Ha atau 10.8 % luas
daratan Indonesia. 35% di Sumatera, 32% di Kalimantan, 3% di Sulawesi dan 30%
di Papua. Fungsinya yang penting bagi keseimbangan ekosistem membuat lahan ini
patut dipertahankan. Sementara menurut Widjaya-Adhi 4,19 juta hektar hutan rawa
gambut Indonesia telah dialihfungsikan.
Tanah Gambut
Tanah gambut
(Organosols = Histosols) terbentuk dari lapukan bahan organik terutama dari
tumpukan sisa-sisa jaringan tumbuhan di masa lampau. Pada tahap awal, proses
pengendapan bahan organik terjadi di daerah depresi atau cekungan di belakang
tanggul sungai. Dengan adanya air tawar dan air payau yang menggenangi daerah
depresi, proses dekomposisi bahan organik menjadi sangat lambat. Selanjutnya
secara perlahan-lahan terjadilah akumulasi bahan organik, yang akhirnya
terbentuk endapan gambut dengan ketebalan yang bervariasi, bergantung pada
keadaan topografi tanah mineral di bawah lapisan gambut (Widjaja-Adhi et al.
2000; Subagjo 2006). Menurut Soil Taxonomy, tanah gambut adalah tanah yang
tersusun dari bahan organik dengan ketebalan minimal 40 atau 60 cm, bergantung
pada bobot jenis (BD) dan tingkat dekomposisi bahan organik. Sedangkan bahan
organik adalah: 1) Apabila dalam keadaan jenuh air, mempunyai kandungan
C-organik paling sedikit 18% jika kandungan liatnya 60% atau lebih; atau
mempunyai Corganik 12% atau lebih jika tidak mempunyai liat; atau mempunyai
C-organik lebih dari {12 + (% liat x 0, 10)}% jika kandungan liat 0−60%. 2)
Apabila tidak jenuh air, mempunyai kandungan C-organik minimal 20 %. Dalam
praktek digunakan kedalaman minimal 50 cm, dengan definisi bahan tanah organik
mengikuti batasan Soil Taxonomy tersebut. Proses dekomposisi bahan organik
dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu fibrik, hemik, dan saprik. Dalam
pemanfaatan lahan gambut, perlu diperhatikan faktor ketebalan gambut.
Identifikasi dan pengelompokan ketebalan gambut dibedakan atas empat kelas,
yaitu: 1) gambut dangkal (50−100 cm), 2) gambut sedang (101−200 cm), 3) gambut
dalam (201−300 cm), dan 4) gambut sangat dalam (> 300 cm). Tanah dengan
ketebalan lapisan gambut 0−50 cm dikelompokkan sebagai tanah mineral bergambut
(peaty soils).
1. ProsesTerjadinya
Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut terbentuk dalam 10.000 – 40.000 tahun. Awalnya
berupa cekungan yang menahan air tidak bisa keluar. Setelah 5.000 tahun, maka
permukaan akan naik. Lama-kelamaan hutan rawa gambut secara bertahap akan
tumbuh. Karena air tidak keluar dan terjadi pembusukan kayu, maka terjadi
penumpukan nutrient. Kalau kawasan rawa gambut dibuka, maka air dan nutriennya
akan keluar, dan yang akan terjadi adalah kawasan rawa gambut akan dangkal dan
unsur hara sangat sedikit.
2. Komposisi
Tanah Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut merupakan
kombinasi tipe hutan formasi klimatis (climatic formation) dengan tipe hutan
formasi edaphis (edaphic formation). Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan
vegetasi adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin.
Hutan rawa gambut terdapat pada
daerah-daerah tipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan gambut
setebal 50 cm atau lebih. Pada umumnya terletak di antara hutan rawa dengan
hutan hujan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Menurut Soerianegara (1977)
dan Zuhud serta Haryanto (1994), hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang
tebalnya berkisar 1 – 2 meter dan digenangi air gambut yang berasal dari air
hujan (miskin hara, oligotrofik) dengan jenis tanah organosol.
Menurut Soil Taxonomy, tanah gambut adalah tanah yang
tersusun dari bahan organik dengan ketebalan minimal 40 atau 60 cm, bergantung
pada bobot jenis (BD) dan tingkat dekomposisi bahan organik. Sedangkan bahan
organik adalah:
§ Apabila dalam keadaan jenuh air, mempunyai kandungan
C-organik paling sedikit 18% jika kandungan liatnya 60% atau lebih; atau
mempunyai Corganik 12% atau lebih jika tidak mempunyai liat; atau mempunyai
C-organik lebih dari {12 + (% liat x 0, 10)}% jika kandungan liat 0−60%.
§ Apabila tidak jenuh air, mempunyai kandungan C-organik
minimal 20 %. Dalam praktek digunakan kedalaman minimal 50 cm, dengan definisi
bahan tanah organik mengikuti batasan Soil Taxonomy tersebut. Proses
dekomposisi bahan organik dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu fibrik,
hemik, dan saprik. Dalam pemanfaatan lahan gambut, perlu diperhatikan faktor
ketebalan gambut. Identifikasi dan pengelompokan ketebalan gambut dibedakan
atas empat kelas, yaitu:
o Gambut dangkal (50−100 cm),
o Gambut sedang (101−200 cm)
o Gambut dalam (201−300 cm)
o Gambut sangat dalam (> 300 cm).
Secara kimiawi, tanah gambut
umumnya bereaksi masam (pH 3,0-4,5). Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi
(pH 4,0-5,1) daripada gambut dalam (pH 3,1-3,9). Kandungan basa (Ca, Mg, K dan
Na) dan kejenuhan basa rendah. Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah
sampai sedang, dan berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total
termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N
tinggi. Kandungan unsur mikro, khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun
kandungan besi (Fe) cukup tinggi (Tim Sintesis Kebijakan, 2008)
Berdasarkan sifat hidup atau tidaknya,
komponen ekosistem dibagi dua:
§
Komponen Biotik : Komponen Hidup
Terdiri atau flora, fauna, maupun manusia yang hidup dalam suatu lingkungan
ekosistem, dalam hal ini adalah hutan rawa gambut.
§
Komponen Abiotik : Komponen Tidak Hidup
Terdiri atas
komponen penyusun lingkungan seperti cahaya matahari, nutrient, air, udara,
tanah, dan komponen lain dalam hutan rawa gambut.
Berikut beberapa karakteristik
lingkungan abiotik Kawasan hutan Rawa gambut:
Kapasitas Menahan Air à Menurut Suhardjo dan Dreissen
Lahan gambut mampu menyerap air hingga 850% dari berat keringnya. Oleh se bab
itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penghambat air saat musim hujan dan
melepaskan air saat musim kemarau. Besarnya kapasitas penahan air lahan gambut
menyebabkan penggundulan hutan gambut membuat lingkungan sekitar rawan banjir
dan rembesan air laut kedalam tanah.
Kering Tak Balik (Hydrophobia Irreversible) à
Sifat lahan
gambut yang kering tak balik maksudnya ketika terjadi alih fungsi lahan gambut
dan diganti dengan sistem irigasi dan drainase berupa parit menyebabkan lahan
gambut kering dan sulit memunculkan fungsinya kembali sekalipun lahan ini
dijadikan hutan lagi. Hal ini disebabkan proses terbentuknya lahan gambut yang
rumit dan dalam jangka waktu yang panjang.
Daya hantar Hidrolik à Gambut memiliki daya hantara hidrolik
(atau daya penyaluran air) secara horizontal cepat. Dalam artian gambut dapat
menghantar unsur hara dengan mudah secara horizontal sedangkan daya penyaluran
air vertical yang lambat berarti gambut lapisan luar (atas) cenderung kering
meskipun bagian bawah hutan rawa gambut sangat basah
Daya tumpu à Pori tanah yang besar dan kerapatan
rendah menyebabkan Tanah Gambut memiliki daya tumpu yang lemah. Dengan kata
lain tanaman yang tumbuh di hutan ini cenderung murah roboh. Apalagi hutan ini
disominasi tumbuhan yang berakar serabut guna mengatur kadar air yang masuk
didaerah basah seperti ini.
Mudah Terbakar à Sifat lahan gambut yang kaya nutrient
dan relative kering dipermukaan menyebabkan lahan gambut mudah terbakar.
Biasanya kebakaran gambut ini sulit dipadamkan karena cepat menjalar ke lapisan
dalam gambut.
Kesuburan Gambut à Kesuburan gambut dibagi menjadi tiga
tingkatan :Eutropik (subur), Mesotropik (sedang),Oligotopik (tidak subur)
Pengikat karbon yang baik à Fungsi sebagai pengikat karbon hutan
rawa gambut sangat membantu keseimbangan iklim global mengingat emisi karbon
diudara dituduh sebagai penyebab utama pemanasan global yang terjadi
belakangan.
3. Pembagian
Hutan Rawa Gambut
Tanpa memandang tingkat
dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan bahan induknya menjadi tiga
(Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
§ Gambut endapan: Gambut endapan biasanya tertimbun di
dalam air yang relatif dalam.
§ Berserat: Gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air
tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi
§ Gambut kayuan: Gambut kayuan biasanya terdapat
dipermukaan timbunan organik.
Menurut kondisi dan
sifat-sifatnya, gambut di sini dapat dibedakan atas:
Gambut topogen ialah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena
genangan air yang terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang
pantai, di pedalaman atau di pegunungan. Gambut jenis ini umumnya tidak begitu
dalam, hingga sekitar 4 m saja, tidak begitu asam airnya dan relatif subur; dengan zat hara yang berasal dari lapisan tanah mineral di dasar cekungan, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan. Gambut topogen relatif tidak banyak dijumpai.
Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua
gambut ombrogen bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua
umurnya, pada umumnya lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan
permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya.
Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut
dan dari air hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang
keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5), mengandung banyak asam humus dan warnanya coklat kehitaman seperti warna air teh yang pekat. Itulah sebabnya sungai-sungai semacam
itu disebut juga sungai air hitam.
4.
Vegetasi Hutan Rawa
Gambut
Di Indonesia
tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur Pulau Sumatera dan
merupakan jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan pantai timur, di
Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke
Selatan dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke bagian hilir Sungai
Barito. Di samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian
selatan Papua.
Jenis-jenis
pohon yang banyak terdapat pada tipe hutan ini diantaranya adalah Alstonia spp,
Tristania spp, Eugena spp, Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra,
Dactylocladus stenostacys, Diospyros spp dan Myristica spp. Jenis-jenis pohon
terpenting yang terdapat pada formasi hutan rawa gambut adalah : Campnosperma
sp., Alstonia sp., Cratoxylon arborescens, Jackia ornata dan Ploiarium
alternifolium).
Menurut Witaatmojo (1975) pada
hutan rawa gambut umumnya ada tiga lapisan tajuk, yaitu lapisan tajuk teratas
yang dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mentibu
(Dactylocladus stenostachys), jelutung (Dyera lowii), pisang-pisang (Mezzetia
parviflora), nyatoh (Palaqium spp), durian hutan (Durio sp), kempas (Koompassia
malaccensis) dan jenis-jenis yang umumnya kurang dikenal. Lapisan tajuk tengah
yang pada umunya dibentuk oleh jenis jambu-jambuan (Eugenia sp), pelawan
(Tristania sp), medang (Litsea spp), kemuning (Xantophyllum spp), mendarahan
(Myristica spp) dan kayu malam (Diospyroy spp). Sedangkan lapisan tajuk
terbawah terdiri dari jenis suku Annonaceae, anak-anakan pohon dan semak dari
jenis Crunis spp, Pandanus spp, Zalaca spp dan tumbuhan bawah lainnya. Tumbuhan
merambat diantaranya Uncaria spp.
5.
Faktor Fisika, Kimia dan
Biologi
Pengembangan usaha pertanian di lahan gambut
dihadapkan pada berbagai masalah yang berkenaan dengan pengelolaan air dan
kesuburan tanah (sifat fisik, kimia, biologi tanah). Pengelolaan air merupakan
hal yang penting dalam pengembangan lahan gambut. Pengelolaan air dihadapkan
pada dua permasalahan, yaitu ketepatan drainase dan upaya mempertahankan muka
air tanah. Muka air tanah harus dipertahankan minimal di atas lapisan pirit,
karena kondisi tergenang pirit relatif stabil dan tidak membahayakan. Dengan
adanya pengaturan dan penggantian air secara berkala maka kadar asam organik
dapat diturunkan yang mengakibatkan peningkatan pH tanah dan meningkatkan hasil
tanaman. Kendala sifat fisik tanah utamanya adalah rendahnya bulk density (0,1
– 0,2 g.cm-3) yang menyebabkan daya tumpu (bearing capacity) tanah rendah
sehingga mudah mengalami subsiden. Subsiden dan dekomposisi bahan organik dapat
menimbulkan masalah apabila bahan mineral di bawah lapisan gambut mengandung
pirit (FeS2) atau pasir kuarsa. Selain itu, apabila gambut mengalami kekeringan
yang berlebihan akan menyebabkan koloid gambut menjadi rusak karena partikel –
partikel gambut mempunyai lapis luar kaya resin yang menghambat penyerapan
kembali air setelah pengeringan dan akhirnya gambut tidak mampu lagi menyerap
hara dan menahan air. Akibatnya, gambut akan mengalami kekeringan dan mudah
terbakar. Terbakarnya lahan gambut merupakan penyebab utama degradasi lahan.
Dalam kondisi degradasi yang sangat berat, lahan tidak dapat lagi ditanami,
sehingga petani kehilangan mata pencaharian dari lahan usaha taninya
(Nurzakiah, 2004).
Secara kimiawi, tanah gambut umumnya
bereaksi masam (pH 3,0-4,5). Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH
4,0-5,1) daripada gambut dalam (pH 3,1-3,9). Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na)
dan kejenuhan basa rendah. Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai
sedang, dan berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total termasuk
tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi.
Kandungan unsur mikro, khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun kandungan
besi (Fe) cukup tinggi (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).
6.
Pemanfaatan Lahan Gambut
Pemanfaatan lahan gambut untuk tetap
dipertahankan sebagai habitat ratusan species tanaman hutan, merupakan suatu
kebijakan yang sangat tepat. Disamping kawasan gambut tetap mampu menyumbangkan
fungsi ekonomi bagi manusia di sekitarnya (produk kayu dan non kayu) secara
berkelanjutan, fungsi ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu,
kelembaban udara dan hidrologi kawasan akan tetap berlangsung sebagai
konsekuensi dari ekosistemnya tidak berubah. Mempertahankan lahan gambut untuk
tetap menjadi habitat jenis pohon adalah beralasan. Hutan rawa gambut memiliki
jenis pohon bernilai ekonomis tinggi, demikian pula satwa. Berdasarkan data
pada salah satu HPH yang berlokasi di lahan gambut, diketahui bahwa populasi 10
jenis pohon bernilai ekonomis tinggi dan jenis yang dilindungi dengan diameter
≥ 20 cm rata-rata 21 pohon/ha dengan volume rata-rata 30,94 m3/ha. Diantara
ke-10 jenis pohon tersebut terdapat 67,83% adalah ramin (Gonystylus bancanus
Kurz) (Limin, 2006).
7.
Perlindungan Lahan Gambut
Penyalahgunaan lahan gambut dapat
mengakibatkan lahan gambut terbakar dan terpaparnya lahan tersebut sehingga
kandungan CO2 di udara semakin tinggi, sehingga perlu dilakukan pemetaan
wilayah untuk melindungi lahan gambut tersebut. Wilayah rawa yang termasuk
sebagai kawasan lindung adalah: (1) kawasan gambut sangat dalam, lebih dari 3
m; (2) sempadan pantai; (3) sempadan sungai; (4) kawasan sekitar danau rawa;
dan (5) kawasan pantai berhutan bakau. Kawasan pengawetan atau kawasan suaka
alam adalah kawasan yang memiliki ekosistem yang khas dan merupakan habitat
alami bagi fauna dan/atau flora tertentu yang langka serta untuk melindungi
keanekaragaman hayati. Kawasan ini diusulkan untuk dipertahankan tetap seperti
aslinya atau dipreservasi dengan status sebagai kawasan non-budi daya (Tim
Sintesis Kebijakan, 2008).
8. Ragam
Subekosistem Hutan Rawa Gambut
Berdasarkan letak Hutan Rawa Gambut yang unik Ekosistem ini teridi atas
beberapa tipe subekosistem berikut batas-batasnya .
v Sub Ekosistem
Sungai
Sama seperti
sungai dan pinggiran sungai yang lainnya, sub ekosistem ini menjadi habitat
banyak fauna seperti keong, siput, cacing, ikan dan beberapa jenis flora
pinggiran sungai.
v Sub Ekosistem
Lahan Salin
Lahan salin
adalah lahan pasang surut (bagi kawasan pinggiran pantai) dan kawasan yang
terpengaruh rembesan air sungai bagi pinggiran sungai). Lahan salin pada pinggiran
pantai mendapat pengaruh rembesan air laut terutama pada musim kemarau. Pada
hutan gambut, rembesan air laut tak hanya terjadi ketika hutan gambut
berbatasan langsung dengan pantai melainkan bisa karena air masuk melalui
sungai pada waktu pasang atau adanya rembesan melalui pori tanah. Sementara
lahan salin adalah lahan Pasang surut yg kadar garamnya lebih dari 0.8 %.
Biasanya dihuni tumbuhan bakau. Sedangkan lahan salin yang hanya berair
asin ketika kemarau disebut lahan salin peralihan. Biasanya diitumbuhi
tanaman nipah.
v Sub Ekosistem
Rawa Gambut
Sub ekosistem
Rawa Gambut mempunyai karakteristik umum hutan rawa gambut dimana terdiri dari
lahan basah yang berperan penting dalam mengikat karbon dan menyerap air.
9. Keterkaitan
Antar Komponen Ekosistem
Keberadaan komponen Abiotik yang khas membentuk suatu karakter sendiri pada
hutan rawa gambut yang membuat hutan ini berbeda dengan hutan yang lainnya.
Keberadaan lahan salin yang dirembesi air asin membuat mangrove dapat hidup
pada lahan salin Hutan Rawa Gambut. Sedangkan air yang mendominasi ekosistem
ini dan pori tanah yang cukup besar membuat tumbuhan rotan dan tumbuhan lain
dapat hidup pada ekosisitem jenis hutan rawa gambut. Begitu juga manusia
sebagai salah satu komponen biotic pada hutan rawa gambut memiliki
ketergantungan tersendiri terhadap kawasan ini. Sebagaimana beberapa penduduk
wilayah setempat tergantung hidup dari mengolah rotan atau kayu yang berasal
dari hutan. SIklus saling ketergantungan inilah yang menciptakan keseimbangan
pada ekosisitem rawa gambut ini.
Ketika satu
rantai keseimbangan pada hutan rawa gambut dirusak, akan menyebabkan kerusakan
pada rantai-rantai lain yang saling tergantung. Contohnya ketika manusia
terlalu rakus mengeksploitasi rotan dan kayu dihutan, maka akan tercipta
penggundulan hutan gambut di titik tertentu hingga aliran air yang ada akan
menglirkan unsure hara dan bermuara di sungai atau laut. Hal ini akan
menjadikan lahan kering dan rusak hingga fungsinya sebagai pengikat karbon
terganggu dan akan menciptakan perubahan iklim global serta bencana banjir.
Demikian ketika satu rantai dirusak akan menrusak rantai lain yang ada dalam
ekosisitem tersebut termasuk pada hutan rawa gambut.
10. Peran dan masalah-masalah Hutan Rawa gambut
Peran Hutan Rawa Gambut :
§ Pengontrol
system hidrologi kawasan
§ Gudang pengikat
karbon
§ Habitat satwa
penting
§ Tumpuan hidup
manusia à
Lahan gambut
memberikan fungsi ekonomi ketika manusia mampu mengolah hasil hutan yang ada
seperti kayu, ikan, rotan, dan lain-lain, fungsi kesehatan ketika manusia mampu
mengolah obat obatan dan fungsi pengontrol iklim global bagi kesejahteraan
manusia.
Masalah Terkait
Konservasi Hutan Rawa Gambut
§ Maraknya
kebakaran hutan rawa gambut
§ Pencurian kayu
(illegal logging)
§ Pembukaan lahan
di sekitar hutan rawa gambut
§ Konversi (alih
fungsi) menjadi lahan perkebunan dan pertanian
Beberapa akibat
kerusakan Hutan rawa Gambut:
Kurang fungsi penyerapan air
àBesarnya peran
Hutan rawa Gambut yang mampu menyerap 850% dari volume tanah kering menyebabkan
ketidak seimbangan hidrologi kawasan sekitar. Ketika hutan rawa gambut dibuka
maka air dan nutrient hutan akan keluar dan gambut akan miskin unsure hara dan
sangat kering. Fungsi pengikat air ini sendiri tidak dapat dipulihkan lagi
dalam waktu yang singkat.
Dangkalnya unsure hara pada hutan rawa gambut à
Hal ini
menyebabkan penurunan permukaan tanah hingga tumbuhan yang mampu bertahan makin
berkurang, gersang, dan tidak ada lagi hewan yang mampu hidup. Hal ini
mengancam keberlanjutan hewan-hewan langka yang hidup didalamnya. Dan
ketika musim hujan, ancaman banjir akan semakin besar meskipun hutan ini telah
diganti dengan parit dan system drainase yang baik.
Pemanasan Global tinggi karna karbon hilang à
Lahan gambut
merupakan pengikat karbon yang baik. Jika lahan gambut berkurang, karbon yang
dilepaskan akan semakin banyak, Karbon lapisan ozon akan membengkak hingga
merusak ozon. Demikian Lahan gambut harus dipertahankan.
Penurunan Permukaan tanah menimbulkan genangan air yang
sifatnya permanen. Selain itu penurunan lahan bergambut menyebabkan lahan
mongering dan semakin mempertinggi peluang terjadinya kebakaran lahan
Lahan yang rusak dan tidak produktif lagi biasanya akan
ditinggalkan oleh penduduk
Kerugian Kerusakan Hutan rawa Gambut
ü Kerugian ekologis : menurunnya kualitas ekologis sebagai system
penyangga, kurang jenis flora dan fauna yang merupakan sumber plasma nutfah,
berubahnya fungsi hidrologi dan pola hujan local dan regional.
ü Kerugian
estetis dan nilai alamiah : hutan wisata berkurang dan kenyamanan berkurang,
keseimbangan ilmiah ekosistem rusak.
ü Kerugian sosial
: berkurangnya mata pencarian hidup penduduk
Beberapa
Strategi Pertahanan Hutan Rawa Gambut
1. Penutupan kanal
sebagai pencegah illegal logging
2. Rehabilitasi
hutan
3. Kejian
kebijakan
4. Patroli
intensif (Pembentukan unit pengamanan hutan regional)
5. Penjelasan
status kepemilikan lahan,
6. Pembentukan
hutan tanaman industry (HTI) bekerja sama dengan masyarakat.
7. Kampanye
kesadaran lingkungan
8. Pelarangan
penebangan jenis kayu tertentu
Kasus perambahan dan kebakaran di berbagai wilayah di propinsi Riau
yang terus terjadi saat ini, juga menimpa wilayah yang semestinya bebas dari
intervensi manusia, karena memiliki nilai ekologis yang sangat penting. Seperti
yang terjadi dengan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil di Bukit Batu, Kabupaten
Bengkalis dan Siak, Propinsi Riau.
Luas wilayah yang dirambah sendiri kini sudah mencapai sekitar 3.000
hektar dan kini menjadi salah satu kontributor terbesar dalam kebakaran hutan
yang menimpa Propinsi Riau yang meliputi wilayah seluas 11.138 hektar.
Cagar biosfer pertama di dunia yang dikelola oleh sektor swasta
bersama pemerintah ini, memiliki fungsi beragam, yaitu sebagai kawasan
konservasi, hutan produksi, hutan terbatas serta terdapat kewenangan masyarakat
dan pemerintah di dalamnya. Terkait hal ini, penjagaan kawasan konservasi
menjadi wewenang pemerintah melalui BKSDA setempat, sementara untuk kawasan
non-konservasi menjadi tanggung jawab Grup Sinar Mas sebagai pemegang izin
konsesi.
gak usah pake kata 'alhamdulillah' segala pak,saya ringam dengernya
BalasHapus