Sabtu, 03 Mei 2014

tugas makalah hutan rawa gambut



HUTAN RAWA GAMBUT

Pengertian hutan rawa gambut
Hutan rawa gambut merupakan hutan dengan lahan basah yang tergenang yang biasanya terletak di belakang tanggul sungai (backswanp). Hutan ini didominasi oleh tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organik, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut atau tanah organic (Histosols). Dalam skala besar, hutan ini membentuk kubah (dome) dan  terletak diantara dua sungai besar.
Hutan rawa gambut merupakan kombinasi tipe hutan formasi klimatis (climaticformation) dengan tipe hutan formasi edaphis (edaphic formation). Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Hutan rawa gambut terdapat pada daerah-daerah tipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih.

Pada umumnya terletak di antara hutan rawa dengan hutan hujan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). MenurutSoerianegara (1977) dan Zuhud serta Haryanto (1994), hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang tebalnya berkisar 1 – 2 meter dan digenangi air gambut yang berasal dari air hujan (miskin hara, oligotrofik) dengan jenis tanah organosol.

Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur Pulau Sumatera dan merupakan jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan pantai timur, di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke Selatan dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke bagian hilir Sungai Barito. Di samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan Papua. Terdapat 400 juta hektar lahan gambut di dunia, 90 % diantaranya terdapat di daerah temperate dan 10 % sisanya berada di daerah beriklim tropis. Indonesia sendiri mempunyai 20.6 juta Ha atau 10.8 % luas daratan Indonesia. 35% di Sumatera, 32% di Kalimantan, 3% di Sulawesi dan 30% di Papua. Fungsinya yang penting bagi keseimbangan ekosistem membuat lahan ini patut dipertahankan. Sementara menurut Widjaya-Adhi 4,19 juta hektar hutan rawa gambut Indonesia telah dialihfungsikan.

Tanah Gambut
Tanah gambut (Organosols = Histosols) terbentuk dari lapukan bahan organik terutama dari tumpukan sisa-sisa jaringan tumbuhan di masa lampau. Pada tahap awal, proses pengendapan bahan organik terjadi di daerah depresi atau cekungan di belakang tanggul sungai. Dengan adanya air tawar dan air payau yang menggenangi daerah depresi, proses dekomposisi bahan organik menjadi sangat lambat. Selanjutnya secara perlahan-lahan terjadilah akumulasi bahan organik, yang akhirnya terbentuk endapan gambut dengan ketebalan yang bervariasi, bergantung pada keadaan topografi tanah mineral di bawah lapisan gambut (Widjaja-Adhi et al. 2000; Subagjo 2006). Menurut Soil Taxonomy, tanah gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik dengan ketebalan minimal 40 atau 60 cm, bergantung pada bobot jenis (BD) dan tingkat dekomposisi bahan organik. Sedangkan bahan organik adalah: 1) Apabila dalam keadaan jenuh air, mempunyai kandungan C-organik paling sedikit 18% jika kandungan liatnya 60% atau lebih; atau mempunyai Corganik 12% atau lebih jika tidak mempunyai liat; atau mempunyai C-organik lebih dari {12 + (% liat x 0, 10)}% jika kandungan liat 0−60%. 2) Apabila tidak jenuh air, mempunyai kandungan C-organik minimal 20 %. Dalam praktek digunakan kedalaman minimal 50 cm, dengan definisi bahan tanah organik mengikuti batasan Soil Taxonomy tersebut. Proses dekomposisi bahan organik dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu fibrik, hemik, dan saprik. Dalam pemanfaatan lahan gambut, perlu diperhatikan faktor ketebalan gambut. Identifikasi dan pengelompokan ketebalan gambut dibedakan atas empat kelas, yaitu: 1) gambut dangkal (50−100 cm), 2) gambut sedang (101−200 cm), 3) gambut dalam (201−300 cm), dan 4) gambut sangat dalam (> 300 cm). Tanah dengan ketebalan lapisan gambut 0−50 cm dikelompokkan sebagai tanah mineral bergambut (peaty soils).

1.      ProsesTerjadinya Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut  terbentuk dalam 10.000 – 40.000 tahun. Awalnya berupa cekungan yang menahan air tidak bisa keluar. Setelah 5.000 tahun, maka permukaan akan naik. Lama-kelamaan hutan rawa gambut secara bertahap akan tumbuh. Karena air tidak keluar dan terjadi pembusukan kayu, maka terjadi penumpukan nutrient. Kalau kawasan rawa gambut dibuka, maka air dan nutriennya akan keluar, dan yang akan terjadi adalah kawasan rawa gambut akan dangkal dan unsur hara sangat sedikit.

2.      Komposisi Tanah Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut merupakan kombinasi tipe hutan formasi klimatis (climatic formation) dengan tipe hutan formasi edaphis (edaphic formation). Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin.
Hutan rawa gambut terdapat pada daerah-daerah tipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih. Pada umumnya terletak di antara hutan rawa dengan hutan hujan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Menurut Soerianegara (1977) dan Zuhud serta Haryanto (1994), hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang tebalnya berkisar 1 – 2 meter dan digenangi air gambut yang berasal dari air hujan (miskin hara, oligotrofik) dengan jenis tanah organosol. Menurut Soil Taxonomy, tanah gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik dengan ketebalan minimal 40 atau 60 cm, bergantung pada bobot jenis (BD) dan tingkat dekomposisi bahan organik. Sedangkan bahan organik adalah:
§  Apabila dalam keadaan jenuh air, mempunyai kandungan C-organik paling sedikit 18% jika kandungan liatnya 60% atau lebih; atau mempunyai Corganik 12% atau lebih jika tidak mempunyai liat; atau mempunyai C-organik lebih dari {12 + (% liat x 0, 10)}% jika kandungan liat 0−60%.
§  Apabila tidak jenuh air, mempunyai kandungan C-organik minimal 20 %. Dalam praktek digunakan kedalaman minimal 50 cm, dengan definisi bahan tanah organik mengikuti batasan Soil Taxonomy tersebut. Proses dekomposisi bahan organik dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu fibrik, hemik, dan saprik. Dalam pemanfaatan lahan gambut, perlu diperhatikan faktor ketebalan gambut. Identifikasi dan pengelompokan ketebalan gambut dibedakan atas empat kelas, yaitu:
o       Gambut dangkal (50−100 cm),
o       Gambut sedang (101−200 cm)
o       Gambut dalam (201−300 cm)
o       Gambut sangat dalam (> 300 cm).
Secara kimiawi, tanah gambut umumnya bereaksi masam (pH 3,0-4,5). Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0-5,1) daripada gambut dalam (pH 3,1-3,9). Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na) dan kejenuhan basa rendah. Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, dan berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi. Kandungan unsur mikro, khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun kandungan besi (Fe) cukup tinggi (Tim Sintesis Kebijakan, 2008)
Berdasarkan sifat hidup atau tidaknya, komponen ekosistem dibagi dua:
§  Komponen Biotik : Komponen Hidup
Terdiri atau flora, fauna, maupun manusia yang hidup dalam suatu lingkungan ekosistem, dalam hal ini adalah hutan rawa gambut.
§  Komponen Abiotik : Komponen Tidak Hidup
Terdiri atas komponen penyusun lingkungan seperti cahaya matahari, nutrient, air, udara, tanah, dan komponen lain dalam hutan rawa gambut.
Berikut beberapa karakteristik lingkungan abiotik Kawasan hutan Rawa gambut:
*      Kapasitas Menahan Air à Menurut Suhardjo dan Dreissen  Lahan gambut mampu menyerap air hingga 850% dari berat keringnya. Oleh se bab itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penghambat air saat musim hujan dan melepaskan air saat musim kemarau. Besarnya kapasitas penahan air lahan gambut menyebabkan penggundulan hutan gambut membuat lingkungan sekitar rawan banjir dan rembesan air laut kedalam tanah.
*      Kering Tak Balik (Hydrophobia Irreversible) à Sifat lahan gambut yang kering tak balik maksudnya ketika terjadi alih fungsi lahan gambut dan diganti dengan sistem irigasi dan drainase berupa parit menyebabkan lahan gambut kering dan sulit memunculkan fungsinya kembali sekalipun lahan ini dijadikan hutan lagi. Hal ini disebabkan proses terbentuknya lahan gambut yang rumit dan dalam jangka waktu yang panjang.
*      Daya hantar Hidrolik à Gambut memiliki daya hantara hidrolik (atau daya penyaluran air) secara horizontal cepat. Dalam artian gambut dapat menghantar unsur hara dengan mudah secara horizontal sedangkan daya penyaluran air vertical yang lambat berarti gambut lapisan luar (atas) cenderung kering meskipun bagian bawah hutan rawa gambut sangat basah  
*      Daya tumpu à Pori tanah yang besar dan kerapatan rendah menyebabkan Tanah Gambut memiliki daya tumpu yang lemah. Dengan kata lain tanaman yang tumbuh di hutan ini cenderung murah roboh. Apalagi hutan ini disominasi tumbuhan yang berakar serabut guna mengatur kadar air yang masuk didaerah basah seperti ini.
*      Mudah Terbakar à Sifat lahan gambut yang kaya nutrient dan relative kering dipermukaan menyebabkan lahan gambut mudah terbakar. Biasanya kebakaran gambut ini sulit dipadamkan karena cepat menjalar ke lapisan dalam gambut.
*      Kesuburan Gambut à Kesuburan gambut dibagi menjadi tiga tingkatan :Eutropik (subur), Mesotropik (sedang),Oligotopik (tidak subur)
*      Pengikat karbon yang baik à Fungsi sebagai pengikat karbon hutan rawa gambut sangat membantu keseimbangan iklim global mengingat emisi karbon diudara dituduh sebagai penyebab utama pemanasan global yang terjadi belakangan.

3.      Pembagian Hutan Rawa Gambut
Tanpa memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan bahan induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
§  Gambut endapan: Gambut endapan biasanya tertimbun di dalam air yang relatif dalam.
§  Berserat: Gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi
§  Gambut kayuan: Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan organik.

Menurut kondisi dan sifat-sifatnya, gambut di sini dapat dibedakan atas:
*      Gambut topogen ialah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena genangan air yang terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang pantai, di pedalaman atau di pegunungan. Gambut jenis ini umumnya tidak begitu dalam, hingga sekitar 4 m saja, tidak begitu asam airnya dan relatif subur; dengan zat hara yang berasal dari lapisan tanah mineral di dasar cekungan, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan. Gambut topogen relatif tidak banyak dijumpai.
*      Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada umumnya lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5), mengandung banyak asam humus dan warnanya coklat kehitaman seperti warna air teh yang pekat. Itulah sebabnya sungai-sungai semacam itu disebut juga sungai air hitam.

4.      Vegetasi Hutan Rawa Gambut
Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur Pulau Sumatera dan merupakan jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan pantai timur, di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke Selatan dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke bagian hilir Sungai Barito. Di samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan Papua.
Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat pada tipe hutan ini diantaranya adalah Alstonia spp, Tristania spp, Eugena spp, Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra, Dactylocladus stenostacys, Diospyros spp dan Myristica spp. Jenis-jenis pohon terpenting yang terdapat pada formasi hutan rawa gambut adalah : Campnosperma sp., Alstonia sp., Cratoxylon arborescens, Jackia ornata dan Ploiarium alternifolium).

Menurut Witaatmojo (1975) pada hutan rawa gambut umumnya ada tiga lapisan tajuk, yaitu lapisan tajuk teratas yang dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mentibu (Dactylocladus stenostachys), jelutung (Dyera lowii), pisang-pisang (Mezzetia parviflora), nyatoh (Palaqium spp), durian hutan (Durio sp), kempas (Koompassia malaccensis) dan jenis-jenis yang umumnya kurang dikenal. Lapisan tajuk tengah yang pada umunya dibentuk oleh jenis jambu-jambuan (Eugenia sp), pelawan (Tristania sp), medang (Litsea spp), kemuning (Xantophyllum spp), mendarahan (Myristica spp) dan kayu malam (Diospyroy spp). Sedangkan lapisan tajuk terbawah terdiri dari jenis suku Annonaceae, anak-anakan pohon dan semak dari jenis Crunis spp, Pandanus spp, Zalaca spp dan tumbuhan bawah lainnya. Tumbuhan merambat diantaranya Uncaria spp.
5.      Faktor Fisika, Kimia dan Biologi
Pengembangan usaha pertanian di lahan gambut dihadapkan pada berbagai masalah yang berkenaan dengan pengelolaan air dan kesuburan tanah (sifat fisik, kimia, biologi tanah). Pengelolaan air merupakan hal yang penting dalam pengembangan lahan gambut. Pengelolaan air dihadapkan pada dua permasalahan, yaitu ketepatan drainase dan upaya mempertahankan muka air tanah. Muka air tanah harus dipertahankan minimal di atas lapisan pirit, karena kondisi tergenang pirit relatif stabil dan tidak membahayakan. Dengan adanya pengaturan dan penggantian air secara berkala maka kadar asam organik dapat diturunkan yang mengakibatkan peningkatan pH tanah dan meningkatkan hasil tanaman. Kendala sifat fisik tanah utamanya adalah rendahnya bulk density (0,1 – 0,2 g.cm-3) yang menyebabkan daya tumpu (bearing capacity) tanah rendah sehingga mudah mengalami subsiden. Subsiden dan dekomposisi bahan organik dapat menimbulkan masalah apabila bahan mineral di bawah lapisan gambut mengandung pirit (FeS2) atau pasir kuarsa. Selain itu, apabila gambut mengalami kekeringan yang berlebihan akan menyebabkan koloid gambut menjadi rusak karena partikel – partikel gambut mempunyai lapis luar kaya resin yang menghambat penyerapan kembali air setelah pengeringan dan akhirnya gambut tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air. Akibatnya, gambut akan mengalami kekeringan dan mudah terbakar. Terbakarnya lahan gambut merupakan penyebab utama degradasi lahan. Dalam kondisi degradasi yang sangat berat, lahan tidak dapat lagi ditanami, sehingga petani kehilangan mata pencaharian dari lahan usaha taninya (Nurzakiah, 2004).
Secara kimiawi, tanah gambut umumnya bereaksi masam (pH 3,0-4,5). Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0-5,1) daripada gambut dalam (pH 3,1-3,9). Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na) dan kejenuhan basa rendah. Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, dan berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi. Kandungan unsur mikro, khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun kandungan besi (Fe) cukup tinggi (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).
6.      Pemanfaatan Lahan Gambut
Pemanfaatan lahan gambut untuk tetap dipertahankan sebagai habitat ratusan species tanaman hutan, merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat. Disamping kawasan gambut tetap mampu menyumbangkan fungsi ekonomi bagi manusia di sekitarnya (produk kayu dan non kayu) secara berkelanjutan, fungsi ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu, kelembaban udara dan hidrologi kawasan akan tetap berlangsung sebagai konsekuensi dari ekosistemnya tidak berubah. Mempertahankan lahan gambut untuk tetap menjadi habitat jenis pohon adalah beralasan. Hutan rawa gambut memiliki jenis pohon bernilai ekonomis tinggi, demikian pula satwa. Berdasarkan data pada salah satu HPH yang berlokasi di lahan gambut, diketahui bahwa populasi 10 jenis pohon bernilai ekonomis tinggi dan jenis yang dilindungi dengan diameter ≥ 20 cm rata-rata 21 pohon/ha dengan volume rata-rata 30,94 m3/ha. Diantara ke-10 jenis pohon tersebut terdapat 67,83% adalah ramin (Gonystylus bancanus Kurz) (Limin, 2006).
7.      Perlindungan Lahan Gambut
Penyalahgunaan lahan gambut dapat mengakibatkan lahan gambut terbakar dan terpaparnya lahan tersebut sehingga kandungan CO2 di udara semakin tinggi, sehingga perlu dilakukan pemetaan wilayah untuk melindungi lahan gambut tersebut. Wilayah rawa yang termasuk sebagai kawasan lindung adalah: (1) kawasan gambut sangat dalam, lebih dari 3 m; (2) sempadan pantai; (3) sempadan sungai; (4) kawasan sekitar danau rawa; dan (5) kawasan pantai berhutan bakau. Kawasan pengawetan atau kawasan suaka alam adalah kawasan yang memiliki ekosistem yang khas dan merupakan habitat alami bagi fauna dan/atau flora tertentu yang langka serta untuk melindungi keanekaragaman hayati. Kawasan ini diusulkan untuk dipertahankan tetap seperti aslinya atau dipreservasi dengan status sebagai kawasan non-budi daya (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).
8.       Ragam Subekosistem Hutan Rawa Gambut
Berdasarkan letak Hutan Rawa Gambut yang unik Ekosistem ini teridi atas beberapa tipe subekosistem berikut batas-batasnya .
v  Sub Ekosistem Sungai
Sama seperti sungai dan pinggiran sungai yang lainnya, sub ekosistem ini menjadi habitat banyak fauna seperti keong, siput, cacing, ikan dan beberapa jenis flora pinggiran sungai.
v  Sub Ekosistem Lahan Salin
Lahan salin adalah lahan pasang surut (bagi kawasan pinggiran pantai) dan kawasan yang terpengaruh rembesan air sungai bagi pinggiran sungai). Lahan salin pada pinggiran pantai mendapat pengaruh rembesan air laut terutama pada musim kemarau. Pada hutan gambut, rembesan air laut tak hanya terjadi ketika hutan gambut berbatasan langsung dengan pantai melainkan bisa karena air masuk melalui sungai pada waktu pasang atau adanya rembesan melalui pori tanah. Sementara lahan salin adalah lahan Pasang surut yg kadar garamnya lebih dari 0.8 %. Biasanya dihuni tumbuhan bakau. Sedangkan lahan salin yang hanya berair asin ketika kemarau disebut lahan salin peralihan. Biasanya diitumbuhi tanaman nipah.
v  Sub Ekosistem Rawa Gambut
Sub ekosistem Rawa Gambut mempunyai karakteristik umum hutan rawa gambut dimana terdiri dari lahan basah yang berperan penting dalam mengikat karbon dan menyerap air.

9.      Keterkaitan Antar Komponen Ekosistem
Keberadaan komponen Abiotik yang khas membentuk suatu karakter sendiri pada hutan rawa gambut yang membuat hutan ini berbeda dengan hutan yang lainnya. Keberadaan lahan salin yang dirembesi air asin membuat mangrove dapat hidup pada lahan salin Hutan Rawa Gambut. Sedangkan air yang mendominasi ekosistem ini dan pori tanah yang cukup besar membuat tumbuhan rotan dan tumbuhan lain dapat hidup pada ekosisitem jenis hutan rawa gambut.  Begitu juga manusia sebagai salah satu komponen biotic pada hutan rawa gambut memiliki ketergantungan tersendiri terhadap kawasan ini. Sebagaimana beberapa penduduk wilayah setempat tergantung hidup dari mengolah rotan atau kayu yang berasal dari hutan. SIklus saling ketergantungan inilah yang menciptakan keseimbangan pada ekosisitem rawa gambut ini.

Ketika satu rantai keseimbangan pada hutan rawa gambut dirusak, akan menyebabkan kerusakan pada rantai-rantai lain yang saling tergantung. Contohnya ketika manusia terlalu rakus mengeksploitasi rotan dan kayu dihutan, maka akan tercipta penggundulan hutan gambut di titik tertentu hingga aliran air yang ada akan menglirkan unsure hara dan bermuara di sungai atau laut. Hal ini akan menjadikan lahan kering dan rusak hingga fungsinya sebagai pengikat karbon terganggu dan akan menciptakan perubahan iklim global serta bencana banjir. Demikian ketika satu rantai dirusak akan menrusak rantai lain yang ada dalam ekosisitem tersebut termasuk pada hutan rawa gambut.

10.   Peran dan masalah-masalah Hutan Rawa gambut
Peran Hutan Rawa Gambut :
§  Pengontrol system hidrologi kawasan
§  Gudang pengikat karbon
§  Habitat satwa penting
§  Tumpuan hidup manusia à Lahan gambut memberikan fungsi ekonomi ketika manusia mampu mengolah hasil hutan yang ada seperti kayu, ikan, rotan, dan lain-lain, fungsi kesehatan ketika manusia mampu mengolah obat obatan dan fungsi pengontrol iklim global bagi kesejahteraan manusia.

Masalah Terkait Konservasi Hutan Rawa Gambut
§  Maraknya kebakaran hutan rawa gambut
§  Pencurian kayu (illegal logging)
§  Pembukaan lahan di sekitar hutan rawa gambut
§  Konversi (alih fungsi) menjadi lahan perkebunan dan pertanian



Beberapa akibat kerusakan Hutan rawa Gambut:
*      Kurang fungsi penyerapan air  àBesarnya peran Hutan rawa Gambut yang mampu menyerap 850% dari volume tanah kering menyebabkan ketidak seimbangan hidrologi kawasan sekitar. Ketika hutan rawa gambut dibuka maka air dan nutrient hutan akan keluar dan gambut akan miskin unsure hara dan sangat kering. Fungsi pengikat air ini sendiri tidak dapat dipulihkan lagi dalam waktu yang singkat.
*      Dangkalnya unsure hara pada hutan rawa gambut  à Hal ini menyebabkan penurunan permukaan tanah hingga tumbuhan yang mampu bertahan makin berkurang, gersang, dan tidak ada lagi hewan yang mampu hidup. Hal ini mengancam keberlanjutan hewan-hewan langka yang hidup didalamnya. Dan ketika musim hujan, ancaman banjir akan semakin besar meskipun hutan ini telah diganti dengan parit dan system drainase yang baik.
*      Pemanasan Global tinggi karna karbon hilang à Lahan gambut merupakan pengikat karbon yang baik. Jika lahan gambut berkurang, karbon yang dilepaskan akan semakin banyak, Karbon lapisan ozon akan membengkak hingga merusak ozon. Demikian Lahan gambut harus dipertahankan.
*      Penurunan Permukaan tanah menimbulkan genangan air yang sifatnya permanen. Selain itu penurunan lahan bergambut menyebabkan lahan mongering dan semakin mempertinggi peluang terjadinya kebakaran lahan
*      Lahan yang rusak dan tidak produktif lagi biasanya akan ditinggalkan oleh penduduk

Kerugian Kerusakan Hutan rawa Gambut
ü  Kerugian ekologis : menurunnya kualitas ekologis sebagai system penyangga, kurang jenis flora dan fauna yang merupakan sumber plasma nutfah, berubahnya fungsi hidrologi dan pola hujan local dan regional.
ü  Kerugian estetis dan nilai alamiah : hutan wisata berkurang dan kenyamanan berkurang, keseimbangan ilmiah ekosistem rusak.
ü  Kerugian sosial : berkurangnya mata pencarian hidup penduduk

Beberapa Strategi Pertahanan Hutan Rawa Gambut
1.      Penutupan kanal sebagai pencegah illegal logging
2.      Rehabilitasi hutan
3.      Kejian kebijakan
4.      Patroli intensif (Pembentukan unit pengamanan hutan regional)
5.      Penjelasan status kepemilikan lahan,
6.       Pembentukan hutan tanaman industry (HTI) bekerja sama dengan masyarakat.
7.      Kampanye kesadaran lingkungan
8.      Pelarangan penebangan jenis kayu tertentu

Perambahan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Riau. Foto: Aji Wihardandi
Perambahan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Riau. Foto: Aji Wihardandi
Kasus perambahan dan kebakaran di berbagai wilayah di propinsi Riau yang terus terjadi saat ini, juga menimpa wilayah yang semestinya bebas dari intervensi manusia, karena memiliki nilai ekologis yang sangat penting. Seperti yang terjadi dengan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil di Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis dan Siak, Propinsi Riau.
Sisi lain perambahan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil. Foto: Aji Wihardandi
Sisi lain perambahan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil. Foto: Aji Wihardandi
Luas wilayah yang dirambah sendiri kini sudah mencapai sekitar 3.000 hektar dan kini menjadi salah satu kontributor terbesar dalam kebakaran hutan yang menimpa Propinsi Riau yang meliputi wilayah seluas 11.138 hektar.
Cagar biosfer pertama di dunia yang dikelola oleh sektor swasta bersama pemerintah ini, memiliki fungsi beragam, yaitu sebagai kawasan konservasi, hutan produksi, hutan terbatas serta terdapat kewenangan masyarakat dan pemerintah di dalamnya. Terkait hal ini, penjagaan kawasan konservasi menjadi wewenang pemerintah melalui BKSDA setempat, sementara untuk kawasan non-konservasi menjadi tanggung jawab Grup Sinar Mas sebagai pemegang izin konsesi.

1 komentar:

  1. gak usah pake kata 'alhamdulillah' segala pak,saya ringam dengernya

    BalasHapus