Nama : Fani Nathania
Kelas : Biologi VI A
NPM : 116511569
HUTAN
RAWA GAMBUT
A.
PENDAHULUAN
I. Latar
Belakang
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal
dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup
maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam ekologi, kita mempelajari
makhluk hidup sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
Pembahasan
ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen
penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor biotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya,
dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari
manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan
tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan
ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan
kesatuan.
Ekologi,
biologi dan ilmu kehidupan lainnya
saling melengkapi dengan zoologi dan botani yang menggambarkan hal bahwa
ekologi mencoba memperkirakan, dan ekonomi energi yang menggambarkan kebanyakan
rantai makanan manusia dan tingkat tropik.
B.
PEMBAHASAN
I. Populasi
Populasi adalah sekelompok mahkluk
hidup dengan spesies yang sama, yang hidup di suatu wilayah yang sama dalam
kurun waktu yang sama pula. Misalnya semua rusa di Isle Royale membentuk suatu
populasi, begitu juga dengan pohon-pohon cemara. Ahli ekologi memastikan dan
menganalisa jumlah dan pertumbuhan dari populasi serta hubungan antara
masing-masing spesies dan kondisi-kondisi lingkungan.
·
Faktor yang menentukan populasi
Jumlah dari suatu populasi
tergantung pada pengaruh dua kekuatan dasar. Pertama adalah jumlah yang sesuai
bagi populasi untuk hidup dengan kondisi yang ideal. Kedua adalah gabungan
berbagai efek kondisi faktor lingkungan yang kurang ideal yang membatasi pertumbuhan.
Faktor-faktor yang membatasi diantaranya ketersediaan jumlah makanan yang
rendah, pemangsa, persaingan dengan mahkluk hidup sesama spesies atau spesies
lainnya, iklim dan penyakit.
Jumlah terbesar dari populasi
tertentu yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu disebut dengan kapasitas
beban lingkungan untuk spesies tersebut. Populasi yang normal biasanya lebih
kecil dari kapasitas beban lingkungan bagi mereka disebabkan oleh efek cuaca
yang buruk, musim mengasuh bayi yang kurang bagus, perburuan oleh predator, dan
faktor-faktor lainnya.
·
Faktor-faktor yang merubah populasi
Tingkat populasi dari spesies bisa
banyak berubah sepanjang waktu. Kadangkala perubahan ini disebabkan oleh
peristiwa-peristiwa alam. Misalnya perubahan curah hujan bisa menyebabkan
beberapa populasi meningkat sementara populasi lainnya terjadi penurunan. Atau
munculnya penyakit-penyakit baru secara tajam dapat menurunkan populasi suatu
spesies tanaman atau hewan. Sebagai contoh peralatan berat dan mobil
menghasilkan gas asam yang dilepas ke dalam atmosfer, yang bercampur dengan
awan Dan turun ke bumi sebagai hujan asam. Di beberapa wilayah yang menerima
hujan asam dalam jumlah besar populasi ikan menurun secara tajam.
II. Komunitas
Sebuah komunitas adalah kumpulan
populasi tumbuhan dan tanaman yang hidup secara bersama di dalam suatu
lingkungan. Serigala, rusa, berang-berang, pohon cemara dan pohon birch adalah
beberapa populasi yang membentuk komunitas hutan di Isle Royale. Ahli ekologi
mempelajari peranan masing-masing spesies yang berbeda di dalam komunitas
mereka. Mereka juga mempelajari tipe komunitas lain dan bagaimana mereka
berubah. Beberapa komunitas seperti hutan yang terisolasi atau padang rumput
dapat diidentifikasi secara mudah, sementara yang lainnya sangat sulit untuk
dipastikan.
Sebuah komunitas tumbuh-tumbuhan dan
binatang yang mencakup wilayah yang sangat luas disebut biome. Batas-batas
biome yang berbeda pada umumnya ditentukan oleh iklim. Biome yang utama
termasuk diantaranya padang pasir, hutan, tundra, dan beberapa tipe biome air.
Peran suatu spesies di dalam
komunitasnya disebut peran ekologi (niche). Sebuah peran ekologi terdiri dari
cara-cara sebuah spesies berinteraksi di dalam lingkungannya, termasuk
diantaranya faktor-faktor tertentu seperti apa yang dimakan atau apa yang
digunakan untuk energi, predator yang memangsa, jumlah panas, cahaya atau
kelembaban udara yang dibutuhkan, dan kondisi dimana dapat direproduksi.
Ahli ekologi memiliki catatan yang
panjang tentang beberapa spesies yang menempati peran ekologi tinggi tertentu
dalam komunitas tertentu.Berbagai penjelasan banyak yang diusulkan untuk hal
ini. Beberapa ahli ekologi merasa bahwa hal ini disebabkan karena kompetisi
jika dua spesies mencoba untuk mengisi peran ekologi "niche" yang
sama, selanjutnya kompetisi untuk membatasi berbagai sumber daya akan menekan
salah satu spesies keluar. Ahli lainnya berpendapat bahwa sebuah spesies yang
menempati peran ekology yang tinggi, melakukannya karena tuntutan fisik yang
keras tentang peran tertentu tersebut di dalam komunitas. Dengan kata lain
hanya satu spesies yang menempati peran ekologi "niche" bukan karena
memenangkan kompetisi dengan spesies lainnya, tetapi karena hanya satu-satunya
anggota komunitas yang memiliki kemampuan fisik memainkan peran tersebut.
Perubahan komunitas yang terjadi
disebut suksesi ekologi. Proses yang terjadi berupa urutan-urutan yang lambat,
pada umumnya perubahannya dapat diramalkan yakni dalam hal jumlah dan jenis
mahkluk organisme yang ada di suatu tempat . Perbedaan intensitas sinar
matahari, perlindungan dari angin, dan perubahan tanah dapat merubah
jenis-jenis organisme yang hidup di suatu wilayah.
Perubahan-perubahan ini dapat juga
merubah populasi yang membentuk komunitas. Selanjutnya karena jumlah dan jenis
spesies berubah, maka karakteristik fisik dan kimia dari wilayah mengalami
perubahan lebih lanjut. Wilayah tersebut bisa mencapai kondisi yang relatip
stabil atau disebut komunitas klimaks, yang bisa berakhir hingga ratusan bahkan
ribuan tahun.
Para ahli ekologi membedakan dua tipe suksesi yakni :
-
Primer
Di dalam suksesi primer organisme
mulai menempati wilayah baru yang belum ada kehidupan seperti sebuah pulau baru
yang terbentuk karena letusan gunung berapi. Sebagai contoh anak krakatau yang
terbentuk sejak 1928 dari kondisi steril, kini telah dihuni oleh puluhan
spesies.
-
Sekunder
Suksesi sekunder terjadi setelah
komunitas yang ada menderita gangguan yang besar sebagai contoh sebuah
komunitas klimaks (stabil) hancur karena terjadinya kebakaran hutan. Komunitas
padang rumput dan bunga liar akan tumbuh pertama kali. Selanjutnya diikuti oleh
tumbuhan semak-semak. Terakhir pohon-pohonan baru muncul kembali dan wilayah
tersebut akan kembali menjadi hutan hingga gangguan muncul kembali. Dengan
demikian kekuatan-kekuatan alam yang terakhir menyebabkan terjadinya komunitas
klimaks (stabil). Sebagai tambahan para ahli ekologi memandang kebakaran dan
gangguan alam besar lainnya sebagai hal yang dapat diterima dan tetap
diharapkan.
III. Ekosistem
Ekosistem adalah suatu sistem
ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh
dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.
Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah: Komponen biotik dan Komponen abiotik.
Kedua komponen
tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan
yang teratur. Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan, tumbuhan air, plankton yang terapung di air sebagai komponen biotik,
sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut dalam air.
Ekosistem merupakan suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun yang beragam. Di bumi ada bermacam-macam ekosistem.
1. Susunan Ekosistem
Berdasarkan susunan dan fungsinya, suatu
ekosistem tersusun atas komponen sebagai berikut :
a. Komponen
autotrof
(Auto = sendiri dan trophikos = menyediakan
makan).
Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan hijau.
Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan hijau.
b. Komponen heterotrof (Heteros = berbeda, trophikos = makanan).
Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai makanannya dan bahan tersebut disediakan oleh organisme lain. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai makanannya dan bahan tersebut disediakan oleh organisme lain. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
c. Bahan tak hidup (abiotik). Bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan
kimia yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari. Bahan tak hidup merupakan medium atau substrat tempat
berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup.
d. Pengurai (dekomposer)
Pengurai adalah organisme heterotrof yang menguraikan bahan
organik yang berasal dari organisme mati (bahan organik kompleks). Organisme
pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan
yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Termasuk pengurai
ini adalah bakteri dan jamur.
Sebuah ekosistem adalah level paling
kompleks dari sebuah organisasi alam. Ekosistem terbentuk dari sebuah komunitas
dan lingkungan abiotiknya seperti iklim, tanah, air, udara, nutrien dan energi.
Ahli ekologi sistem adalah mereka yang mencoba menghubungkan bersama beberapa
perbedaan aktifitas fisika dan biologi di dalam suatu lingkungan. Penelitian
mereka seringkali terfokus pada aliran energi dan perputaran material-material
yang ada di dalam sebuah ekosistem. Mereka biasanya menggunakan komputer yang
canggih untuk membantu memahami data-data yang dikumpulkan dari penelitian di
lapangan dan untuk memprediksi perkembangan yang akan terjadi.
Aliran
Energi
Para ahli ekologi mengkategorikan
elemen-elemen yang membentuk atau yang memberi efek pada sebuah ekosistem
menjadi 6 bagian utama berdasarkan para aliran energi dan nutrien yang mengalir
pada sistem :
1.
Matahari
2.
Bahan-bahan anorganik
3.
Produsen
4.
Konsumen Pertama
5.
Konsumen Kedua
6.
Pengurai
Sebuah ekosistem yang sederhana
dapat digambarkan seperti berikut. Matahari menyediakan energi yang hampir
dibutuhkan semua produsen untuk membuat makanan. Produsen terdiri dari
tanaman-tanaman hijau seperti rumput dan pohon yang membuat makanan melalui
proses fotosintesis. Tanaman juga membutuhkan bahan-bahan abiotik seperti air
dan pospor untuk tumbuh. Yang termasuk konsumen pertama diantaranya tikus,
kelinci, belalang dan binatang pemakan tumbuhan lainnya. Ular, macan dan
konsumen kedua lainnya atau yang biasa disebut dengan predator adalah pemakan
binatang. Pengurai seperti jamur dan bakteri, menghancurkan tanaman dan
binatang yang telah mati menjadi nutrien-nutrien sederhana. Nutrien-nutrien
tersebut kembali ke dalam tanah dan digunakan kembali oleh tanaman-tanaman.
Tingkatan-tingkatan energi yang
berkesinambungan yang berlangsung dalam bentuk makanan ini disebut rantai
makanan. Di dalam sebuah rantai makanan yang sederhana rumput adalah produsen,
konsumen pertama seperti kelinci memakan rumput. Kelinci selanjutnya dimakan
oleh konsumen kedua misalnya ular atau macan. Bakteri pengurai menghancurkan
sisa-sisa rumput yang mati, kelinci, ular, dan macan yang tidak termakan, sama
halnya seperti menghancurkan kotoran binatang.
Sebagian besar ekosistem memiliki
suatu variasi produsen, konsumen dan pengurai yang membentuk sebuah rantai
makanan yang saling tumpang tindih yang dinamakan jaringan makanan.
Jaringan-jaringan makanan terutama sekali terdapat di ekosistem wilayah tropis
dan ekosistem lautan.
Beberapa spesies makan banyak jenis
makanan tetapi ada juga yang membutuhkan makanan yang khusus. Konsumen pertama
seperti koala dan panda terutama makan satu jenis tanaman. Makanan utama koala
adalah eucalyptus dan makanan utama panda adalah bambu. Jika tanaman-tanaman
ini mati maka kedua binatang tersebut juga ikut mati.
Energi yang berpindah melalui sebuah
ekosistem berada dalam sebuah urutan transformasi. Pertama produsen merubah
sinar matahari menjadi energi kimia yang disimpan di dalam protoplasma (sel-sel
tumbuhan) di dalam tanaman. Selanjutnya konsumen pertama memakan tanaman,
merubah energi menjadi bentuk energi kimia yang berbeda yang disimpan di dalam
sel-sel tubuh. Energi ini berubah kembali ketika konsumen kedua makan konsumen
pertama.
Sebagian besar organisme memiliki
efisiensi ekologi yang rendah. Ini berarti mereka hanya dapat merubah sedikit
bagian dari energi yang tersedia bagi mereka untuk disimpan menjadi energi
kimia. Contohnya tanaman-tanaman hijau hanya dapat merubah sekitar 0,1 hingga 1
% tenaga matahari yang mencapainya ke dalam protoplasma. Sebagian besar energi
yang tertangkap di bakar untuk pertumbuhan tanaman dan lepas ke dalam
lingkungan sebagai panas. Begitu juga herbivora atau binatang pemakan tumbuhan
dan karnivora binatang pemakan daging merubah energi ke dalam sel-sel tubuh
hanya sekitar 10 hingga 20 % dari energi yang dihasilkan oleh makanan yang
mereka makan.
Karena begitu banyaknya energi yang
lepas sebagai panas pada setiap langkah dari rantai makanan, semua ekosistem
mengembangkan sebuah piramida energi. Tanaman sebagai produsen menempati bagian
dasar piramid, herbivora (konsumen pertama) membentuk bagian berikutnya, dan
karnivora (komsumen kedua) membentuk puncak piramida. Piramid tersebut
mencerminkan kenyataan bahwa banyak energi yang melewati tanaman dibandingkan
dengan herbivora, dan lebih banyak yang melalui herbivora dibandingkan dengan
karnivora.
Di dalam ekosistem-ekosistem daratan
piramida energi tersebut menghasilkan sebuah piramida biomasa (berat). Ini
berarti bahwa berat total dari tanaman-tanaman adalah lebih besar dibandingkan
dengan berat total herbivora yang melampaui berat total karnivora. Tetapi di
dalam lautan biomasa (berat) tanaman-tanaman dan binatang-binatang adalah sama.
Ahli-ahli ekologi mengumpulkan
informasi pada sebuah piramida biomasa pada Isle Royale. Mereka meneliti
hubungan piramida diantara tanaman, rusa dan serigala. Dalam sebuah penelitian
mereka menemukan bahwa diperlukan tanaman seberat 346 kg untuk makanan rusa
seberat 27 kg. Rusa seberat inilah yang diperlukan untuk makanan serigala
seberat 0,45 kg.
Perputaran
material-material
Semua benda hidup terdiri dari
unsur-unsur kimia tertentu dan senyawa-senyawa kimia. Diantaranya adalah air,
karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, fospor dan sulfur. Semua material-material
ini berputar melalui ekosistem secara terus menerus. Perputaran fospor
misalnya, semua organisme membutuhkan fospor. Tanaman mengambil senyawa fospor
dari dalam tanah dan binatang memperoleh fospor dari tanaman dan binatang
lainya yang dimakan. Pengurai mengembalikan fospor ke dalam tanah setelah
tanaman dan binatang mati.
Di alam ekosistem-ekosistem yang
tidak terganggu jumlah fosfor adalah tetap, tetapi ketika sebuah ekosistem
terganggu terutama oleh aktifitas manusia, fospor seringkali bocor keluar. Hal
ini akan mengurangi kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan tanaman.
Salah satu contoh adalah ketika manusia merubah hutan menjadi lahan pertanian.
Dengan tidak adanya hutan yang melindungi maka fospor hanyut bersama tanah dan
tersapu ke dalam sungai atau danau. Hal ini sangat mengganggu pertumbuhan
algae. Pada akhirnya fospor terjebak di dalam endapan lumpur di dasar danau
atau lautan. Karena kehilangan fospor maka petani harus membeli pupuk yang
mahal untuk mengembalikan unsur fospor tersebut kedalam tanah
Perubahan
ekosistem muncul setiap hari, secara musiman dan ketika terjadi suksesi
(peralihan) ekologi sepanjang masa. Kadangkala perubahan terjadi secara
berulang-ulang dan secara mendadak, seperti ketika terjadi kebakaran hutan atau
ombak tsunami yang menyapu pantai. Perubahan yang paling terjadi dari hari ke
hari terutama pada lingkaran nutrien, yang tidak kelihatan sekali,
ekosistem-ekosistem kelihatannya cenderung stabil. Kestabilan yang nyata
diantara tanaman dan binatang dan lingkungannya disebut keseimbangan alam.
IV.
Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut merupakan
kombinasi tipe hutan formasi klimatis (climaticformation)
dengan tipe hutan formasi edaphis (edaphic formation). Faktor iklim yangmempengaruhi
pembentukan vegetasi adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya danangin. Hutan rawa gambut terdapat pada
daerah-daerah tipe iklim A dan B dan tanahorganosol dengan lapisan
gambut setebal 50 cm atau lebih. Pada umumnya terletak di antarahutan rawa dengan hutan hujan (Direktorat
Jenderal Kehutanan, 1976).
Menurut Soerianegara (1977) dan Zuhud serta Haryanto (1994), hutan ini tumbuh di
atas tanahgambut yang tebalnya berkisar 1 – 2 meter dan
digenangi air gambut yang berasal dari air hujan (miskin hara, oligotrofik)
dengan jenis tanah organosol. Di Indonesia
tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur Pulau Sumatera
dan merupakan jalur panjang dari Utara
ke Selatan sejajar dengan pantai timur, di Kalimantan mulai dari bagian utara
Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke Selatandan ke Timur sepanjang
pantai selatan sampai ke bagian hilir Sungai Barito. Di samping itu terdapat
pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan Papua.
·
Ciri – ciri Ekologi
Hutan rawa gambut
terbentuk di daerah pesisir sebagai lahan basah pesisir, maupun jauh di darat sebagai lahan basah daratan. Tipe lahan basah ini
berkembang terutama didataran rendah dekat
daerah pesisir, di belakang hutan bakau di sekitar sungai atau danau(Wetlands
International - Indonesia Programme, 1997).Aliran
air yang berasal dari hutan gambut bersifat asam dan berwarna hitam ataukemerah-merahan, sehingga di kenal dengan nama
‘sungai air hitam’. Sungai-sungai air hitam yang ada di hutan rawa
gambut memiliki jenis fauna relatif sedikit, karena kemasamanairnya kurang
sesuai bagi sebagian besar fauna air. Keterbatasan
nutrien pada lahan gambut, terutama pada bagian tengah kubahgambut, menjadikan
hutan rawa gambut memiliki struktur yang khas. Pada bagian tepiumumnya didominasi jenis-jenis tumbuhan yang tinggi
dengan diameter yang besar yangserupa dengan hutan dataran rendah
lainnya berubah menjadi pohon-pohon dengan diameter yang lebih kecil di
pusat kubah. Kekayaan jenis juga semakin menurun ke arah pusat kubah.
Beberapa species
tumbuhan dapat beradaptasi dengan baik di daerah rawa bergambut. Di Indonesia, ada beberapa species indikator yang
mencirikan suatu hutan rawagambut antara lain
: Ramin (Gonystylus bancanus), Suntai ( Palaquium burckii), Semarum (Palaquium microphyllum), Durian burung (Durio carinatus), Terentang (Camnosperma auriculata) dan Meranti Rawa
(Shorea spp.)
Lahan rawa adalah lahan yang
menempati posisi peralihan antara daratan dan perairan. Lahan ini sepanjang
tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air
(waterlogged) atau tergenang. Keputusan Menteri PU No. 64/ PRT/1993 menyatakan
lahan rawa dibedakan menjadi dua, yaitu rawa pasang surut/rawa pantai dan rawa
nonpasang surut/rawa pedalaman. Tanah gambut adalah tanah-tanah yang jenuh air,
tersusun dari bahan tanah organik berupa sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman
yang telah melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem klasifikasi
taksonomi tanah, tanah gambut disebut Histosols (histos, tissue: jaringan) atau
sebelumnya bernama Organosols (tanah tersusun dari bahan organik). Tanah gambut
selalu terbentuk pada tempat yang kondisinya jenuh air atau tergenang, seperti
pada cekungan-cekungan daerah pelembahan, rawa bekas danau, atau daerah
depresi/basin pada dataran pantai di antara dua sungai besar, dengan bahan
organik dalam jumlah banyak yang dihasilkan tumbuhan alami yang telah
beradaptasi dengan lingkungan jenuh air. Penumpukan bahan organik secara terus
menerus menyebabkan lahan gambut membentuk kubah (peat dome). Aliran air yang
berasal dari hutan gambut bersifat asam dan berwarna hitam atau kemerahan
sehingga di kenal dengan nama ‘sungai air hitam’ (Tim Sintesis Kebijakan,
2008).
PERMASALAHAN
Berkurang atau hilangnya kawasan
hutan rawa gambut akan menurunkan kualitas lingkungan, bahkan menyebabkan
banjir pada musim hujan serta kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau.
Upaya pendalaman saluran untuk mengatasi banjir, dan pembuatan saluran baru
untuk mempercepat pengeluaran air justru menimbulkan dampak yang lebih buruk,
yaitu lahan pertanian di sekitarnya menjadi kering dan masam, tidak produktif,
dan akhirnya menjadi lahan tidur, bongkor, dan mudah terbakar. Hutan rawa
gambut mempunyai nilai konservasi yang sangat tinggi dan fungsi fungsi lainnya
seperti fungsi hidrologi, cadangan karbon, dan biodiversitas yang penting untuk
kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa. Jika ekosistemnya terganggu maka
intensitas dan frekuensi bencana alam akan makin sering terjadi; bahkan lahan
gambut tidak hanya dapat menjadi sumber CO2, tetapi juga gas rumah kaca lainnya
seperti metana (CH4) dan nitrousoksida (N2O) (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).
RAWA
Lahan rawa pasang surut yang luasnya
mencapai 20,10 juta ha pada awalnya merupakan rawa pantai pasang surut di muara
sungai besar, yang dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas laut. Di bagian
agak ke pedalaman, pengaruh sungai besar makin kuat sehingga wilayah ini
memiliki lingkungan air asin (salin) dan air payau. Dengan adanya proses
sedimentasi, kini wilayah tersebut berwujud sebagai daratan yang merupakan
bagian dari delta sungai. Wilayah tersebut terletak relatif agak jauh dari
garis pantai sehingga kurang terjangkau secara langsung oleh air laut waktu
pasang. Oleh karena itu, wilayah tersebut saat ini banyak dipengaruhi oleh
aktivitas sungai di samping pasang surut harian dari laut. Di wilayah pasang
surut terdapat dua jenis tanah utama, yaitu tanah mineral (mineral soils) jenuh
air dan tanah gambut (peat soils) (Subagjo, 2006).
Tanah Mineral
Tanah-tanah mineral di wilayah
pasang surut terbentuk dari bahan endapan marin, yang proses pengendapannya di
dalam lingkungan laut (marin). Pada wilayah agak ke pedalaman, pengaruh sungai
relatif kuat, sehingga tanah bagian atas terbentuk dari endapan sungai,
sedangkan pada bagian bawah di mana terdapat bahan sulfidik (pirit), proses
pengendapan lumpur bahan tanah didominasi oleh aktivitas air laut (Widjaja-Adhi
et al. 2000 dalam Suriadikarta dan Sutriadi, 2007).
Tanah Gambut
Tanah gambut (Organosols =
Histosols) terbentuk dari lapukan bahan organik terutama dari tumpukan
sisa-sisa jaringan tumbuhan di masa lampau. Pada tahap awal, proses pengendapan
bahan organik terjadi di daerah depresi atau cekungan di belakang tanggul
sungai. Dengan adanya air tawar dan air payau yang menggenangi daerah depresi,
proses dekomposisi bahan organik menjadi sangat lambat. Selanjutnya secara
perlahan-lahan terjadilah akumulasi bahan organik, yang akhirnya terbentuk
endapan gambut dengan ketebalan yang bervariasi, bergantung pada keadaan
topografi tanah mineral di bawah lapisan gambut (Widjaja-Adhi et al. 2000;
Subagjo 2006). Menurut Soil Taxonomy, tanah gambut adalah tanah yang tersusun
dari bahan organik dengan ketebalan minimal 40 atau 60 cm, bergantung pada
bobot jenis (BD) dan tingkat dekomposisi bahan organik. Sedangkan bahan organik
adalah: 1) Apabila dalam keadaan jenuh air, mempunyai kandungan C-organik
paling sedikit 18% jika kandungan liatnya 60% atau lebih; atau mempunyai
Corganik 12% atau lebih jika tidak mempunyai liat; atau mempunyai C-organik
lebih dari {12 + (% liat x 0, 10)}% jika kandungan liat 0−60%. 2) Apabila tidak
jenuh air, mempunyai kandungan C-organik minimal 20 %. Dalam praktek digunakan
kedalaman minimal 50 cm, dengan definisi bahan tanah organik mengikuti batasan
Soil Taxonomy tersebut. Proses dekomposisi bahan organik dibedakan menjadi tiga
tingkatan, yaitu fibrik, hemik, dan saprik. Dalam pemanfaatan lahan gambut,
perlu diperhatikan faktor ketebalan gambut. Identifikasi dan pengelompokan
ketebalan gambut dibedakan atas empat kelas, yaitu: 1) gambut dangkal (50−100
cm), 2) gambut sedang (101−200 cm), 3) gambut dalam (201−300 cm), dan 4) gambut
sangat dalam (> 300 cm). Tanah dengan ketebalan lapisan gambut 0−50 cm
dikelompokkan sebagai tanah mineral bergambut (peaty soils).
Komposisi
Floristik Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut
merupakan kombinasi tipe hutan formasi klimatis (climatic formation) dengan
tipe hutan formasi edaphis (edaphic formation). Faktor iklim yang mempengaruhi
pembentukan vegetasi adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan
angin. Hutan rawa gambut terdapat pada daerah-daerah tipe iklim A dan B dan
tanah organosol dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih. Pada umumnya
terletak di antara hutan rawa dengan hutan hujan (Direktorat Jenderal
Kehutanan, 1976). Menurut Soerianegara (1977) dan Zuhud serta Haryanto (1994),
hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang tebalnya berkisar 1 – 2 meter dan digenangi
air gambut yang berasal dari air hujan (miskin hara, oligotrofik) dengan jenis
tanah organosol.
Di Indonesia tipe hutan
rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur Pulau Sumatera dan merupakan
jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan pantai timur, di Kalimantan
mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke Selatan
dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke bagian hilir Sungai Barito. Di
samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan Papua.
Tegakan hutan pada hutan rawa gambut ini selalu hijau dan mempunyai beberapa
lapisan tajuk. Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat pada tipe hutan ini
diantaranya adalah Alstonia spp, Tristania spp, Eugena spp, Cratoxylon
arborescens, Tetramerista glabra, Dactylocladus stenostacys, Diospyros spp dan
Myristica spp. Jenis-jenis pohon terpenting yang terdapat pada formasi hutan
rawa gambut adalah : Campnosperma sp., Alstonia sp., Cratoxylon arborescens,
Jackia ornata dan Ploiarium alternifolium) (Soerianegara, 1997; Richard, 1972;
Whitmore, 1986). Selanjutnya penelitian Anderson (1976) yang dilakukan di
Sungai Seangau, Kalimantan Tengah di sepanjang jalur (kurang lebih 8 km) dari
pinggir sungai ke arah gambut , ditemukan tipe-tipe hutan rawa gambut yaitu :
padang tepi sungai (riverian padangs) berjarak kurang lebih 300 meter, hutan
gambut campuran (mixed swamp forest) berjarak 2 km sampai 4,5 km dari sungai
serta padang gambut berjarak 5,75 km sampai 7,75 km. Jenis yang mendominasi
pada hutan gambut campuran adalah ramin (Gonystylus bancanus).
Menurut Witaatmojo
(1975) pada hutan rawa gambut umumnya ada tiga lapisan tajuk, yaitu lapisan
tajuk teratas yang dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus),
mentibu (Dactylocladus stenostachys), jelutung (Dyera lowii), pisang-pisang
(Mezzetia parviflora), nyatoh (Palaqium spp), durian hutan (Durio sp), kempas
(Koompassia malaccensis) dan jenis-jenis yang umumnya kurang dikenal. Lapisan
tajuk tengah yang pada umunya dibentuk oleh jenis jambu-jambuan (Eugenia sp),
pelawan (Tristania sp), medang (Litsea spp), kemuning (Xantophyllum spp),
mendarahan (Myristica spp) dan kayu malam (Diospyroy spp). Sedangkan lapisan
tajuk terbawah terdiri dari jenis suku Annonaceae, anak-anakan pohon dan semak
dari jenis Crunis spp, Pandanus spp, Zalaca spp dan tumbuhan bawah lainnya.
Tumbuhan merambat diantaranya Uncaria spp.
Struktur
Floristik Hutan Rawa Gambut
Menurut Mueller-Dumbois
dan Ellenberg (1974) menyatakan bahwa struktur vegetasi adalah organisme dalam
ruang dan individu-individu yang membentuk suatu tegakan dengan elemen-elemen
primer seperti bentuk hidup, stratifikasi, dan penutupan tajuk. Menurut Ibie
(1997) struktur tegakan dapat ditinjau dari dua bentuk yaitu struktur tegakan
vertikal dan struktur tegakan horizontal. Struktur tegakan vertikal oleh Ricard
(1984) dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk.
Struktur tegakan horizontal merupakan gambaran sebaran jenis pohon dengan
dimesinya yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan atau distribusi ruang
areal populasi dan individu-individu dan kelimpahan (kelimpahan masing-masing
jenis dalam komunitas) (Kersaw,1964; Mauricio, 1987; Köhler, et al. 2001; Kellman,
1970 dan Ewel, 1980).
Oliver dan Larson
(1990), menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah sebaran sementara fisik pohon
dalam suatu tegakan. Sebaran dapat digambarkan berdasarkan (a) jenis pohon, (b)
bentuk ruang horizontal dan vertikal, (c) besarnya pohon atau bagian pohon yang
mencakup volume tajuk, luas kanopi, (d) umur pohon, (e) kombinasi dari
kondisi-kondisi yang telah disebutkan sebelumnya.
Selanjutnya Mueller et
al. (1974) berdasarkan tingkatannya membagi struktur vegetasi menjadi lima
aspek, yaitu : fisiognomi vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup,
struktur floristik dan struktur tegakan. Kelima tingkatan tersebut tergabung
kedalam satu susunan yang bertingkat, dalam hal ini tingkat pertama termasuk
kedalam tingkat kedua, tingkat kedua kedalam tingkat ketiga dan seterusnya.
Jadi kelima konsep struktur vegetasi tersebut hanya menggambarkan perbedaan
tingkatan secara umum, dengan tingkat pertama paling umum dan tingkat kelima
paling rinci.
Michon (1993)
menyatakan bahwa studi profil arsitektur (stratifikasi) merupakan salah satu
metode deskripsi dan analisis yang digunakan untuk ekosistem hutan di daerah
tropis. Dalam profil arsitektur komunitas tumbuhan akan terlihat adanya
keragaman arsitektur yang tinggi. Keragaman tersebut terjadi karena tipe-tipe
habitus yang berbeda-beda seperti adanya pohon, semak belukar, rumput atau
tumbuhan lain yang membentuk lapisan.
Pengetahuan menyangkut
struktur tegakan ini dapat memberikan informasi mengenai dinamika poluasi suatu
jenis atau kelompok jenis mulau dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon.
Struktur tegakan hutan dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi
suatu jenis atau kelompok jenis, mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan
pohon. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa struktur tegakan dapat diduga tingkat
mortalitas dan dengan mengetahui riap diameter pada tiap kelas diameter dapat
diduga volume produksi pada rotasi tebang berikutnya berdasarkan asas
kelestarian (Marsono dan Sastrosumarto, 1981).
Tipologi Lahan
Penggunaan nama-nama sistem
klasifikasi tanah dalam Soil Taxonomy agak sulit diaplikasikan secara langsung
karena sulit dipahami. Oleh karena itu, untuk tujuan kepraktisan, digunakan
klasifikasi agronomis yang disebut “tipologi lahan”. Klasifikasi tipologi lahan
lebih sederhana dan mudah dipahami sehingga dapat digunakan, baik oleh pakar
pertanian yang kurang atau tidak memahami disiplin ilmu tanah maupun penyuluh
pertanian. Sistem klasifikasi tipologi lahan dikembangkan untuk berbagai
kondisi tanah rawa. Penyusunannya didasarkan pada sifatsifat dan karakteristik
tanah yang berpengaruh langsung terhadap produksi pertanian, seperti kedalaman
lapisan pirit, kemasaman tanah, pengaruh garam, pengaruh pasang surut, dan
ketebalan gambut (Tabel 1) (Suriadikarta dan Sutriadi, 2007).
Faktor Fisika, Kimia dan Biologi
Pengembangan usaha pertanian di
lahan gambut dihadapkan pada berbagai masalah yang berkenaan dengan pengelolaan
air dan kesuburan tanah (sifat fisik, kimia, biologi tanah). Pengelolaan air
merupakan hal yang penting dalam pengembangan lahan gambut. Pengelolaan air
dihadapkan pada dua permasalahan, yaitu ketepatan drainase dan upaya
mempertahankan muka air tanah. Muka air tanah harus dipertahankan minimal di
atas lapisan pirit, karena kondisi tergenang pirit relatif stabil dan tidak
membahayakan. Dengan adanya pengaturan dan penggantian air secara berkala maka
kadar asam organik dapat diturunkan yang mengakibatkan peningkatan pH tanah dan
meningkatkan hasil tanaman. Kendala sifat fisik tanah utamanya adalah rendahnya
bulk density (0,1 – 0,2 g.cm-3) yang menyebabkan daya tumpu (bearing capacity) tanah
rendah sehingga mudah mengalami subsiden. Subsiden dan dekomposisi bahan
organik dapat menimbulkan masalah apabila bahan mineral di bawah lapisan gambut
mengandung pirit (FeS2) atau pasir kuarsa. Selain itu, apabila gambut mengalami
kekeringan yang berlebihan akan menyebabkan koloid gambut menjadi rusak karena
partikel – partikel gambut mempunyai lapis luar kaya resin yang menghambat
penyerapan kembali air setelah pengeringan dan akhirnya gambut tidak mampu lagi
menyerap hara dan menahan air. Akibatnya, gambut akan mengalami kekeringan dan
mudah terbakar. Terbakarnya lahan gambut merupakan penyebab utama degradasi
lahan. Dalam kondisi degradasi yang sangat berat, lahan tidak dapat lagi
ditanami, sehingga petani kehilangan mata pencaharian dari lahan usaha taninya
(Nurzakiah, 2004).
Secara kimiawi, tanah gambut umumnya bereaksi masam (pH 3,0-4,5). Gambut
dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0-5,1) daripada gambut dalam (pH
3,1-3,9). Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na) dan kejenuhan basa rendah.
Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, dan berkurang
dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya
tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi. Kandungan unsur mikro,
khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun kandungan besi (Fe) cukup tinggi
(Tim Sintesis Kebijakan, 2008).
Pemanfaatan Lahan Gambut
Pemanfaatan lahan gambut untuk tetap
dipertahankan sebagai habitat ratusan species tanaman hutan, merupakan suatu
kebijakan yang sangat tepat. Disamping kawasan gambut tetap mampu menyumbangkan
fungsi ekonomi bagi manusia di sekitarnya (produk kayu dan non kayu) secara
berkelanjutan, fungsi ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu,
kelembaban udara dan hidrologi kawasan akan tetap berlangsung sebagai konsekuensi
dari ekosistemnya tidak berubah. Mempertahankan lahan gambut untuk tetap
menjadi habitat jenis pohon adalah beralasan. Hutan rawa gambut memiliki jenis
pohon bernilai ekonomis tinggi, demikian pula satwa. Berdasarkan data pada
salah satu HPH yang berlokasi di lahan gambut, diketahui bahwa populasi 10
jenis pohon bernilai ekonomis tinggi dan jenis yang dilindungi dengan diameter
≥ 20 cm rata-rata 21 pohon/ha dengan volume rata-rata 30,94 m3/ha. Diantara
ke-10 jenis pohon tersebut terdapat 67,83% adalah ramin (Gonystylus bancanus
Kurz) (Limin, 2006).
Perlindungan Lahan Gambut
Penyalahgunaan lahan gambut dapat
mengakibatkan lahan gambut terbakar dan terpaparnya lahan tersebut sehingga
kandungan CO2 di udara semakin tinggi, sehingga perlu dilakukan pemetaan
wilayah untuk melindungi lahan gambut tersebut. Wilayah rawa yang termasuk
sebagai kawasan lindung adalah: (1) kawasan gambut sangat dalam, lebih dari 3
m; (2) sempadan pantai; (3) sempadan sungai; (4) kawasan sekitar danau rawa;
dan (5) kawasan pantai berhutan bakau. Kawasan pengawetan atau kawasan suaka
alam adalah kawasan yang memiliki ekosistem yang khas dan merupakan habitat
alami bagi fauna dan/atau flora tertentu yang langka serta untuk melindungi
keanekaragaman hayati. Kawasan ini diusulkan untuk dipertahankan tetap seperti
aslinya atau dipreservasi dengan status sebagai kawasan non-budi daya (Tim
Sintesis Kebijakan, 2008).
C.
PENUTUP
I. Kesimpulan
Hutan rawa gambut merupakan kombinasi tipe hutan
formasi klimatis (climatic formation) dengan tipe hutan formasi edaphis
(edaphic formation). Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah
temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Menurut kondisi dan
sifat-sifatnya, gambut di sini dapat dibedakan atas gambut topogen
dan gambut ombrogen.
Secara kimiawi, tanah gambut umumnya bereaksi masam
(pH 3,0-4,5). Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0-5,1) daripada
gambut dalam (pH 3,1-3,9). Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na) dan kejenuhan basa
rendah. Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, dan
berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total termasuk tinggi, namun
umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi. Kandungan unsur
mikro, khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun kandungan besi (Fe) cukup
tinggi (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).
Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di
dekat pantai timur Pulau Sumatera dan merupakan jalur panjang dari Utara ke
Selatan sejajar dengan pantai timur, di Kalimantan mulai dari bagian utara
Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke Selatan dan ke Timur sepanjang
pantai selatan sampai ke bagian hilir Sungai Barito. Di samping itu terdapat
pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan Papua.
DAFTAR PUSTAKA
Harrah's Cherokee Casino Resort - Mapyro
BalasHapusHarrah's Cherokee Casino Resort, Cherokee. 순천 출장샵 28906 likes · 1 talking 강원도 출장안마 about this · 1681 were 구리 출장샵 here. The casino is open daily 제주도 출장샵 24 제주도 출장안마 hours a day 365 days a year.